Laman

Rabu, 26 Mei 2010

BM DINIYAH QANUNIYAH MUKTAMAR NU KE-32

ASKAH RANCANGAN KEPUTUSAN

KOMISI BAHSUL MASAIL DINIYAH QANUNIYAH


MUKTAMAR KE-32 NAHDLATUL ULAMA DI MAKASSAR

TANGGAL 22 - 27 MARET 2010



KATA PENGANTAR

Ucapan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT dan salawat beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW atas selesainya pembuatan draft laporan hasil kerja Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah yang diamanahkan Panitia Besar kepada kami. Bersama seluruh anggota Tim, kami telah melakukan berbagai pertemuan untuk membahas draft laporan yang diawali dengan proses identifikasi berbagai persoalan ketatanegaraan yang perlu dibahas karena dipandang baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kepentingan jamaah Nahdlatul Ulama. Selanjutnya, masing-masing anggota Tim memperoleh penugasan untuk mencermati berbagai ketentuan perundang-undangan baik yang sudah menjadi Undang-Undang maupun yang masih dalam tahap Rancangan Undang Undang. Selain dari itu, dengan mempertimbangkan untuk kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia, komisi juga memandang perlunya dipertimbangkan untuk penyusunan sebuah undang undang yang berkaitan dengan Perlindungan Kehidupan Beragama guna menghindarkan terjadinya konflik antar umat beragama.

Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah adalah komisi yang baru dibentuk pada Muktamar ke 32 ini sebagai pengembangan dari Komisi Bahsul Masail Diniah Waqi’iyah dan Komisi Bahsul Masail Diniah Maudu’iyah yang diharapkan menjadi tempat untuk melakukan pembahasan terhadap berbagai persoalan ketatanegaraan yang dipandang penting untuk kemaslahatan warga NU maupun bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Berkenaan dengan itu maka Komisi Bahsul Masail Diniah Qanuniyyah menyampaikan Draft Rumusan Keputusan Bahtsul Masail Diniyah Qonuniyah kepada peserta Muktamar NU ke 32 di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Draft ini telah dibahas dalam Bahtsul Masail Nasional Pra Muktamar di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, tanggal 29-31 Januari 2010.

Kami berharap agar para muktamirin berkenan melakukan pendalaman terhadap materi pembahasan yang kami susun. Dalam pandangan kami, sekalipun peserta muktamar telah menyelesaikan pembahasan terhadap draft laporan komisi, akan tetapi masih diperlukan tugas lanjutan yaitu untuk memperjuangkan agar kesepakatan yang diambil di muktamar tentang berbagai masalah Qanuniah dapat dibahas pada tingkat yang lebih lanjut baik kepada instansi pemerintah yang terkait maupun DPR.

Demikian laporan kami dan kami haturkan ucapan terima kasih.





Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariiq.
Makasar, …………………..2010



Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,



Ketua, Sekretaris,





Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis H. Ahmad Zubaidi, MA

Anggota:
1. Drs. H. Selamet Effendy Yusuf, M. Si
2. H. Muhammad Fajrul Falaakh, SH, MA
3. KH Safruddin
4. Dr. H. Wahiduddin Adams, SH. MA
5. Dr. dr. H. Syahrizal
6. Dr. H. Hilmi Muhammadiyah, MA
7. Drs. H. Syaifullah Maksum



DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

QAWAIDUT TAQNIN NAHDLATUL ULAMA

A. Pendahuluan

Salah satu pilar tegaknya negara hukum sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah adanya peraturan perundang-undangan yang memenuhi rasa keadilan dan aspirasi masyarakat.

Peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundang-undangan yang berlaku secara Nasional maupun di tingkat daerah adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang mengikat secara umum terhadap pihak yang diatur dalam materi hukum peraturan tersebut.

Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan azas keterbukaan, masyarakat berhak untuk berpartisipasi mulai dari perencanaan, persiapan, pembahasan, pelaksanaan, penyebarluasan, dan pengawasannya.

Arah pembentukan peraturan perundang-undangan pasca perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik yang bersifat perubahan, penggantian maupun pembuatan peraturan pelaksanaannya adalah antara lain untuk:


1. Mempercepat proses reformasi
2. Meningkatkan kualitas demokrasi
3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat khususnya otonomi daerah.
4. Menghormati, memajukan, dan melindungi hak asasi manusia termasuk memperhatikan prinsip kesetaraan jender.
5. Mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi rakyat yang berkeadilan


Oleh karena itu diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang harmonis dan tidak saling bertentangan baik antara jenis, hierarki secara vertikal maupun horizontal, yang disusun berdasarkan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Pembuatan peraturan perundang-undangan memuat landasan filosofis yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Landasan yuridis adalah mengacu kepada sumber sumber hukum dalam ketatanegaraan yaitu Pancasila dan UUD 1945. Landasan sosiologis yaitu realitas fakta kehidupan dan kondisi kebutuhan masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural.

Asas materi hukum yang digariskan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada intinya adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan baik tingkat pusat maupun tingkat daerah harus memuat upaya untuk melindungi seluruh masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai lapisan guna memenuhi hak-hak asasi seluruh warga negara dan memperkuat Negara kesatuan Republik Indonesia di dalam kerangka kebhinekaan yang mencerminkan harkat persamaan dan perlakuan yang adil.

Dasar penetapan, prosedur dan asas di atas secara teoritik dapat melahirkan peraturan perundangan yang membawa kemaslahatan untuk umat Islam khususnya dan seluruh bangsa Indonesia pada umumnya. Akan tetapi dalam faktanya bisa terjadi peraturan perundangan yang tidak sejalan dengan kemaslahatan tersebut baik karena kurang adanya ketelitian dari pihak pembuat undang-undang sehingga dapat merugikan semua pihak khususnya umat Islam sebagai penduduik mayoritas di negeri ini.

Karena itu, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia sudah sepatutnya melakukan sikap kritis guna mengidentifikasi berbagai undang-undang ataupun rancangan undang-undang yang dipandang dapat merugikan kepentingan bangsa sejalan dengan tujuan ajaran Islam adalah untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam (Q.S. Al Anbiya’ [21]: 107. Seluruh undang-undang dan peraturan yang ada di Indonesia hendaklah membawa kemaslahatan bagi seluruh kepentingan bangsa. NU sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah sudah sepatutnya secara proaktif melakukan pengkajian baik terhadap undang-undang yang sudah ada dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahannya maupun usulan terhadap perlunya dibuat undang-undang yang baru untuk disampaikan dalam program legislasi nasional melalui Badan Legislasi Nasional Dewan Perwakilan Rakyat. Kepentingan penelaahan terhadap seluruh peraturan dan perundang-perundangan serta pengusulan peraturan dan undang-undang yang baru dimaksudkan agar kepentingan warga Nahdlatul Ulama dan umat Islam dapat tertampung dalam program penyelenggaraan kehidupan berbangsa.

Untuk itu diperlukan kaidah-kaidah menurut perspektif NU agar proses perumusan peraturan dan perundang-undangan (Qawa’id Taqnin) di Indonesia yang dapat berjalan sesuai dengan kemaslahatan umat dan cita-cita mendirikan negara RI yang adil makmur sejahtera lahir dan batin yang didasarkan kepada nilai-nilai ajaran Islam yang berhaluan ahlus sunnah waljamaah.

B. Maksud dan Tujuan

Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi aspek: (1) preventif yaitu hukum hendaklah tidak mendorong tingkah laku yang tidak disetujui oleh warga pendukungnya (2) kuratif yaitu setiap undang-undang adalah merupakan hukum yang dibentuk yang dalam pelaksanaannya dapat memperbaiki ketidakseimbangan (injustice) dalam arti mewujudkan kesebandingan (justice) atau menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul (3) fasilitatif yaitu hukum itu hendaklah dibentuk yang dapat menciptakan pengakuan, pengaturan dan perlindungan terhadap lembaga hukum.

Dari uraian di atas maka dapatlah dipahami bahwa setiap undang-undang hendaklah selalu hidup dan bermanfaat untuk menjawab perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat. Proses transformasi kehidupan masyarakat yang bergerak dari fase agraris menuju kepada kehidupan moderen, memerlukan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai positif dari tradisi yang telah sejak lama berkembang dalam masyarakat namun pada saat yang sama juga bersikap responsif kepada perkembangan moderen (al muhâfazat ‘ala al qadîm al shâlih wal akhdz bil jadîdi ashlah).

Atas dasar itulah, Muktamar NU ke 32 menyusun Qawaidut Taqnin yang dimasudkan sebagai pedoman dan standar Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan, mengkritisi, mengawal, dan mengusulkan peraturan perundangan dengan tujuan agar peraturan perundangan di Indonesia dapat:


1. Meningkatkan komitmen seluruh warga-bangsa terhadap keluhuran akhlak yang bersumber dari ajaran Islam
2. Menjamin kreatifitas, kemandirian dan harkat martabat bangsa
3. Menjamin perlindungan terhadap hak-hak warga negara
4. Melindungi akar budaya bangsa yang sejalan dengan nilai-nilai Islam
5. Memberikan sebesar-besar kemaslahatan kepada bangsa
6. Meningkatkan tarap hidup bangsa
7. Menjamin terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia


C. Pendapat NU tentang penyerapan Hukum Islam dalam hukum nasional

NU memandang bahwa penyerapan hukum Islam dalam hukum nasional adalah suatu keniscayaan, karena sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam dimana ada bagian-bagian dari hukum Islam yang baru dapat terlaksana secara paripurna dengan memerlukan peranan dan dukungan negara.

Oleh karena itu, NU memandang penyerapan hukum Islam dalam hukum nasional dapat diwujudkan yang tetap sejalan dengan semangat bhineka tunggal ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini disebabkan karena hukum Islam adalah semuanya membawa kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta. Oleh karena itu, penyerapan ajaran Islam terhadap hukum nasional tidak akan terjadi diskriminasi terhadap warga negara yang berbeda budaya maupun agama. Pola penyerapan itu dapat dilakukan dalam tiga hal yaitu formal, substansial, dan esensial, tergantung kepada materi dan ruang lingkup berlakunya.

1. Formal (rasmiyah)

Formal artinya penyerapan hukum Islam pada hukum nasional secara formal. NU memandang ada bagian-bagian hukum Islam yang harus diserap dalam hukum nasional secara formal dan hanya berlaku bagi umat Islam, seperti zakat, wakaf, peradilan agama, haji, hukum waris, wasiat, hibah dan transaksi perbankan. Dalam hal ini, NU mendorong terbitnya peraturan perundangan yang secara formal mengatur persoalan tersebut yang hanya berlaku bagi umat Islam.

2. Substansial (dzatiyah)

NU menyadari bahwa ajaran Islam adalah ajaran universal (rahmatan lil alamin), untuk itu NU berupaya agar nilai-nilai ajaran Islam dapat dirasakan kemaslahatannya oleh seluruh umat manusia. Karena sistem sosial politik bangsa Indonesia belum memungkinkan berlakunya ajaran Islam secara formal, maka NU memperjuangkan nilai-nilai substansi dalam peraturan perundang-undangan seperti masalah pornografi, perjudian, penyalahgunaan narkoba, pekerja seks komersial dan lain-lain.

3. Esensial (ruhiyah/jauhariyyah)

NU menyadari kebinekaan bangsa Indonesia dan mendukung tegaknya NKRI. Karena itu dalam penerapan syariah, NU merasa perlu menggunakan pola tadriji untuk menghindarkan penolakan masyarakat yang berakibat kontraproduktif bagi perkembangan sosialisasi syariah pada masa depan. Hukum Islam yang belum memungkinkan diterapkan, diupayakan untuk memasukkan esensi Hukum Islam ke dalam perundangan yang berlaku di Indonesia. Seperti dalam hukum pidana Islam, NU untuk sementara belum mendorong berlakunya jinayat Islam secara formal ataupun substansial, tetapi mengupayakan terserapnya esensi hukum jinayah. Misalnya pidana terhadap pelaku zina (ghairu muhson) yang dalam KUHP tidak dianggap sebagai pidana harus diperjuangkan menjadi delik pidana dengan hukuman ta’zir.


D. Qawaidut Taqnin NU

Nahdlatul Ulama berpandangan bahwa seluruh praktek penyelenggaraan negara tidak saja mempunyai dimensi kepentingan sesaat akan tetapi hendaklah memiliki pandangan yang jauh ke depan. Dalam pandangan NU kepentingan ke depan itu adalah harus selalu didasarkan kepada pertimbangan kepentingan pelaksanaan nilai-nilai ajaran Islam karena pelaksanaan ajaran Islam pada dasarnya tidak hanya penting bagi umat Islam saja akan tetapi bermanfaat bagi keluhuran sifat dasar kemanusiaan.

Secara umum pembuatan peraturan perundangan di Indonesia harus mengacu kepada kaidah:

تصرف الإمام علي الرعية منوط بالمصلحة

Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan kepada kemaslahatan.

Secara lebih khusus lagi, sesuai dengan dasar filosofi ajaran Islam (maqashidus syari’ah) maka bagi NU semua peraturan perundang-undangan hendaklah dapat memperkuat lima tujuan diturunkannya syari’at (maqashidusy syari’ah) yaitu:

1. Hifzhud Din:

Setiap kegiatan didasarkan untuk kepentingan pemeliharaan ajaran Islam oleh karena kehidupan itu baru bernilai apabila selalu didasarkan kepada ajaran Islam. Setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hakikat ajaran Islam malah justru semua UU haruslah bertujuan memperkuat komitmen semua umat beragama terhadap ajaran agamanya. Oleh karena itu pertimbangan untuk kepentingan syari’at haruslah ditempatkan di atas segala-galanya. Semua peraturan per-UU-an hendaklah yang dapat memudahkan orang beribadah oleh karenanya tidak boleh ada yang bertentangan dengan ajaran Islam (Q.S. Ali ‘Imran [3]:83). Mengingat agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam, maka setiap undang-undang RI hendaklah memberi kemudahan bagi umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya, dan pada saat yang sama juga memberikan kemudahan bagi umat lainnya dalam mengamalkan ajaran agamanya. Bertolak pada pemikiran tersebut, setiap undang-undang RI tidak boleh bertentangan dengan semangat spritual yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.

2. Hifzhun Nafs

Setiap pelaksanaan ajaran Islam harus selalu memelihara kelangsungan hidup manusia oleh karena itu tidak dibenarkan upaya-upaya kehidupan yang justru berakibat hilangnya keberadaan manusia. Seluruh peraturan perundang-undangan harus dapat menjaga kelangsungan kehidupan dan melindungi kehormatan umat manusia. Tidak dibenarkan adanya UU yang merendahkan martabat manusia karena manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sempurna (Q.S. Al Tin [95]: 4); (Q.S. Al Isra’ [17]: 33)

3. Hifzhul Aql

Peraturan per-UU-an hendaklah memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia yang memiliki akal sehat dengan kemampuan berfikir yang baik dan benar, terbebas dari hedonisme dan materialisme, jauh dari pragmatis serta menjunjung tinggi akhlak mulia, sehingga segenap kehidupan manusia menjadi aman dan bahagia. Hal ini terwujud manakala akal pikirannya positif, tidak terkotori pengaruh narkotika dan obat-obat terlarang dan mampu menyikapi semua hal secara dewasa. Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.(Qs. 17:70)

4. Hifzhun Nasl

Seluruh per-UU-an harus dapat memelihara kelangsungan berketurunan oleh karena itu tidak dibenarkan adanya upaya pembunuhan atau pemutusan keturunan atas dasar alasan apapun juga. Serta tidak dibenarkan aktifitas perusakan lingkungan hidup karena dapat mengancam eksistensi kelangsungan hidup manusia. Seluruh peraturan hendaklah bertujuan memuliakan manusia (Q.S. Al Isra’ [17]: 31).

5. Hifzhul Mal

Seluruh per-UU-an hendaklah dapat memelihara kepemilikan harta baik kepemilikan harta yang sempurna (milk taam) maupun kepemilikan tak sempurna (milk naaqish) dan hak-hak kepemilikan kebendaan termasuk hak cipta maupun budaya bangsa, Islam menegaskan adanya kepemilikan perorangan dan kepemilikan syirkah namun harta yang dimiliki itu memiliki nilai ibadah dan sosial yang ditunaikan melalui zakat, infak dan shadaqah (Q.S. Al Hijr [15]: 20).

Sesuai dengan prinsip-prinsip di atas, maka sebuah peraturan perundangan harus:


1. Melindungi semua golongan
2. Berkeadilan
3. Sesuai dengan agama/keyakinan/kepercayaan masyarakat yang disahkan keberadaannya di Indonesia
4. Sesuai dengan nilai-nilai kepatutan dan budaya masyarakat yang tidak bertentangan dengan agama
5. Selalu memiliki wawasan ke depan.


E. Peran NU dalam Proses Pembentukan Hukum di Indonesia

Legislasi Nasional merupakan agenda penting dalam penyelenggaraan negara yang berdampak sangat besar terhadap kehidupan bangsa. Legislasi dapat menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bermartabat, serta rakyatnya makmur sejahtera akan dapat juga sebaliknya. Hal itu semua tergantung bagaimana prinsip-prinsip legislasi dilakukan. Karena itu, NU sebagai bagian terbesar bangsa yang memiliki misi melakukan rekonstruksi umat (ishlahiyatul ummat) sudah sepatutnya ikut terlibat aktif dalam memantau proses legislasi hukum nasional. Setelah itu maka agenda NU adalah memantau sejauh mana pelaksanaan hukum itu sejalan dengan aspirasi umat Islam.

Adapun peran yang dapat dilakukan NU dalam hal ini ada dua, yaitu:

1. Aktif, inisiatif dan kontributif

NU secara proaktif harus mecermati keperluan pembuatan perundang-undangan yang dibutuhkan oleh umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya agar terjamin adanya kepastian hukum dalam kasus tertentu dan menghindari penafsiran-penafsiran sepihak yang dapat merugikan masyarakat. Dalam hal ini NU dapat menempuh mekanisme dengan menyusun pokok-pokok pikiran usulan rancangan undang-undang yang mendukung terwujudnya tujuan hukum Islam (maqashidus syari’ah) sebagaimana diuraikan di atas melalui upaya mendorong lahirnya regulasi sebagai turunan dari UU berupa Peraturan Pemerintah. Selain dari itu, NU juga dapat mengajukan usulan rancangan kepada pemerintah DPR tentang perlunya pembuatan undang-undang tertentu untuk menjamin kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

2. Mengawal dan Mengkritisi Undang-undang atau RUU

NU mengambil inisiatif untuk mengawal dan mengkritisi berbagai undang-undang maupun peraturan yang berskala nasional maupun daerah guna menjamin terwujudnya tujuan hukum Islam (maqâshidus syarî’ah) yang menimbulkan kontroversi di masyarakat sehingga umat Islam memperoleh ketenangan dalam mengamalkan ajaran Islam. Oleh karena itu setiap undang-undang dan peraturan yang ada di Indonesia hendaklah mendukung realisasi nilai-nilai keberagamaan dan menghindari adanya undang-undang maupun peraturan yang tidak sejalan dengan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar seluruh undang-undang dan peraturan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara selalu didasarkan kepada kepentingan umum (al-mashlahah al-’âmmah).

Untuk pelaksanaan dua peran di atas maka sudah selayaknya di kalangan internal NU perlu ada kelompok pemerhati perkembangan program legislasi nasional termasuk segala turunan dari berbagai peraturan itu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.

F. PENUTUP

Seraya bertawakkal kepada Allah SWT dan mengharap ma’ûnah dan taufikNya, Muktamar NU ke-32 di Makasar menyusun tata aturan penetapan perundang-undangan (Qawaidut Taqnin) Nahdlatul Ulama semoga bermanfaat bagi terwujudnya kejayaan Islam dan umat Islam Indonesia (‘izzul islâm wal muslimîn) negeri yang adil dan makmur sejahtera lahir dan batin di dalam ampunan Allah SWT (baldatun thayyibatun wa robbun ghafûr).

Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,





DRAFT

BAHSUL MASAIL DINIYAH QANUNIYAH

TENTANG

RUU PERLINDUNGAN KEHIDUPAN BERAGAMA

A. Latar Belakang

Sejalan dengan dasar Negara Pancasila dan ditegaskan lagi pada UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) ditetapkan bahwa sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini bertujuan agar setiap warga menjadi manusia yang taat terhadap ajaran agamanya dan pada saat yang sama menghargai perbedaan dengan antar sesama umat beragama. Kebebasan beragama (hurriyatut tadayyun) sebagaimana disebutkan di atas kemudian dipertegas lagi pada Pasal 29 ayat (2) yaitu kebebasan bagi setiap warga negara untuk beribadah dan mengamalkan ajaran agama dan kepercayaannya itu. Akan tetapi sayangnya, dalam UUD 1945 tidak ditemukan adanya perintah UUD untuk membuat undang-undang lanjutan guna merumuskan bentuk kebebasan itu untuk mewujudkan manusia Indonesia yang taat dan kepada ajaran agamanya sekaligus dapat hidup dengan seluruh komponen bangsa yang majemuk dalam semangat toleransi dan kerukunan. Pada aspek pribadi setiap manusia memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengamalkan ajaran agamanya bahkan negara harus memberikan pelayanan secara optimal namun negara belum memiliki panduan dalam menjabarkan kebebasan beragama itu. Namun apabila kebebasan beragama pada tataran individu itu tidak dibatasi dengan rambu-rambu maka kebebasan beragama itu dapat menimbulkan anarkhi dan akhirnya akan melahirkan kegaduhan di dalam masyarakat. Oleh karena itu diperlukan Undang Undang Perlindungan kehidupan Beragama. Dalam ajaran Islam telah ditegaskan beberapa prinsip tentang hubungan antara umat Islam dengan lainnya antara lain:


1. Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah adalah Islam (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 19)
2. Dan siapa orang yang mencari-cari agama selain Islam maka tidak akan ditrerima amalannya dan dia di akhirat menjadi orang yang merugi (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 85)
3. Tidak ada paksaan memasuki agama sesungguhnya telah jelas antara yang baik dari yang buruk, maka siapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kokoh yang tidak ada putusnya dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui (Q.S. Al Baqarah [2]: 256).
4. Allah tidak melarang kamu terhadap orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu, kamu berbuat kebajikan kepada mereka dan berlaku adil kepada mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang yang berlaku adil (Q.S. Al Mumtahanah [60]: 8)
5. Bagi kamu agama kamu dan bagi saya agama saya (Q.S. Al Kafirun [109]: 6).

Di samping itu, fungsi imamah atau kenegaraan dalam pandangan politik Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana dikemukakan Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, adalah untuk menjaga agama (harasatud din) dan mengatur dunia (siyasatud dunya).

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا

Oleh karena itu, dalam rangka harasatud din, NU perlu mendorong pemerintah untuk membuat regulasi tentang perlindungan kehidupan agama di Indonesia. Kepentingan umat Islam terhadap legislasi yang berkenaan dengan tuntutan pelaksanaan ajaran Islam berbeda dengan pelaksanaan ajaran agama lainnya. Oleh karena itu adalah hal yang wajar apabila pemerintah RI memberikan perhatian yang lebih dalam pelaksanaan pengundangan ajaran Islam dan hal itu tetap sejalan dengan amanat konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia karena negara ini didirikan adalah bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan lahir dan batin warega negara Republik Indonesia.

B. Tujuan Pembuatan Undang Undang

Pemerintah dipandang perlu untuk membuat undang-undang perlindungan kehidupan beragama agar setiap warga negara memiliki kebebesan sepenuhnya dalam mengamalkan ajaran agamanya dan pada saat yang sama menghormati kebebasan orang lain. Atas dasar itu, maka konsep kebebasan hendaklah dibatasi apabila telah berkenaan dengan pola hubungan antar sesama WNI. Kebebasan mutlak tidak dikenal dalam kebudayaan bangsa Indonesia.

C. Mekanisme Pengajuan RUU Perlindungan Kebebasan Beragama

RUU Perlindungan Kebebasan Beragama, selanjutnya disingkat RUU PKB sebaiknya menjadi hak inisiatif DPR dan bukan diajukan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan karena pemerintah pada tahun 2004 telah mencoba mengambil prakarsa terhadap hal ini namun berakhir dengan kegagalan. Oleh karena itu, pada saat situasi politik pasca reformasi di mana peran legislatif lebih dominan maka selayaknya inisatif pengajuan RUU tersebut berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat. Aparat pemerintah tampaknya telah mengalami trauma dengan pengalaman tahun 2004 ketika Departemen Agama baru mulai melakukan kajian dalam bentuk penyusunan naskah akademis namun telah mengalami penentangan dari berbagai pihak karena dipandang memiliki motif tertentu. Sadar akan besarnya kemungkinan reaksi terhadap RUU PKB ini baik dari kalangan internal umat Islam maupun dari umat beragama lainnya, maka NU perlu memprakarsai perbincangan tentang perlindungan kebebasan beragama yang kemudian diajukan kepada pemerintah dan DPR sebagai bahan penyusunan lebih lanjut.

D. Muatan RUU PKB

Adapun muatan yang perlu diatur dalam Rancangan Undang Undang perlindungan kehidupan Beragama adalah sebagai berikut:

1. Pengertian umum:


* Pengertian agama
* Kehidupan beragama
* Pengertian kebebasan beragama

- Batasan kebebasan beragama
- Hak dan kewajiban umat beragama

* Pengertian kerukunan hidup umat beragama
* Pengertian pemurnian agama
* Pengertian pembaruan agama
* Pelayanan terhadap masyarakat umat beragama:

1. Formalistik
2. Substansial
3. Esensial

2. Tujuan kehidupan beragama
3. Hubungan agama dengan Negara
4. Integrasi nilai dan hukum agama kepada hukum negara
5. Integrasi nilai kebangsaan dalam keberagamaan
6. Peningkatan pemahaman agama
7. Peningkatan penghayatan agama
8. Peningkatan pelayanan bagi pengamalan ajaran agama
9. Peningkatan pengamalan ajaran agama
10. Peranan pemerintah dalam pemeliharaan kehidupan beragama
11. Peranan umat beragama terhadap negara
12. Kewajiban setiap penganut agama terhadap penganut lainnya
13. Ketentuan Penetapan Hari-Hari Besar Keagamaan
14. Kedudukan aliran sempalan agama:

Pengembangan pemikiran
Gerakan Keagamaan
Penodaan/penistaan Agama

15. Kode Etik Penyiaran agama/kode etik Symbol Agama
16. Pendirian rumah ibadat
17. Kedudukan organisasi majelis keagamaan
18. Ketentuan tentang bantuan luar negeri keagamaan
19. Penyumpahan terhadap pejabat pemerintahan
20. Tugas dan Tanggung lembaga kerukunan dalam pemeliharaan keserasian sosial umat beragama
21. Tugas dan Tanggung Jawab Pemerintahan Daerah dalam pemeliharan kehidupan beragama
22. Sanksi Administratif, sanksi Perdata dan Sanksi Pidana terhadap pelanggaran undang-undang.

Makasar, …………………..2010



Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,






DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan

Undang-Undang No. 2/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP 2009) dibentuk berdasarkan ketentuan UU Sisdiknas 2003 (UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) Pasal 53 Ayat (1), bahwa “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum”. UU BHP mengandung asas lex specialis yang bakal menjadi acuan bagi semua kegiatan pendidikan, mulai dari pengembangan infrastruktur, tata kelola, proses, kegiatan formal dan non-formal, kurikulum, hingga penyediaan semua komponen terkait.

Tetapi UU BHP 2009 menuai kontroversi, bahkan konstitusionalitasnya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi berdasarkan permohonan dari berbagai kalangan. Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas 2003 dan UU BHP 2009 dinilai bertentangan dengan “paradigma pendidikan” yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dan sejumlah pasalnya (Pasal 28C ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (1), Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 31).

B. Tanggapan Masyarakat Terhadap UU BHP 2009

1. Pro UU BHP

* Pro- UU BHP dimaksudkan sebagai koreksi terhadap konsep dan pelaksanaan BHMN yang telah berjalan, bukan replika dari BHMN;
* UU BHP 2009 menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun nonakademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi.
* UU BHP menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom. Rantai birokrasi diputus, diserahkan ke dalam organ badan hukum pendidikan (BHP) yang menjalankan fungsi badan hukum: penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan. Misalnya di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen Dikti, Inspektora Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Dengan BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ representasi pemangku kepentingan.
* Otonomi pendidikan, menurut UU BHP, harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP.
* Nirlaba: UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai 90 persen. Saat ini, UU BHP membatasi menjadi maksimal 1/3 dari biaya operasional (jaminan UU BHP bahwa kenaikan SPP tidak terjadi).
* UU BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar.
* UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi tapi berpotensi secara akademik, terutama kelompok 20 persen termiskin, dimana sampai saat ini hanya 3 persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi.
* Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari keseluruhan peserta didik yang baru.
* Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikti 20 persen beasiswa atau bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademiki tinggi.
* UU BHP mengikat tanggungjawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Misalnya Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD (daerah) dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, investasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
* UU BHP mengharuskan yayasan dan lembaga pendidikan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan. Laporan pembiayaan pendidikan harus diaudit secara profesional dan diumumkan secara terbuka melalui media massa (keuntungan bagi media massa nasional).
* AD/ART yayasan pendidikan harus disesuaikan dengan UU BHP. Yayasan diberi waktu enam tahun untuk menyesuaikan diri dengan tata kelola dan pendanaan menurut UU BHP. Pemilik yayasan masih bisa dominan, tetapi tetap harus bisa mewadahi berbagai representasi banyak pihak dan harus bersifat nirlaba.
* BHP berwenang melakukan tindakan hukum dan menanggung konsekuensi hukum atas tindakannya. Pasal 63 UU BHP menyebutkan: “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 4 ayat (1), Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 39 adalah pasal-pasal yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah nirlaba, seluruh sisa dari hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

2. Kontra UU BHP 2009


* UU BHP mereduksi kewajiban konstitusional dan tanggung jawab negara untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan. BHP tidak lebih dari sebuah bentuk lepas tangan negara atas pembiayaan pendidikan nasional;
* UU BHP telah mendorong komersialisasi dan liberalisasi pendidikan dengan membawa para pelaku penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar. Maka Pemerintah yang seharusnya menjadi faktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan hanya ditempatkan menjadi fasilitator.
* Kebijakan ini adalah proses privatisasi atau liberalisasi pendidikan yang sebelumnya telah diperkuat Peraturan Presiden No. 76 dan 77 Tahun 2007 tentang kriteria usaha di bidang penanaman modal yang membuka peluang besar kepada modal asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. UU ini membuka jalan bagi asing untuk memegang saham sampai 49 persen untuk tiap satuan pendidikan tingkat menengah dan universitas.
* UU BHP memperlakukan “modal dan pemilik modal” sebagai faktor utama penyelenggaraan pendidikan. Terbukti, UU BHP menekankan pada tata kelola keuangan sebagai dasar dalam mengembangkan pendidikan.
* Otonomi pendidikan dalam UU BHP, khususnya otonomi pendanaan pendidikan, hanya mitos;
* Lembaga pendidikan akan mengarah pada tujuan pragmatis komersial ketimbang pada tujuan kritis dan mencerdaskan bangsa untuk melahirkan putra-putri terbaik bangsa yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman;
* BHP dan UU BHP memberatkan peserta didik dan masyarakat serta mempersempit akses masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Biaya pendidikan yang mahal dan berorientasi pada modal akan menghalangi akses pendidikan untuk berbagai kalangan yang tidak mampu. Meskipun UU BHP memberikan kuota bagi masyarakat miskin, namun ternyata “jatah” tersebut adalah untuk orang-orang miskin yang berprestasi.
* Pengaturan mengenai BHP seharusnya merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga tidak memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik.
* Janji yang diberikan oleh BHP tentang asas keadilan dan pemerataan bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan, hanya diatas kertas. Dalam kenyataannya penerimaan mahasiswa baru sudah dikafling, 40% melalui jalur Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI), 60 % melalui jalur umum (SNMPTN). Yang 60% itu sudah termasuk 20% bagi calon mahasiswa yang msikin dan pintar. Jadi adil dan merata hanya berlaku pada dalam proporsi kurang dari 60%. Saat ini, yang dilakukan oleh PT BHMN malah sudah lebih memprihatinkan lagi. Yang melalui jalur umum (SNM PTN) kurang dari 40%.
* Dengan BHP maka SDM dengan kompetensi intelektual tinggi dalam Universitas yang semula menjadi khazanah intelektual milik bangsa, tidak lagi menjadi aset milik Bangsa sebab mereka sudah sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar. Brain drain yang selama ini sudah terjadi akan lebih parah lagi. Putra-putri terbaik bangsa akan lari ke negara lain yang lebih maju untuk mencari imbalan materi yang lebih tinggi, mengikuti arus kapitalis internasional. Negara tidak bisa ikut campur dalam hal ini.
* Dengan BHP maka khazanah IPTEK dan temuan-temuan strategis yang semula menjadi aset budaya dan milik bangsa menjadi terbuka untuk dijual kepada pihak manapun yang bisa membeli dengan harga lebih tinggi. Bangsa dan negara tidak akan punya aset intelektual dan tidak akan bisa melakukan pengembangan IPTEK strategis demi kepentingan bangsa (pertahanan keamanan, pertanian, industri, dsb).
* Pernyataan bahwa dengan UU BHP menjadikan pemerintah lebih banyak menanggung sumber dana pendidikan bagi Universitas, tidak bisa dibuktikan sebab:

a. Seberapa besarpun dana yang diberikan oleh pemerintah tidak akan lebih dari 20% APBN untuk semua tingkat pendidikan.
b. Jika sebuah PTN (PT BHP) telah mampu mendanai dirinya sendiri, maka pemerintah tidak lagi mendanai, proporsi dana dari pemerintah bisa nol. Itu artinya, PTN (PT BHP) tersebut sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar, dan idea kapitalis.

C. Sikap Muktamar NU

A. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan.

B. Pendidikan seharusnya dijauhkan dari aspek komersialisasi dan kapitalisasi dengan membawa para pelaku penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar, maka pemerintah seharusnya menjadi faktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan, hanya ditempatkan menjadi fasilitator. Kebijakan ini adalah proses privatisasi atau liberalisasi pendidikan yang sebelumnya telah diperkuat Peraturan Presiden No. 76 dan 77 Tahun 2007 tentang kriteria usaha di bidang penanaman modal yang membuka peluang besar kepada modal asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. UU BHP ini membuka jalan bagi asing untuk memegang saham sampai 49 persen untuk tiap satuan pendidikan tingkat menengah dan universitas.

C. BHP membahayakan kelangsungan hidup bangsa terutama dalam menjaga khazanah budaya, khazanah intelektual, dan khazanah IPTEK yang memiliki nilai strategis demi masa depan dan kejayaan bangsa.

D. BHP akan memasukkan semua sektor strategis dalam bidang pendidikan kedalam pengaruh kapitalis internasional, yang lemah akan tergisa secara semena-mena oleh yang kuat.

E. Mengusulkan untuk merevisi UU Sisdiknas dan UU BHP agar semua mudlarat yang tersebutkan diatas dan mudlarat-mudlarat yang lain, tidak akan terjadi.

Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,







DRAFT

MATERI BAHTSUL MASAIL DINIYAH QONUNIYAH

TENTANG

UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004

TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (SJSN)

A. Latar Belakang

Menurut UUD Negara RI tahun 1945, Indonesia merupakan negara hukum dengan konsep negara kesejahteraan. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan untuk memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Hal ini merupakan konsekuensi dari amanat konstitusi yang menentukan bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Reformasi sistem jaminan sosial di Indonesia telah dimulai dengan pengesahan Undang undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada tanggal 19 Oktober 2004. Namun dalam kurun waktu kurang dari 4 bulan sejak disyahkan, tepatnya 21 Februari 2005, UU SJSN tersebut mendapatkan uji materi yang putusannya dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Agustus 2005. UU SJSN tersebut merupakan landasan hukum bagi penyelenggaraan sistem jaminan sosial di Indonesia, tidak secara tegas mengatur eksistensi peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan program- program jaminan sosial sebelum UU SJSN dan sampai saat ini masih terus berlaku.

Undang undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJNS menentukan adanya 5 (lima) jenis program jaminan sosial yaitu: Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian. Namun, jaminan kesehatan yang mendapat prioritas untuk memenuhi hak konstitusi rakyat Indonesia untuk “ memperoleh pelayanan kesehatan” dan “jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”, belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terkait dengan belum dipenuhinya pendirian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang menurut UU SJSN harus dibentuk melalui Undang undang tersendiri.

Masyarakat perlu berpartisipasi dalam proses penyusunan RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ini, karena RUU tersebut akan mengatur badan yang dipercaya untuk mengumpulkan, menghimpun, mengelola dan mengembangkan dana jaminan sosial milik seluruh peserta untuk pembayaran manfaat kepada peserta. Tugas, hak dan kewajiban BPJS sudah ditentukan dalam UU no 40 tahun 2004 tentang SJSN. Menurut Pasal 5 UU SJSN Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 , BPJS harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri, artinya harus dengan persetujuan wakil rakyat. Sampai saat ini belum ada BPJS yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU SJNS. Untuk mengisi kekosongan hukum, maka Persero Jamsoktek, Persero Taspen, Persero Taspen, Persero ASABRI dan Persero Askes diberikan hak untuk bertindak sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan syarat disesuaikan dengan UU SJSN, paling lambat pada tanggal 19 Oktober 2009.

B. Permasalahan :


1. Terdapat perbedaan dasar hukum dalam pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional oleh Badan Penyelenggara dengan dasar hukum masing- masing badan penyelenggara lainnya, seperti Persero Jamsoktek, Persero Taspen, Persero Taspen, Persero ASABRI dan Persero Askes.
2. Data masyarakat miskin versi BPS beda dengan versi Pemda.
3. Sistem pensiunan dan asuransi sosial dalam sistem jaminan sosial belum jelas.
4. Belum ada Lembaga Jaminan Sosial Dasar untuk golongan bawah dan sektor informal
5. Law enforcement peraturan perundangan masih lemah
6. Ada perbedaan dengan prinsip nirlaba dalam sistem
7. Adanya perbedaan substansi UU no.40 tahun 2004 dengan 15 undang undang yang terkait dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional dan 17 Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan undang undang yang bersangkutan.
8. Masih lemahnya koordinasi penanganan Sistem Jaminan Sosial Nasional

C. USULAN


1. Perlu menindak lanjuti 26 pasal dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang perlu dibuatkan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan perundang-undangan lainnya.
2. Perlunya kriteria miskin dan yang berhak mendapat Jaminan Sosial yang jelas.
3. Perlunya aturan kerja sama antar instansi terkait data penduduk dan tingkat sosialnya.
4. Perlu koordinasi penanganan Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pembentukan Badan Penyelenggara di tingkat daerah.
5. Perlu Pelaksanaan UU SJSN secara konsisten- harmonisasi seluruh peraturan dan perundangan terkait.
6. Mendorong dibuatnya Undang Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 5 yo pasal 52 ayat 2 UU SJSN dengan bentuk badan hukum wali amanat – sesuai amanat UU SJSN.
7. Perlunya pekerja di sector informal bisa mendapatkan jaminan social


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,





DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYAH QONUNIYAH

TENTANG

AMANDEMEN UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992

TENTANG KESEHATAN

A. Pendahuluan

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan bahwa kesehatan merupakan hak azasi manusia, yang mencakup hak atas informasi, hak atas privasi, hak untuk menikmati teknologi kesehatan, hak atas pendidikan tentang kesehatan, hak atas ketersediaan makanan dan gizi, hak untuk mencapai standar hidup optimal, dan hak atas jaminan sosial. Sejalan dengan itu, pembangunan bidang kesehatan di Indonesia, sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 34 ayat (3) mencakup segi kehidupan fisik maupun non-fisik yang diselenggarakan secara terpadu, mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabililatif yang menyeluruh dan berkesinambungan, seperti yang tertuang dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) tahun 1982. Pembangunan kesehatan ditujukan agar masyarakat mampu hidup sehat sehingga terwujud derajat kesehatan yang optimal. Hal ini berimplikasi pada perlunya mengikut sertakan masyarakat dalam upaya pembangunan kesehatan.

Indonesia mempunyai permasalahan kesehatan yang kompleks, selain beban jumlah penduduk yang besar, luasnya daerah geografis dan banyaknya jumlah pulau, beragamnya suku bangsa, serta beragamnya tradisi dan adat istiadat. Disamping itu, keterbatasan sumberdaya, kemiskinan dan masih rendahnya tingkat pendidikan perempuan, juga menambah kompleksitas masalah kesehatan. Hal ini berakibat pada masih tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu, serta rendahnya tingkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dapat menggambarkan tingkat kualitas SDM rakyat Indonesia.

Keberadaan Undang Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, diharapkan dapat menciptakan suatu tatanan hukum yang memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum baik bagi pemberi pelayanankesehatan maupun bagi masyarakat penerima pelayanan kesehatan. Namun dalam pelaksanaannya, fokus upaya kesehatan masih terkonsentrasi pada upaya pengobatan (kuratif) belum preventif. Padahal, Paradigma sehat tidak saja meliputi penyembuhan penyakit, menurunkan angka kematian, atau memperpanjang umur harapan hidup, melainkan lebih luas, yaitu bahwa kesehatan mendorong penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas sejak dini sejak sebelum terjadinya pembuahan. Pada kenyataannya, kebijakan publik di bidang kesehatan belum memandang pelayanan kesehatan sebagai kebutuhan utama dan investasi SDM, hal ini tampak dari kecilnya anggaran belanja bidang kesehatan yang kurang dari 5% APBN. Bandingkan dengan anggaran bidang pendidikan yang telah mencapai 20% APBN.

B. USULAN

Perkembangan keadaan saat ini menuntut dilakukannya perubahan/ amendemen UU nomor 23 tentang Kesehatan 1992 dalam hal:

1. Perlunya perhatian khusus pada pelayanan kelompok beresiko tinggi yaitu Kesehatan ibu, Anak, remaja, usia lanjut dan penyandang cacat.
2. Adanya kepastian dan jaminan hukum mengenai penghentian kehamilan yang bermutu, aman, bertanggung jawab yang dilakukan oleh tenaga kesehatan atas indikasi kegawatan medis.
3. Adanya kepastian peningkatan anggaran kesehatan hingga mencapai 15% APBN
4. Perlunya menciptakan desentralisasi pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau dan adil.
5. Adanya jaminan yang tegas terhadap hak reproduksi yang berorientasi pada pembentukan generasi penerus bangsa yang sehat, berkualitas dan bertakwa.
6. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan yang lebih merata dan mutu pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi publik.
7. Meningkatkan layanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat tidak mampu
8. Memberikan arah bagi politik pembangunan nasional yang mengarah pada pembangunan yang berwawasan kesehatan.
9. Perlunya dimuat kembali pasal tentang bedah mayat, transplantai, dan transfuse sebagaiman telah diatur dalam uu no. 23 tahun 1992


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,






DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

UU TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

A. Pendahuluan

Salah satu kewajiban umat Islam yang menjadi salah satu rukun Islam dan mencerminkan wujud pertanggungjawaban sosial individu umat Islam adalah membayar zakat. Karena posisi yang demikian itu, maka keberhasilan pengelolaan zakat menjadi faktor dominan dalam menentukan kesejahteraan hidup umat Islam, dan akan menentukan perkembangan sektor-sektor strategis lain yang bagi umat Islam, seperti pendidikan. Pengalaman pengelolaan zakat di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat belum dilakukan sebagai suatu sistem yang baik dan efektif, serta sesuai dengan maqashidus syar’iyyah. Upaya melembagakan pengelolaan zakat sebagai suatu sistem yang baik bukannya tidak pernah dilakukan, antara lain dengan dibentuknya lembaga Bazis secara struktural-nasional dan diterapkannya model-model pengelolaan zakat oleh kelompok masyarakat tertentu. Tetapi sampai saat ini hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Pengelaman tentang keberhasilan pengelolaan zakat lebih bersifat kasuistik dan baru berjalan secara parsial dan belum menjadi sistem nasional.

Pelaksanaan zakat bagi umat Islam bisa dikategorikan sebagai salah satu bagian dari hukum (syari’at) Islam yang bisa diserap secara formal dalam sistem hukum nasional berupa UU yang diperuntukkan bagi khusus umat Islam. Dalam konteks ini maka kehadiran UU tentang Pengelolaan Zakat yang baik bisa dipahami dan menjadi kebutuhan mendesak umat Islam. UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaannya yang selama ini menjadi landasan juridis dalam pengelolaan zakat di Indonesia belum mampu menciptakan sistem pengelolaan zakat yang pensyariatannya bertujuan untuk menciptakan keadilan dan pemerataan (kay la yakuna dhulatan bayn-al aghniya’i minkum) dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan ini maka program legislasi untuk melakukan perubahan terhadap UU tentang Pengelolaan Zakat yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah bersama DPR merupakan langkah strategis dan harus mendapat dukungan.

B. USULAN

Substansi yang perlu menjadi materi pengaturan dalam RUU tentang Pengelolaan Zakat antara lain sebagai berikut:

1. Paradigma dan asas pengelolaan zakat.

Sesuai dengan arah pembentukan peraturan perundang-undangan, maka paradigma dan asas pengelolaan zakat yang diserap secara formal dalam hokum nasional melalui UU ini, maka harus ada jaminan bahwa melalui UU ini harus tercipta proses penyadaran di kalangan umat Islam untuk menunaikan kewajiban membayar zakat. Membayar zakat selain dipahami sebagai kewajiban yang bersifat syar’iy disadari juga merupakan kewajiban sebagai warga Negara.

2. Kelembagaan pengelolaan zakat.

Yang harus diperhatikan dalam kelembagaan pengelolaan zakat ini, adalah adanya kejelasan tentang status lembaga ini dalam tata kelola pemerintahan Negara (apakah lembaga Negara, semi Negara, atau lembaga mandiri), tugas dan kewenangannya, integritas sumber daya manusia yang akan mengisi lembaga, penerapan manajemen yang bersifat transparan dan akuntabel.

3. Pengumpulan, Pendistribusian dan Pendayagunaan.

Selain faktor kelembagaan, kemampuan manajemen pengelolaan zakat dalam mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan hasil zakat masih merupakan titik lemah dalam pengelolaan zakat selama ini. Kegiatan pengumpulan zakat belum berhasil menjaring semua muzakki. Pendistribusian hasil zakat juga sering menimbulkan masalah, baik ketidakmerataan, ketidakteraturan dan ketidakterbukaan. Lebih-lebih dalam hal pendayagunaan zakat. Hampir sebagian besar zakat yang berhasil dihimpun habis didistribusikan untuk hal-hal yang bersifat konsumstif.

4. Pengawasan Melekat

Beberapa kasus, lembaga berbadan hukum melakukan distribusi harta zakat secara tidak benar, seperti digunakan untuk bantuan pendirian rumah ibadah non muslim dengan alasan toleransi. Untuk itu perlunya pengawasan melekat terhadap lembaga-lembaga yang diberi hak untuk mengumpulkan atau menyalurkan zakat, infaq, shadaqah oleh instansi yang diberi wewenang untuk itu.

5. Partisipasi masyarakat

Sesuai dengan prinsip dan asas pembuatan peraturan perundang-undangan, serta berpedoman dengan qawaidut taqnin Nahdlatul Ulama, maka setiap norma hukum yang ditetapkan dalam suatu UU, maka implementasinya harus memberikan ruang partisipasi yang besar bagi masyarakat. Partisipasi masyarakat yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan proses pembentukan kelembagaan, rekrutmen sumber daya manusia, pemberian akses informasi kepada masyarakat, pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengawasan dan lain-lain.

6. Ketentuan tentang sanksi

Sebagai salah satu instrumen untuk membentuk dan melakukan perubahan sosial di tengah masyarakat, maka UU tentang Pengelolaan Zakat harus bisa mendorong para pihak yang keberadaannya ditetapkan dalam UU ini untuk menaati segala ketentuan. Karena itu ancaman sanksi harus diberikan secara tegas bagi pihak yang melakukan pelanggaran, apalagi ini menyangkut pengelolaan harta umat Islam.

Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,






DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYAH QONUNIYAH

TENTANG UNDANG-UNDANG BIDANG POLITIK

A. LATAR BELAKANG

Untuk mengimplementasikan amanah UUD 1945 hasil amandemen, telah dilakukan perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi digulirkan, terutama reformasi bidang politik. Kekuasaan negara dibagi secara tuntas ke dalam tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan pemerintahan, kekuasaan legislatif dan kekuasaan kehakiman, dan hubungan antara ketiga cabang kekuasaan tersebut dibangun dengan prinsip check and balances. UUD 1945 diamandemen tetapi dengan tetap mempertahankan bentuk NKRI, dasar Negara Pancasila dan pemerintahan tetap menggunakan sistem presidensiil. Lembaga-lembaga negara, baik yang lama maupun yang baru dan dibentuk berdasarkan ketentuan Konstitusi, dirumuskan eksistensinya sedemikian rupa sehingga dapat mendorong terwujudnya tujuan Konstitusi. Proses dan kegiatan demokrasi diperbarui, pemilihan umum diselenggarakan secara demokratis dan dibentuk penyelenggara pemilu yang lebih mandiri. Pengisian jabatan-jabatan publik secara umum dilakukan melalui mekanisme pemilihan. Presiden, anggota DPD dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Sejak reformasi Indonesia telah menyelenggarakan tiga kali pemilu legislatif dan dua kali pemilu presiden serta ratusan kali pemilu kepala daerah. Nyaris sepanjang tahun rakyat terlibat dalam kegiatan pemilu, yang secara tidak langsung mengurangi konsentrasi masyarakat dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.

Sampai di sini seakan-akan Indonesia telah berubah wajah: dari negara otoriter menjadi negara tempat bersemayamnya dengan subur kehidupan demokrasi. Dunia internasional memberikan apresiasi yang besar terhadap perkembangan kehidupan demokrasi. Tetapi setelah reformasi berjalan lebih dari 10 tahun dewasa ini rakyat justru menghadapi kondisi yang dirasakan tidak wajar dan tidak semestinya. Hiruk pikuk kegiatan politik, baik yang berlangsung secara reguler seperti pilkada atau pileg/pilpres, maupun kegiatan politik insidentil yang lahir dari dinamika politik yang sangat tinggi, belum berbanding lurus dengan perbaikan kesejahteraan rakyat. Proses demokrasi yang berjalan amat cepat makin meninggalkan masyarakat yang kondisinya tertatih-tatih secara ekonomi. Akibatnya, proses demokrasi melahirkan sikap aji mumpung, pragmatisme, dan budaya politik uang sehingga biaya demokrasi menjadi semakin mahal. Hal lain yang merisaukan, adalah berubahnya kesantunan dan etika politik, terganggungnya keistiqamahan para tokoh nonpolitik karena ikut masuk ke dalam percaturan politik praktis, dan hilangnya ruh keteladanan dalam kehidupan sosial karena faktor kehidupan politik. Banyak orang menilai, demokrasi yang berkembang di Indonesia belum sepenuhnya efektif untuk menciptakan kesejahateraan rakyat dan tatanan kehidupan yang lebih adil.

Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara tujuan dan cita-cita demokrasi yang luhur dan realitas sosial politik yang dihasilkan? Banyak faktor yang bisa diidentifikasi sebagai penyebabnya. Salah satunya adalah berkaitan dengan produk perundang-undangan yang menjadi instrumen pembentukan sistem dan tatanan sosial masyarakat. Ada beberapa materi UU bidang politik yang ikut menciptakan carut marutnya kehidupan politik, atau menyebabkan arah reformasi berjalan semakin liar. Karena itu, salah satu ikhtiar strategis yang penting untuk dilakukan adalah melakukan kajian dan perbaikan beberapa UU bidang politik.

B. MATERI UU YANG MENGANDUNG PROBLEM

1. UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah juncto UU No.12 Tahun 2008. Salah satu point penting yang diatur dalam UU ini adalah mengenai pemilihan kepala daerah, yaitu gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota, secara langsung oleh rakyat. Di dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa gubernur dan bupati /walikota dipilih secara demokratis. Hal ini berbeda dengan pemilihan presiden, yang di dalam rumusan pasal 6-A ayat (1) UUD 1945 disebutkan “Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat”. Para wakil rakyat sesuai dengan kewenangannya, membuat UU 32 tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008 dan menentukan pilihan politik hukum mengenai pemilihan kepala daerah, yaitu dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini merupakan keputusan politik yang berani dana lompatan jauh dibanding periode sebelumnya.

Memang, setelah pilkada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, rakyat menikmati hasil proses demokrasi dalam pemilui lokal, yaitu hadirnya kepala daerah yang memiliki legitimasi politik yang kuat. Tetapi pada sisi lain, muncul dampak negatif sebagaimana diuraikan di atas. Memang tidak mungkin untuk mengembalikan sistem kehidupan demokrasi ke sistem lama, yaitu kepoala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyat. Tetapi yang perlu diperhatikan, sejak digelar pilkada secara langsug oleh rakyat tahun 2005 telah muncul budaya pragmatism dan politik uang yang mengakibatnya tersingkirnya orang-orang yang memiliki integritas kepemimpinan yang baik, tetapi tidak cukup memiliki kapital untuk maju menjadi kepala daerah.

Khusus mengenai pemilihan guberbur secara langsung oleh rakyat, telah memunculkan persoalan “perebutan legitimasi” antara gubernur dan bupati/walikota, dan mengaburkan posisi gubernur yang di dalam Konstitusi dinyatakan sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam konteks ini patut dikaji ulang. Apakah level gubernur tetap dipilih langsung oleh rakyat atau sebagai wakil pemerintah pusat geburnur cukup diangkat oleh presiden, atau dipilih melalui mekanisme perwakilan.
2. UU No. 10 tahuh 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. UU ini disusun dalam tekanan politik yang tinggi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya pasal yang substansinya merupakjan kompromi dari berbagai kepentingan politik, dan banyaknya pasal yang diajukan ke MK untuk dijudical review dan sebagian besar dikabulkan oleh MK. Beberapa ketentuan dalam UU ini yang menimbulkan implikasi politik yang tidak sederhana, antrara lain mengenai persyaratan parpol yang relatif ringan untuk bisa ikut pemilu sehingga melahirkan banyak partai peserta pemilu, ketentuan teknis penghitungan dan penetapan kursi yang tidak sederhana. Adapun mengenai sistem pemilunya sendiri sebagaimana yang diatur dalam UU ini, yaitu proporsional terbuka dengan suara terbanyak, sudah cukup ideal untuk kondisi Indonesia.

Penyelengraaan pemilu yang diikuti oleh banyak partai ternyata membengkakkan anggaran pemilu, dan memunculkan kerumitan teknis administratif yang luar biasa. Pada kenyataannya, meskipun banyak partai yang ikut penyelenggraraaan pemilu, hanya ada sembilan yang bisa lolos memenuhi ketentuan Parlemen Threshold 2,5% dari suara sah ecara nasional. Penetapan peroleh kursi dengan menggunakan suara terbanyak di tengah sistem multi partai melahirkan berbagai problem, seperti rumitnya teknis penghitungan suara dn rekapitulasi hasil penghtiungan suara, persaingan super ketat di kalangan calon, baik antrpartrai mapupun di internal partai, dan merebaknya politik uang. Karena itu sudah waktunya ada kemauan politik yang tegas dengan melakukan perubahan peraturan UU, untuk membatasi jumlah partai sampai pada angka yang ideal.

C. USULAN KOMENDASI

1. Pelaksanaan pemillihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat perlu diperbaiki sistem dan aturan pelaksanaannya sehingga tidak makin mengembangkan perilaku negatif dalam proses demokrasi di tengah masyarakat. Perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah jo UU No.12 Tahun 2008, atau dibuat UU tersendiri tentang pemilu kepala daerah, yang memungkinkan lahirnya persaingan yang sehat dalam proses pilkada, dan mencegah terjadinya politik uang. Khusus untuk gubernur, mengingat posisinya yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah dan untuk menyederhanakan pilkada tidak perlu lagi dipilih langsung oleh rakyat, tetapi cukup dipilih oleh presiden dari nama-nama yang diajukan oleh daerah melalui mekanisme DPRD.
2. Penghentian Pemekaran wilayah, karena apa yang terjadi selama ini justru tidak sejalan dengan tujuan demokratisasi karena yang dipertaruhkan adalah terjadinya perebutan jabatan dan perselisihan antara daerah induk dengan daerah yang dimekarkan akibat perebutan batas wilayah, aset daerah dan lain sebagainya.
3. Sejak awal dimulai pemerintahan yang baru setiap partai politik telah mempersiapkan kadernya yang akan duduk dalam DPR maupun di lembaga eksekutif agar sejak awal telah memiliki idealisme untuk memperjuangkan kepentingan pembangunan baik yang bersikap nasional maupun daerah guna menghindari munculnya kader karbitan yang muncul secara tiba-tiba akibat dukungan kekuatan relasi dan finansial.
4. Untuk menyedederhanakan proses demokrasi dan menghindarkan berulangkalinya penyelenggaraan pemilu, perlu direncanakan penyelenggaraan pemilu dengan memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal. Dengan demikian hanya akan ada dua kali pemilu, yaitu pemilu nasional untuk memilih presiden, anggota DPR dan DPD, dan pemilu lokal untuk memilih bupati/walikota dan anggota DPRD.
5. Paket UU bidang politik juga perlu direvisi untuk mewujudkan sistem pemilu yang lebih demokratis, efektif dan lebih mudah. Pembatasan jumlah partai perlu dilakukan dengan memperketat persyaratan untuk bisa ikut pemilu yang bertujuan untuk menghindari kebingungan rakyat pemilih dan efisiensi anggaran.


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,






DARFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

PERLU SEGERANYA PERATURAN PEMERINTAH

TENTANG PORNOGRAFI

A. Pendahuluan

Rancangan Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi telah disahkan DPR menjadi Undang-undang Pornografi pada tanggal 30 Oktober 2008. Dengan demikian Indonesia telah memiliki aturan formal mengenai pornogarfi dan pornoaksi. Diharapkan Undang-undang ini akan dapat menyelamatkan bangsa dari kerusakan moral akibat pornografi dan pornoaksi yang sekarang ini semakin terbuka dan mudah diakses.

Namun demikian, keberadaan Undang-undang ini belum memberikan dampak positif terhadap maraknya pornografi dan pornoaksi di tengah-tengah masyarakat kita, sebab untuk efektifnya pelaksanaan sebuah undang-undang diperlukan peraturan pemerintah. Sementara sampai saat ini belum ada tanda-tanda pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang pornografi dan pornoaksi.

B. URGENSI PP PORNOGRAFI

PP tentang pornografi sangat dibutuhkan di samping sebagai penjabaran yang lebih operasional terhadap isi UU Pornografi, juga untuk memperjelas definisi dan batasan pornografi sebagaimana yang terkandung dalam UU Pornografi. Sebagaimana diketahui keberatan beberapa pihak terhadap UU ini di antaranya adalah definisi pornografi yang melahirkan berbagai pemahaman. Di satu sisi UU ini menjamin kelestarian budaya bangsa, tetapi jika dilihat dari pasal-pasalnya memungkinkan tradisi atau budaya local masuk dalam kategori pornografi. Bahkan ada tuduhan dari beberapa pihak bahwa UU Pornografi bertentangan dengan UUD 1945 terkait karena adanya pembatasan terhadap kebebasan berekspresi. Atas dasar itu, maka PP tentang Pronografi diharapkan mengakhiri seluruh persengketaan yuridis formal dari undang undang tersebut.

Karena itu, diterbitkannya peraturan pemerintah diharapkan dapat menjembatani perlindungan terhadap moral bangsa dan tradisi budaya Indonesia yang berlandaskan bhineka tunggal ika.

C. USULAN

1. Segera diterbitkan PP-nya agar UU Pornografi bisa berjalan efektif dan manfaatnya dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia.

2. Perlunya penegasan kategori dan kriteria pornografi dan pornoaksi agar tidak menimbulkan salah tafsir dan salah paham di kalangan masyarakat.

3. Kriteria pornografi dan pornoaksi:

a. Terbuka untuk umum tanpa batas usia

b. Subyek Aktornya bukan anak-anak

c. Dominasi daya tarik pornografi dan pornoaksi untuk merangsang hasrat seksual. (ma tasytahihi anfusu wa taladzul a’yun)

d. Tidak terkait ritual keagamaan atau aksi spiritual keagamaan.

e. Tidak membawa misi utama pesan moral dan kepentingan pendidikan atau eksposisi dan konfigurasi seni berbobot tinggi. Dengan kejelasan instrument yang dapat dijadikan ukuran tentang merangsang syahwat dan nilai seni.

4. Perlunya ketegasan dalam PP, apakah kasus yang terkait dengan Pornografi termasuk delik aduan atau delik biasa/pidana.

5. Sanksi hukum yang jelas, tegas dan dijatuhkan pada subyek aktor atau fasilitatornya secara konsisten.

6. Sosialisasi tentang akibat yang ditimbulkan dan penegasan terhadap aparat yang berwenang untuk itu

7. Perlunya aturan kendali dalam pengembangan Teknologi Informatika terutama hal-hal yang terkait dengan akses internet porno.

8. Perlunya penambahan kuantitas unsur ulama dalam LSF

9. Perlunya instansi khusus yang menangani hal-hal yang terkait dengan pornografi dan pornoaksi

Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,





DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

PP NO. 55 TAHUN 2007

PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN

A. Pendahuluan

Pendidikan diniyah dan pesantren adalah model/system pembelajaran yang tumbuh dan berkembang berbasis nilai, karakter, dan budaya. Diantara keutamaannya adalah transformasi ilmu pengetahuan yang bersifat substansif dan egalitarian. Sistim pendidikan di pondok pesantren terbukti telah melahirkan format keilmuan yang multi dimensi yaitu ilmu pengetahuan agama, membangun kesadaran sosial dan karakter manusia sebagai hamba Allah. Atas dasar itu, maka dalam pengaturan PP No. 55 Tahun 2007 hendaknya memuat penegasan yang lebih kongkrit bukan saja terhadap masa depan pondok pesantren akan tetapi imbalan jasa yang patut di terima oleh pondok pesantren atas perannya dalam membina karakter bangsa yang merupakan sinergi antara mujahadah, ijtihad dan jihad.

Kehadiran PP 55/2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan diarahkan untuk memperkuat pelaksanaan pendidikan agama dan keagamaan. Regulasi ini menegaskan perlunya pendidikan yang memberikan pengetahuan dan pembentukan sikap, kepribadian, keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya dan pentingnya pendidikan keagamaan dalam mempersiapkan peserta didik memiliki pengetahuan agama dan menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan agamanya.

Oleh karena itu regulasi ini memerlukan berupa Peraturan Menteri Agama yang dapat memperjelas maksud PP ini. Regulasi yang akan dikeluarkan akan lebih baik apabila tetap memelihara karakter pesantren itu sendiri antara lain kemandirian pesantren sehingga regulasi yang akan dibuat tetap menjamin otonomi kelembagaan, pengelolaan akademik yang terkait dengan system pembelajarannya.

Isu pokok pada PP 55/2007 yang harus ada adalah penegasan tentang beberapa hal sebagai berikut:

1. Pengertian yang disebut pendidikan keagamaan formal, disebabkan kata “formal” menimbulkan masalah karena akan berhadapan dengan realitas pesantren yang secara historis memiliki otonomi kelembagaan, dan manajemen. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa pondok pesantren sama sekali terlepas dari perhatian manajemen pendidikan nasional.
2. Pondok pesantren telah memiliki pendidikan diniyah. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah masih perlu mendirikan pendidikan diniayah formal atau jalan keluarnya dengan adanya program pemerintah mendirikan pendidikan diniyah formal yang bersifat program percontohan akan tetapi tidak menyaingi lembaga pendidikan sejenis yang sudah ada.
3. Peraturan Pemerintah diperlukan tentang peserta didik, ujian, kurikulum dan penghargaan terhadap lulusan yang dihasilkan dari pondok pesantren.

B. Isi PP No. 55 Tahun 2005

1. Pasal 14 – 20: Pendidikan diniyah diselenggarakan pada jalur formal, non formal dan informal. Diperlukan penjelasan tentang ketiga jalur tersebut, apakah ketiga jalur tersebut harus ada atau hanya sekedar tawaran pilihan

2. Pasal 15, 16

Pendidikan Diniyah Formil

Perlu dipertegas posisi pemerintah

Seharusnya diniyah formal tidak diperlukan

3. Pasal 17,18,19

Apakah diperlukan pengaturan yang ketat tentang peserta didik, kurikulum dan ujian

Kalau terjadi pengaturan dikhawatirkan akan terganggu kemandirian dan keberlangsungan Pendidikan Diniyah Pasal 23 Majelis Taklim

Diperlukan penegasan bahwa majelis taklim adalah system pendidikan non formal sehingga dalam PP penyelenggaraan pendidikan majelis taklim termasuk di dalamnya.

4. Pasal 14 & 26 Tentang Pesantren:

Kurang jelas pengertian pondok pesantren

5. Pasal 14 ayat c menyebutkan

Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai system dan atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal

6. Pasal 26

Ayat 2:

Perlu penegasan dalam Peraturan Menteri Agama tentang hal berikut:.

Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah dan atau pendidikan tinggi.

C. Analisis

1. Dalam PP/2007 tentang Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pendidikan diniyah dibagi menjadi pendidikan diniyah formal, informal, dan nonformal. Permbagian tersebut perlu penjelasan karena dipahami bahwa pendidikan diniyah adalah pendidikan nonformal.
2. Penggunaan kata”formal” seperti “pendidikan diniyah formal” dalam PP tersebut memungkinkan terjadinya formalisasi pendidikan keagamaan yang dikhawatirkan pendidikan keagamaan yang sudah mapan di lapangan mengalami reduksi atau intervensi.
Perlu adanya penegasan bahwa pencantuman “formal” itu hanyalah sebutan alternative atau opsi, dan dalam rangka proses memperoleh recognisi (pengakuan).
3. Pasal (14 dan 26) tentang pesantren perlu penegasan pesantren sebagai wadah atau sebagai suatu pendidikan.
4. Regulasi yang akan dibuat tetap mempertahankan kesinambungan dan kemandirian pesantren.
5. Majelis taklim hendaknya berfungsi sebagai satuan pendidikan non-formal.

D. USULAN

1. Untuk membentuk pemahaman dan penjelasan tentang PP 55 / 2007 diperlukan peraturan Menteri Agama. PMA tersebut dapat menjamin keaslian, kesinambungan dan kemandirian pendidikan diniyyah dan pesantren.
2. PMA dan kebijakan tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan diharapkan mempertahankan otonomi kelembagaan, otonomi pengelola, otonomi akademik yang terkait dengan sistem pemberdayaan.
3. Menghidari sekolah “formal” seperti pendidikan diniyyah formal sehingga tidak terkesan adanya formalisasi pendidikan keagamaan.
4. Perlunya penekanan bagi sekolah-sekolah formal untuk mewajibkan siswa-siswinya mengikuti pendidikan diniyah sebagai solusi keterbatasan jam belajar materi agama di sekolah.
5. Penekanan fungsi pemerintah sebagai institusi yang memberikan pengakuan dan fasilitas dengan memberikan porsi pesantren sebagai sub system pendidikan yang memiliki spesifikasi khusus, bukan untuk melakukan intervensi dalam pendidikan diniyah.
6. Beberapa pasal dalam PP 55/2007 memerlukan revisi seperti tentang pendidikan diniyyah formal, pesantren, dll.
7. Kemandirian kurikulum pesantren dan madrasah diniyah sedapat mungkin agar tidak diganggu.


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,





DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

A. PENDAHULUAN

Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Dalam Islam masalah halal-haram dalam hal makanan sangat diatur dengan ketat, sehingga orang muslim tidak boleh mengonsumsi makanan dengan tidak mengindahkan ketentuan halal atau haram. Pengonsumsian makanan haram bagi seorang muslim akan berakibat dosa dan dapat menyebabkannya tidak bahagia di dunia dan akhirat. Karena itu ketersediaan makanan halal menjadi yang primer bagi seorang muslim.

Sementara itu, produk-produk makanan yang ada di Indonesia bervariasi ada yang halal dan ada yang haram. Persoalannya, produk-produk tersebut sulit diidentifikasi halal-haramnya oleh masyarakat umum karena ketidakmengertian masyarakat tentang kandungan makanan dan/atau identifikasi zat-zat yang tergolong haram.

Karena itu, untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi konsumen muslim, keberadaan undang-undang tentang jaminan Produk Halal sangat penting dan akan memberikan ketentraman batin dalam mengonsumsi dan memakai produk yang sesuai dengan tuntutan Islam.

B. USULAN

1. Pengawasan kehalalan produk baik produk dalam negeri maupun produk impor harus diatur secara tegas, jelas, dan efektif.
2. Kewenangan untuk memberikan labelisasi halal ada pada pemerintah, sedang pelaksanaan tehnisnya pemerintah harus melibatkan Majelis Ulama Indonesia (catatan: usul Majelis Ulama Indonesia mempunyai otoritas dan kewenangan di bidang fatwa kehalalan suatu produk sebagai pelaksanaan otoritas syar’i pemerintah mempunyai kewenangan bidang administrasi termasuk pemberian labelisasi halal).
3. Kewajiban produsen untuk menjamin produk halal diatur, dilaksanakan, dan diawasi secara efektif dalam berbagai peraturan perusahan sebagai tindak lanjut dan norma mandatory dalam undang-undang
4. Pelanggaran atas ketentuan undang-undang atas jaminan produk halal diberi sanksi baik bersifat administrative, ganti rugi dan atau pidana.
5. Selain tersedianya auditor halal yang akan melakukan audit suatu kehalalan suatu produk undang-undang harus juga mengatur adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang bertugas melakukan penyidikan terhadap pelanggaran pidana dalam Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal.


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,



Ketua, Sekretaris,





Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis H. Ahmad Zubaidi, MA

Anggota:

1. Drs. H. Selamet Effendy Yusuf, M. Si
2. H. Muhammad Fajrul Falaakh, SH, MA
3. KH Safruddin
4. Dr. H. Wahiduddin Adams, SH. MA
5. Dr. dr. H. Syahrizal
6. Dr. H. Hilmi Muhammadiyah, MA
7. Drs. H. Syaifullah Maksum

DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

TINDAK LANJUT UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2008

TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI

A. PENDAHULUAN

Ibadah haji merupakah salah satu ibadah dalam Islam yang memerlukan pengaturan yang komprehensip, hal ini mengingat pelaksanaan ibadah haji berada di luar negeri dan sangat jauh dari Indonesia. Ditambah lagi adanya keterkaitan antar lembaga dan kementerian yang memerlukan sinkronisasi kebijakan. Untuk memindahkan ratusan ribu jamaah baik saat keberangkatan atau kepulangan, serta mengatur pemondokan dan segala hal yang berkaitan dengan akomodasi bukanlah hal yang mudah. Juga berkaitan dengan minat umat Islam yang sangat tinggi untuk menunaikan ibadah haji perlu pengaturan yang jelas. Di sinilah diperlukannya keterlibatan pemerintah/Negara untuk mengatur pelaksanaan ibadah haji.

Dengan adanya UU No. 13 Tahun 2008 sebagai revisi atas UU No. 19 Tahun 1999 merupakan sinyal positip dari pemerintah akan perlunya keterlibatan pemerintah dalam regulasi penyelenggaraan ibadah haji. Namun demikian, keberadaan UU tersebut perlu dilihat lebih jauh apakah sudah memenuhi harapan umat Islam untuk terselenggaranya ibadah haji yang baik, biaya rasional dan akuntabel.

Karena itu, dalam Muktamar NU ke-32, muktarimin memberikan sikap, catatan-catatan, dan usulan sebagai kontribusi pemikiran untuk dapat terselenggaranya pelaksanaan ibadah haji dengan baik, dalam artian jamaah haji merasa puas terlayani dan mereka dapat beribadah dengan khusyu’ serta keungannya transparan dan akuntabel.

B. SIKAP MUKTAMIRIN

1. Pengawasan kehalalan produk baik produk dalam negeri maupun produk impor harus diatur secara tegas, jelas, dan efektif.
2. Guna untuk lebih efektifnya pengawasan penyelenggaraan ibadah haji sesuai ketetapan undang-undang perlu segera dibentuk komite pengawas haji Indonesia. Pemerintah segera mengusulkan keanggotaannya untuk diangkat oleh Presiden.
3. Mengingat persoalan yang menyangkut pengorganisasian pelaksanaan ibadah haji selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun maka dalam pelaksanaan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji diperlukan adanya Tim Penelitian dan Pengembangan Perhajian Nasional yang secara terus memantau, mengkaji dan meneliti perkembangan segala sesuatu yang menyangkut manajemen perhajian terutama di Arab Saudi sehingga pemerintah tidak selalu mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian kebijakan dengan perubahan peraturan yang terjadi sewaktu-waktu akibat ketetapan Pemerintah Arab Saudi yang berdampak pada kesulitan yang dialami para calon jamaah haji.
4. Usulan dalam penetapan PP:

a. Kejelasan tentang kriteria perumahan dan katering jamaah haji yang layak.
b. Peningkatan Pelayanan Haji secara umum.
c. Ketentuan kesempatan berhaji.
d. Inti masalah haji karena tidak terpisahnya pelaksana dan pengawas.
e. Transparansi dana yang dikelola oleh Departemen Agama dan harus ada laporan yang jelas kepada masyarakat.
f. Dana abadi ummat diupayakan bisa digunakan untuk talangan setoran haji oleh jamaah.
g. Penertiban KBIH sampai pada batas pengawasan atas pembiayaan yang dikelola.
h. Perlunya pengawas independent (catatan: Butir ini dihapus karena fungsi ini telah ada pada Komite Pengawas Haji Indonesia yang merupakan badan independen menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008).
i. Dalam kaitan Pasal 11 ayat (2) dan (3) bila petugas Depag tidak ada yang memenuhi sayarat (kemampuan dibidang manasik haji) maka Menteri Agama dapat menunjuk Petugas Haji dari Ormas Islam.


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,



Ketua, Sekretaris,





Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis H. Ahmad Zubaidi, MA

Anggota:

1. Drs. H. Selamet Effendy Yusuf, M. Si
2. H. Muhammad Fajrul Falaakh, SH, MA
3. KH Safruddin
4. Dr. H. Wahiduddin Adams, SH. MA
5. Dr. dr. H. Syahrizal
6. Dr. H. Hilmi Muhammadiyah, MA
7. Drs. H. Syaifullah Maksum
Kembali ke atas
Diposkan oleh MUQTAV AZKA IBADILLAH di 09:04 0 komentar
Label: Bahtsul Masail
BM Diniyah Maudluiyah- Muktamar NU Ke-32
BM Diniyah Maudluiyah


NASKAH RANCANGAN KEPUTUSAN

KOMISI BAHSUL MASAIL DINIYAH MAUDLU’IYYAH


MUKTAMAR KE-32 NAHDLATUL ULAMA

DI MAKASSAR

TANGGAL 22 - 27 MARET 2010

بسم الله الرحمن الرحيم



DRAFT

BAHSUL MASAIL AL-DINIYYAH AL-MAUDLU'IYYAH

MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA' KE-32

TH. 1431 H. / 2010 M.





1. FORMAT PENETAPAN HASIL BAHSUL MASAIL



Deskripsi Masalah

Isbatul ahkam dalam NU selama ini tidak dimaksudkan sebagai aktifitas menetapkan hukum yang secara langsung bersumber dari al-Qur’ân dan hadis, karena yang bisa melakukan hal ini adalah ulama yang masuk kategori mujtahid. Isbatul ahkam dalam konteks ini dimaksudkan sebagai penetapan hukum dengan cara men-tathbiq-kan (mencocokkan, menerapkan) secara tepat dan dinamis dari qaul dan ’ibarah terutama dalam kutub mu’tamadah di lingkungan mazhab Imam Syafi’i.

Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992, Ulama NU merumuskan perkembangan penting dari sistem isbatul ahkam. Ketika itu mulai diintrodusir ijtihad manhaji meskipun belum sepenuhnya mampu diaplikasikan dalam bahsul masail. Dalam Munas tersebut dirumuskan prosedur dan langkah-langkah penetapan hukum.

Dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo ada perkembangan baru, yaitu sejumlah ayat al-Quran dan al-Hadis dicantumkan dalam setiap jawaban persoalan hasil bahsul masail, tradisi demikian, nyaris tidak pernah dilakukan dalam bahsul masail NU sebelumnya.

Di samping itu, dalam Munas Alim Ulama di Surabaya tahun 2006, Ulama NU membuat pengelompokan kutub mu’tamadah di semua mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).



Pertanyaan :

1. Apakah perlu mencantumkan ayat-ayat al-Quran, al-Hadis, dan dalil-dalil syara’ lainnya dalam jawaban bahsul masail NU?

2. Jika memang diperlukan mencantumkan al-Quran dan al-Hadis, bagaimana formatnya? Apakah menggunakan urutan sesuai dengan tingkat kekuataannya (al-Quran, al-Hadis, al-adillatul ukhra kemudian aqwalul ulama), ataukah aqwalul ulama baru kemudian ayat al-Quran dan al-Hadis, dan al-adillatul ukhra?.

3. Sejauh mana muqaranatul madahib diperlukan dalam bahsul masail NU dengan menggunakan kutub mu’tamadah yang telah dirumuskan dalam Munas Alim Ulama di Surabaya?



Jawaban :

1. Musyawirun sepakat untuk mencantumkan ayat Al-Qur’an dan hadits, dengan ketentuan:

a. Wajhud dilalah-nya relevan dengan tema yang dibahas.

b. Ayat al-Qur’an / hadits yang dicantumkan adalah bagian pendapat ulama. Untuk itu ayat al-Qur’an atau al-hadits yang dicantumkan dilengkapi dengan tafsirnya atau syarhul hadits-nya.

2. Musyawwirun berbeda pendapat, antara mendahulukan ayat Al-Qur’an, al-hadits, dan al-adillatul ukhra atau mendahulukan aqwalul ulama. Sebagian mengatakan, aqwalul ulama didahulukan, sebagian lain berpendapat, ayat al-Qur’an, al-hadits, dan al-adillatul ukhra didahulukan.

3. Kesadaran akan pentingnya muqaranatul madzahib muncul dari prinsip wajibnya memilih qaul yang kuat atau lebih kuat dalilnya untuk diamalkan, karena untuk mengetahui bahwa suatu madzhab atau qaul memiliki dalil yang kuat atau lebih kuat diperlukan kegiatan muqâranah. Di pihak lain, kegiatan muqaranatul madzahib membuat seseorang menjadi kaya dengan aqwâl. Dan kekayaan aqwal bisa menjadi rahmah dengan adanya pilihan-pilihan dan jalan keluar dari himpitan situasi, dengan tetap berpegang pada prinsip عدم تتبع الرخص (tidak hanya mencari kemudahan semata)











2. DLAWABITHUL MASJID



Deskripsi Masalah

Secara etimologi, masjid berarti tempat sujud. Selain masjid, ada istilah lain; mushalla, langgar, surau, dan sebagainya, yang digunakan untuk arti yang sama: tempat untuk sholat yang identik dengan sujud.

Terminologi masjid inipun di daerah tertentu memiliki banyak sebutan, misalnya: Masjid biasa (la tuqamu fihil jumu’ah), Masjid Jami’ (tuqamu fihil jumu’ah), Masjid Raya, Masjid Agung, dll.

Meningkatnya ghirah umat Islam untuk menjalankan ibadah, melahirkan sebuah tempat yang asalnya aula, lapangan, atau tempat parkir menjadi tempat untuk sholat –bahkan juga untuk sholat jum’at–. Belum lagi banyaknya perkantoran, hotel, mall, stasiun, terminal yang mendirikan tempat ibadah yang difungsikan sebagai masjid, misalnya untuk jum’atan, i’tikaf, dsb.

Bahkan sekarang ini, dengan jumlah jama’ah yang makin banyak, jarak antara satu masjid dengan masjid yang lain terlalu dekat dan tidak memenuhi persyaratan jarak minimal di antara dua masjid sebagaimana dipersyaratkan imam sebagian mazhab.

Pertanyaan :



1. Apa kriteria suatu tempat layak disebut masjid, sehingga tempat itu memiliki keistimewaan, misalnya: untuk jum’atan, i’tikaf, tahiyattul masjid, larangan orang ber-hadas besar berdiam di dalamnya, dsb.?

2. Apakah tahiyyatil masjid berlaku bagi musholla, langgar, dan surau ?.

3. Bagaimana pandangan musyawirin terhadap persyaratan pendirian masjid dikaitkan dengan Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 9 dan 8, tahun 2006, di mana persyaratan minimal untuk mendirikan tempat ibadah (termasuk masjid) harus ada 90 orang jama’ah?

Jawaban :



1. Status suatu tempat dianggap sebagai masjid yang memiliki beberapa kekhususan, seperti menjadi tempat i’tikaf, shalat sunnah tahiyyatil masjid, haramnya orang ber-hadats besar diam di dalamnya dan sebagainya terwujud dengan beberapa cara:

a. Dengan pernyataan dari seseorang dalam kapasitasnya sebagai malik (pemilik) atau nadzir (pengelola/pengawas), misalnya dia mengatakan: “tanah ini saya wakafkan sebagai masjid, atau saya jadikan masjid, atau sebagai tempat i’tikâf.

b. Dengan qorinah yang menunjukkan sebagai masjid walaupun tanpa pernyataan, misalnya : pembangunan dilakukan di atas tanah mawat (tanah tak bertuan) dengan niat masjid, atau dengan adanya pemungutan sumbangan untuk dana pembangunan masjid. Maka, dengan terlaksananya pembangunan, tempat dimaksud dengan sendirinya menjadi masjid.

c. Status masjid terjadi bila seorang menentukan sebuah tempat dan mempersilahkan orang untuk i’ktikaf di dalamnya, maka tempat dimaksud menjadi masjid.

2. Setiap tempat yang dijadikan tempat shalat adalah disebut masjid. Karenanya, apapun nama atau istilahnya sepanjang digunakan untuk tempat shalat adalah masjid, sehingga dianjurkan (masyru’) untuk melakukan shalat tahiyyatil masjid di temapt tersebut. Sementara itu sebagian kecil musyawirin berpendapat bahwa, mushala, langgar, dan surau tidak dianggap masjid. Sehingga tidak dianjurkan (ghairu masyru’) shalat tahiyyatil masjid.

3. Peraturan tersebut dapat dibenarkan dan wajib ditaati apabila mengandung kemaslahatan, karena pemerintah memiliki kewenangan mengatur pembangunan masjid di wilayahnya sebagaimana juga pemerintah memiliki kewenangan mengatur pembangunan tempat ibadah agama lain.

السنة المطهرة:



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنْ اْلأَنْبِيَاءِ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا" (رواه البخاري عن جابر؛ رقم 328، بيروت، دار ابن كثير، سنة 1407 مـ. / 1987 هـ.، طبعة 3، ج 1، ص 128)



قال ابن حجر العسقلاني في شرح هذا الحديث:

"جعلت لي الأرض مسجدا" أي كل جزء منها يصلح أن يكون مكانا للسجود, أو يصلح أن يبنى فيه مكان للصلاة. (فتح الباري شرح صحيح البخاري، بيروت، دار المعرفة، سنة 1379، ج 1، ص 533)



أقوال العلماء :

قال شمس الدين الرملي: أنه لو سمر السجّادة صح وقفها مسجدا وهو ظاهر، ثم رأيت العناني في حاشيته على شرح التحرير لشيخ الإسلام قال: "وإذا سمر حصيرا أو فَروة في أرض أو مسطبة ووقفها مسجدا صح ذلك وجرى عليهما أحكام المساجد ويصح الاعتكاف فيهما ويحرم على الجنب المكث فيهما وغير ذلك"، اه. (نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج, كتاب الاعتكاف, ج 3، ص 465)



قال محمد نووي الجاوي: ومثل الاعتكاف صلاة التحية فلو قال: أذنت في صلاة التحية في هذا المحل صار مسجدا لأنها لا تكون إلاّ في المسجد، ولو بنى البقعة على هيئة المسجد لا يكون البناء كناية وإن أذن في الصلاة فيه إلا في موات فيصير مسجدا بمجرد البناء مع النية لأن اللفظ إنما احتيج إليه لإخراج ما كان في ملكه عنه، وهذا لا يدخل في ملك من أحياه مسجدا فلم يحتج للفظ وصار للبناء حكم المسجد تبعا ويجري ذلك في بناء مدرسة أو رباط وحفر بئر وإحياء مقبرة في الموات بقصد السبيل. (نهاية الزين شرح قرة العين، محمد بن عمر بن علي بن نووي الجاوي، بيروت، دار الفكر، طبعة 1، ص 269)

وقال: وخرج بالمسجد المدارس والربط ومصلى العيد والموقوف غير مسجد فلا يحرم فيه ذلك، نعم إن لوّثته الحائض حرم من حيث تنجس حق الغير. (نهاية الزين شرح قرة العين، محمد بن عمر بن علي بن نووي الجاوي، بيروت، دار الفكر، طبعة 1، ص 34)











3. DLABITH AL-THIFL





Deskripsi Masalah

Menurut Undang-undang RI No.23 tahun 2002 tentang “Perlindungan Anak”, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dalam undang-undang ini, definisi anak berpatokan pada kepastian usia (18 tahun) dan tidak melihat faktor lain, misalnya daya kemampuan fisik dan mental (psikis) untuk menetapkan akhir masa kanak-kanak berpindah menjadi dewasa (baligh), yaitu dengan keluarnya sperma bagi laki-laki dan telah menstruasi (bagi wanita).

Sementara itu dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, batas usia minimal nikah bagi wanita adalah 16 tahun dan bagi laki-laki 19 tahun.

Berbeda dengan UU Perlindungan Anak, Utsman Najati dalam kitabnya “al-Hadits al-Nabawi wa ‘ilm an-Nafs”, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1989, hal. 234), menyatakan, marhalah thufulah tercakup fase-fase perkembangan anak yang meliputi; 1) fase menyusui (marhalat radha’ah), usia 0-2 tahun, 2) fase awal usia anak (thufulah mubakkirah), usia sekitar 3-6 tahun, 3) fase tengah usia anak (thufulah mutawassithah), usia sekitar 6-9 tahun, dan 4) fase akhir usia anak (thufulah muta’akhirah), usia sekitar 9-12 tahun.

Dalam literatur lain disebutkan, fase kanak-kanak dimulai dari umur 3-6 tahun, atau di atas itu, yaitu hingga umur 9 tahun. Selain itu ada Fase Menjelang Remaja (Marhalat Qablal Hulm), Fase Remaja (Marhalatu Al-Hulm), dan kemudian memasuki Fase Dewasa (Marhalah Rusydah). Ringkasnya, seseorang disebut anak ketika usianya di bawah 9 tahun dan bukan 16 atau 18 tahun versi UU Perlindungan Anak.

Dari batasan usia anak – baik menurut syariat Islam maupun versi UU Perlindungan Anak – , maka semua tindakan dan perbuatan anak ketika anak melakukan tindak pidana atau kriminalitas konsekwensinya ditangung orang tuanya, belum boleh menikah, hak pilih, dll.





Pertanyaan :



1. Bagaimana definisi dan kriteria “anak” dalam perspektif Islam? Dan apa konsekuensi hukum ketika anak yang belum mencapai batasan baligh melakukan perbuatan hukum, misalnya: nikah, mu’amalah, jinayat, dan lain-lain?. Di samping itu apa pula konsekuensi hukum ketika batasan usia baligh dalam Islam berbenturan dengan batasan usia dalam hukum positif (UU Perlindungan Anak)



Jawaban :

1. Anak (ath-thifl) ialah manusia yang belum memasuki kondisi baligh (dewasa). Ada empat tanda, bahwa seseorang telah dianggap baligh.

Pertama: usia, dan itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Bagi laki-laki berumur 15 tahun –menurut Syafi’iyyah dengan perbedaan dalam menentukan 15 tahun, sebagian berpendapat sempurna 15 tahun, sebagian yang lain berpendapat 14 tahun 6 bulan. Menurut Hanafiyah, untuk laki-laki ada dua riwayat, 19 tahun dan 18 tahun. Untuk perempuan juga terdapat dua riwayat, 18 tahun dan 17 tahun. Sedangkan Malikiyyah tidak mengakui usia sebagai batasan baligh.

Kedua: Hulm (keluar mani karena mimpi, senggama, atau lainnya) setelah sempurna usia 9 tahun bagi laki-laki dan perempuan.

Ketiga: Haidl (menstruasi) dan hamil. Haidl sebagai batasan baligh setelah sempurna usia 9 tahun. Sedangkan hamil apabila umur kandungan 6 bulan lebih dalam usia 9 tahun.

Keempat: Inbat (tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan). Dalam perspektif Islam inbat tidak dianggap sebagai batasan baligh meskipun dalam budaya kalangan kafir hal itu dianggap sebagai batasan baligh. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa inbat dianggap juga sebagai batasan baligh.

القرآن الكريم :

﴿وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ﴾ (النور: 59)

قال القرطبي :

والمعنى : أن الأطفال أمروا بالإستئذان فى الأوقات االثلاثة المذكورة وأبيح لهم الأمر في غير ذلك كما ذكرنا, ثم أمر تعالى في هذه الآية أن يكونوا إذا بلغوا الحلم على حكم الرجال فى الإستئذان في كل وقت. (الجامع لأحكام القرآن / تفسير القرطبي، محمد بن أحمد بن أبي بكر بن فرح القرطبي، القاهرة, دار الشعب، سنة 1372 هـ.، طبعة 2، ج 12، ص 308)

وقال:

وقال مالك وأبو حنيفة وغيرهما: لا يحكم لمن لم يحتلم حتى يبلغ ما لم يبلغه أحد إلا احتلم, وذلك سبع عشرة سنة فيكون عليه حينئذ الحد إذا أتى ما يجب عليه الحد, وقال مالك مرة: بلوغه بأن يغلظ صوته وتنشق أرنبته . وعن أبي حنيفة رواية أخرى: تسع عشرة سنة, وهي الأشهر، وقال فى الجارية: بلوغها لسبع عشرة سنة وعليها النظر، وروى الؤلئي عنه : ثمان عشرة سنة. ((الجامع لأحكام القرآن / تفسير القرطبي، القاهرة, دار الشعب، سنة 1372 هـ.، طبعة 2، ج 5، ص 35)



﴿وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ﴾ (النساء: 6)



وقال البيضاوي:

{حتى إِذَا بَلَغُواْ النّكَاحَ} حتى إذا بلغوا حد البلوغ بأن يحتلم ، أو يستكمل خمس عشرة سنة عندنا لقوله عليه الصلاة والسلام: " إذا استكمل الولد خمس عشرة سنة، كتب ماله وما عليه وأقيمت عليه الحدود " وثماني عشرة عند أبي حنيفة رحمه الله تعالى. وبلوغ النكاح كناية عن البلوغ، لأنه يصلح للنكاح عنده. (أنوار التنـزيل وأسرار التأويل / تفسير البيضاوي، ناصر الدين بن عمر بن محمد البيضاوي، بيروت، دار الفكر، سنة 1416 هـ. / 1996 مـ.، ج 2، ص 149)



وقال الخازن :

وأما الذي يختص بالنساء فهو الحيض والحبل فإذا حاضت الجارية بعد استكمال تسع سنين حكم ببلوعها وكذلك إذا ولدت حكم ببلوغها قبل الوضع بستة أشهر لأنها أقل مدة الحمل (لباب التأويل في معاني التنزيل / تفسير الخازن، علاء الدين علي البغدادي الشهير بالخازن، بيروت، دار الفكر، سنة 1399 هـ. / 1979 مـ.، ج 1، ص 480)



وقال البغوي :

فالبلوغ يكون بأحد {أشياء أربعة} (2) ، اثنان يشترك فيهما الرجال والنساء، واثنان تختصان بالنساء:

فما يشترك فيه الرجال والنساء أحدهما السن، والثاني الاحتلام، أما السن فإذا استكمل المولود خمس عشرة سنة حكم ببلوغه غلامًا كان أو جارية، لما أخبرنا عبد الوهاب بن محمد الخطيب، أنا عبد العزيز بن أحمد الخلال، أنا أبو العباس الأصم، أنا الربيع، أنا الشافعي، أخبرنا سفيان بن عيينة عن عبد الله بن عمر عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: عُرضْتُ على رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أحد وأنا ابن أربع عشرة سنة، فردَّني، ثم عُرضتَ عليه عام الخندق وأنا ابن خمس عشرة سنة فأجازني (3) ، قال نافع: فحدثتُ بهذا الحديث عمر بن عبد العزيز، فقال: هذا فرق بين المقاتلة والذريّة، وكتب أن يفرض لابن خمس عشرة سنة في المقاتلة، ومن لم يبلغها في الذرية. وهذا قول أكثر أهل العلم.

وقال أبو حنيفة رحمه الله تعالى: بلوغ الجارية باستكمال سبع عشرة، وبلوغ الغلام باستكمال ثماني عشرة سنة.

وأما الاحتلام فنعني به نزول المني سواء كان بالاحتلام أو بالجماع، أو غيرهما، فإذا وجدت ذلك بعد استكمال تسع سنين من أيهما كان حُكم ببلوغه، لقوله تعالى: {وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا} وقال النبي صلى الله عليه وسلم لمعاذ في الجزية حين بعثه إلى اليمن: "خُذْ من كل حالم دينارا" (1) .

وإما الإنبات، وهو نبات الشعر الخشن حول الفرج: فهو بلوغ في أولاد المشركين، لما روي عن عطية القرظي قال: كنت من سبي قريظة، فكانوا ينظرون فمن أنبت الشعر قتل، ومن لم ينبت لم يقتل، فكنت ممن لم ينبت (2) .

وهل يكون ذلك بلوغًا في أولاد المسلمين؟ فيه قولان، أحدهما: يكون بلوغًا كما في أولاد الكفار، والثاني: لا يكون بلوغا لأنه يمكن الوقوف على مواليد المسلمين بالرجوع إلى آبائهم، وفي الكفار لا يوقف على مواليدهم، ولا يقبل قول آبائهم فيه لكفرهم، فجعل الإنبات الذي هو أمارة البلوغ بلوغًا في حقهم.

وأما ما يختص بالنساء: فالحيض والحَبَل، فإذا حاضت المرأة بعد استكمال تسع سنين يُحكم ببلوغها، وكذلك إذا ولدت يُحكم ببلوغها قبل الوضع بستة أشهر لأنها أقل مدة الحمل. (معالم التنزيل / تفسير البغوي، الحسين بن مسعود البغوي، بيروت، دار المعرفة، سنة 1407 هـ. / 1987 هـ.، طبعة 2، ج 1، ص 394-395)



2. Perbedaan pendapat di antara fuqahâ`, tentang batasan usia bâligh akan menjadi rahmat, bila masing-masing pendapat diletakkan dan diterapkan pada konteks yang sesuai, misalnya dalam konteks taklîf (beban-beban kewajiban Agama), digunakan pendapat yang mengatakan 15 tahun, dan dalam konteks pernikahan dan perlindungan anak digunakan pendapat yang mengatakan 18 atau 19 tahun









4. KONSEPSI EKONOMI KERAKYATAN



Deskripsi Masalah

“Ekonomi kerakyatan” sebagai sebuah slogan yang diusung oleh sebagian Capres-Cawapres 2009 maksudnya adalah merupakan tatanan ekonomi yang berpihak kepada rakyat secara menyeluruh –terutama rakyat miskin–.

Sementera itu, sejarah mencatat, para Ulama sejak masa-masa awal sudah mempunyai gerakan perekonomian yang disebut dengan Nahdlatut Tujjar yang kemudian menjadi ruh perjuangan Nahdlatul Ulama dalam bidang ekonomi. Lembaga ini berfungsi untuk membangkitkan serta mengembangkan ekonomi kerakyatan dalam sektor perdagangan –di samping pertanian – .

Di tengah kelesuan ekonomi yang berkepanjangan, dan di tengah persaingan dalam perdagangan bebas, muncullah harapan rakyat untuk segera diterapkan tatatan ekonomi kerakyatan. Sehingga, konsep ekonomi kerakyatan sering dibicarakan dalam berbagai kesempatan, bahkan para capres-cawapres dan cagub-cawagub dalam kampanyenya sering pula menjanjikan akan menerapkan ekonomi kerakyatan tersebut.



Pertanyaan :



1. Bagaimanakah rumusan ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan konsep Islam ?

2. Bagaimanakah bentuk-bentuk ekonomi liberal yang tidak selaras dengan konsep Islam ?



Jawaban :



Dalam Islam tidak dikenal istilah ekonomi keumatan, tetapi konsep Islam mengenai ekonomi mengacu kepada kepentingan umum (al-mashlahah al-‘ammah). Bukti konkritnya adalah ajaran-ajaran filantropi dalam Islam seperti zakat, shadaqah, dan infak. Dengan demikian:

Ekonomi keumatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada maqashid al-syari’ah (tujuan syari’at) dan ahkam al-syari’ah (aturan-aturan syariat).

Secara umum, tujuan syari’at adalah terwujudnya kemaslahatan manusia, zhahir-batin, dunia-akhirat. Dengan demikian, ekonomi keumatan adalah sistem ekonomi yang menjamin terwujudnya kesejahteraan ekonomi secara “seimbang dan bebas dari ketimpangan” (tafAawut). Keseimbangan ekonomi (tawazun iqtishady) akan tercipta apabila distribusi kekayaan berjalan dengan benar.

القرآن :

﴿مَا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾ (الحشر: 7)



قال الحسين بن مسعود البغوي :

والدولة اسم للشيء الذي يتداوله القوم بينهم بين الأغنياء منكم يعني بين الرؤساء والأقوياء معناه كيلا يكون الفي دولة بين الأغنياء والأقوياء فيغلبوا عليه الفقراء والضعفاء وذلك أن أهل الجاهلية كانوا إذا اغتنموا غنيمة أخذ الرئيس ربعها لنفسه وهو المرباع ثم يصطفي منها بعد المرباع ما شاء فجعله الله لرسوله صلى الله عليه وسلم يقسمه فيما أمر به ثم قال: (وَمَا آتَاكُمْ) أعطاكم الرسول من الفيء والغنيمة (فَخُذُوْهُ), (وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ) من الغلول وغيره (فَانْتَهُوا). وهذا نازل في أموال الفيء وهو عام في كل ما أمر به النبي صلى الله عليه وسلم ونهى عنه. (معالم التنـزيل / تفسير البغوي؛ الحسين بن مسعود البغوي، بيروت, دار المعرفة, ج 4، ص 318)



قال إسماعيل بن عمر بن كثير القرشي الدمشقي:

وقوله تعالى: ﴿كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ﴾ أي جعلنا هذه المصارف لمال الفيء لئلا يبقى مأكلة يتغلب عليها الأغنياء ويتصرفون فيها، بمحض الشهوات والآراء، ولا يصرفون منه شيئًا إلى الفقراء. وقوله: ﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾ أي مهما أمركم به فافعلوه، ومهما نهاكم عنه فاجتنبوه، فإنه إنما يأمر بخير وإنما ينهى عن شر. (تفسير القرآن العظيم / تفسير ابن كثير؛ بيروت, دار الفكر, ج 4, ص 337)



Misi menciptakan keseimbangan ekonomi dan perang melawan ketimpangan tidak bermakna bahwa kepemilikan kekayaan harus sama dan rata di antara umat, karena tidak seperti sistem ekonomi sosialis yang membatasi kepemilikan, Islam memberi kebebasan kepada setiap individu untuk memiliki harta kekayaan dengan syarat, kekayaan itu diperoleh dengan jalan yang benar, di-tasharruf-kan dengan cara yang benar, dan ada jatah untuk fuqara`, masakin dan mereka yang berhak memperolehnya.

Prinsip dan ajaran Islam yang menjamin terciptanya keseimbangan ekonomi sebagai wujud dari sistem ekonomi keumatan adalah sebagai berikut:

1- تقديم المصلحة العامة على المصلحة الخاصة

2- تقديم الأحوج على الأحوج

3- التعادل فى التبادل

4- الغنم بالغرم

5- تحريم الربا فى القروض والبيوع

6- منع الإحتكار

7- منع الغبن الفاحش فى العقود

8- تحريم القمار

9- منع كنز الذهب والفضة

10- النهي عن الإرتشاء (الرشوة)

11- الترهيب من الطمع والجشع

12- الترهيب من البخل

13- الترغيب فى القرض الحسن

14- الترغيب فى التبرع (الصد قة, الهبة, الهد ية, الوقف)

15- الترغيب فى التراحم بين المسلمين (الناس)

16- وجوب التزام الدولة بإعداد العمل وإعطاء العاجزين من أموالها

17- تحميل الموسرين بعبء تموين المعسرين والمحتاجين



















5. DLAWABITH ITTIHAD AL-MAJLIS



Deskripsi masalah

Secara umum, istilah Ittihad al-Majlis berarti kesatuan tempat, dan itu besar sekali pengaruhnya bagi sebuah transaksi / akad jual beli ( dalam sisi ijab-kabul, maupun hak khiyar).

Seiring dengan mobiltas massa dan perkembangan teknologi saat ini, konsep ittihad al-majlis dalam jual beli mengalami pergeseran, banyak terjadi transksi / akad jual beli tidak dalam satu tempat, seperti jual beli eksport-impor dengan menggunakan media telekomunikasi modern, misalnya, via teleconference, telepon, surat elektronik (e-mail), layanan pesan singkat (SMS) maupun faksimili?.

Pada prinsipnya, setiap akad harus jelas ijab dan kabulnya, dan media komunikasi modern ternyata mempu memberikan jaminan kejelasan antara ijab dan kabul



Pertanyaan :

1. Bagaimana pandangan Islam menyikapi akad jual-beli dengan menggunakan media seperti tersebut di atas?

2. Apa batasan (dhabith) itthadul majlis, apakah satu tempat, satu waktu, atau satu session?

3. Kapan muta’aqidain (kedua pihak yang bertransaksi) dikatakan berpisah, sehingga gugur hak khiyar al-majlis ?



Jawaban :

1. Dengan kemajuan teknologi, khususnya di bidang informasi dan komunikasi, proses akad jual beli dan akad-akad lainnya bisa dilakukan dari jarak jauh melalui telepon, teleconferens, e-mail, SMS, dan lain-lain. Akad jual beli dengan cara demikian dianggap fi hukmi ittihadil majlis sehingga akad jual belinya sah selama tidak unsur gharar dan dlarar. Ketentuan itu terpenuhi dalam transaksi / akad jarak jauh dengan menggunakan sarana komunikasi modern, karena masing-masing mutabayiain mengenali dan memahami lawannya serta mengetahui obyeknya (al-mabi’) sehingga tidak terjadi gharar, dengan begitu akan terealisasi ijab dan qobul yang taradlin.

2. Ittihadul Majlis bisa bermakna ittihad al-zaman (satu waktu), ittihad al-makan (satu lokasi), dan ittihad al-haiah (satu posisi). Apabila ittihâd al-majlis menjadi syarat sahnya jual beli, maka artinya ijab dan qabul harus berlangsung dalam waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan, tempat yang satu, dan posisi yang satu, dan masing-masing muta’aqidain memahami ijab/qabul lawannya. Perbedaan tempat yang disatukan dengan media komunikasi modern, membuat seolah-olah dua tempat yang berjauhan itu bisa dianggap menyatu (ta’addud al-makan fi manzilat ittihad al-makan).

3. Ittihadul majlis dianggap berakhir apabila:

a. Alat komunikasi yang menghubungkan muta’aqidain berakhir.

b. Salah satu muta’aqidain atau keduanya berpaling (i’radl) dari ijab.

c. Salah satu muta’aqidain atau keduanya berubah posisi, seperti asalnya duduk kemudian berdiri.

d. Sukutun thawilun (terdiam lama)

e. ‘Urf (dalam adat kebiasaan) dianggap berakhir

f. Apabila salah satu di antara muta’aqidain melakukan kegiatan lain, seperti makan kecuali kalau hanya sekedar satu suapan.



Dasar Penetapan :

أقوال العلماء :



قال يحيى بن شرف النووي :

فرع المراد بالمجلس الذي يشترط فيه الاعطاء مجلس التواجب وهو ما يحصل به الارتباط بين الايجاب والقبول، ولا نظر إلى مكان العقد. (روضة الطالبين وعمدة المفتين، يحيى بن شرف النووي, بيروت، المكتب الإسلامي، سنة 1405 هـ.، طبعة 2، ج 7، ص 381)

وقال :

الركن الخامس الصيغة ولا بد منها ويشترط أن لا يتخلل بين الإيجاب والقبول كلام أجنبي فإن تخلل كلام كثير بطل الارتباط بينهما وإن تخلل كلام يسير لم يضر على الصحيح. (روضة الطالبين وعمدة المفتين، يحيى بن شرف النووي, بيروت، المكتب الإسلامي، سنة 1405 هـ.، طبعة 2، ج 7، ص 395)

قال علاء الدين الكاساني :

فصل: وأما الذي يرجع إلى مكان العقد فواحد وهو اتحاد المجلس بأن كان الإيجاب والقبول في مجلس واحد فإن اختلف المجلس لا ينعقد حتى لو أوجب أحدهما البيع فقام الآخر عن المجلس قبل القبول أو اشتغل بعمل آخر يوجب اختلاف المجلس ثم قبل لا ينعقد لأن القياس أن لا يتأخر أحد الشطرين عن الآخر في المجلس لأنه كما وجد أحدهما انعدم في الثاني من زمان وجوده فوجد الثاني والأول منعدم فلا ينتظم الركن إلا أن اعتبار ذلك يؤدي إلى انسداٍٍٍد باب البيع فتوقف أحد الشطرين على الآخر حكما وجعل المجلس جامعا للشطرين مع تفرقهما للضرورة وحق الضرورة يصير مقتضيا ثم اتحاد المجلس فإذا اختلف لا يتوقف وهذا عندنا وعند الشافعي رحمه الله الفور مع ذلك شرط لا ينعقد الركن بدونه. (بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع، علاء الدين الكاساني، بيروت، دار الكتاب العربي، السنة 1982 مـ.، الطبعة الثانية، ج 5، ص 137)

قال عبد الرحمن الجزيري :

رابعها: أن تكون الصيغة مسموعة للعاقدين فلا بد أن يسمع كل من العاقدين لفظ الآخر إما حقيقة كما إذا كانا حاضرين أو حكما كالكتاب من الغائب لأن قراءته قامت مقام الخطاب هنا. (الفقه على المذاهب الأربعة, بيروت, دار الفكر، سنة ......, ط ...، دار الفكر, مبحث شروط النكاح, ج ..., ص ...)



قال الأستاذ الدكتور وهبة الزحيلي :

اتحاد المجلس إذا كان العاقدان حاضرين: وهو أن يكون الإيجاب والقبول في مجلس واحد، بأن يتحد مجلس الإيجاب والقبول، لا مجلس المتعاقدين؛ لأن شرط الارتباط اتحاد الزمان، فجعل المجلس جامعا لأطرافه تيسيراً على العاقدين. (الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت، دار الفكر, سنة ......، ط 3، شروط صيغة العقد, ج ...., ص ....)

وقال:

اتصال القبول بالإيجاب: بأن يكون الإيجاب والقبول في مجلس واحد إن كان الطرفان حاضرين معا، أو في مجلس علم الطرف الغائب بالإيجاب. ويتحقق الاتصال بأن يعلم كل من الطرفين بما صدر عن الآخر بأن يسمع الإيجاب ويفهمه، وبألا يصدر منه ما يدل على إعراضه عن العقد، سواء من الموجب أو من القابل. ومجلس العقد: هو الحال التي يكون فيها المتعاقدان مشتغلين فيه بالتعاقد. وبعبارة أخرى: اتحاد الكلام في موضوع التعاقد. (الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت، دار الفكر, سنة ......، ط 3، شروط الإيجاب والقبول, ج ...., ص ....)



6. DLAWABITH AL-KUFR DAN BID’AH



Deskripsi Masalah

Dalam sebuah hadis “man qôla li akhîhi anta kâfirun, fahuwa kâfir”, hadis tersebut seharusnya membuat kita lebih berhati-hati untuk menghukumi kafir pada sesama muslim hanya karena faham dan penafsiran terhadapa ajaran Islam, apalagi ajaran yang multi interpretasi. Kenyataannya aksi pengkafiran tehadap kelompok atau golongan yang dipandang sebagai lawan dan berbeda faham menjadi makin merebak.

Sikap pengkafiran ini lahir sebagai upaya untuk mendiskreditkan pihak yang dianggap sebagai lawan. Padahal sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa menuduh orang lain kafir berarti menghalalkan harta benda dan darahnya.

Sementara itu dalam hadits yang lain “kullu bid’atin dlolâlah wa kullu dlolâlah fi an-nâr”, Hadis ini juga dipakai sebagai dasar untuk melegitimasi tindakan orang-orang yang meng-kafir-kan atau mem-“bid’ah” kan siapa saja yang sejalan sejalan dengan pemahamannya, bahkan untuk masalah sederhana, seperti “tidak memelihara jenggot”, “tidak memotong celana diatas mata kaki” dll.



Pertanyaan :

1. Apa saja parameter sebagai batasan kafir dalam pandangan Islam?

2. Perbuatan apa saja yang menyebabkan sesorang itu masuk dalam kategori kafir?

3. Apa saja kriteria bid’ah, apakah bid’ah juga identik dengan kafir ?.



Jawaban :

Seseorang dianggap kafir apabila memenuhi salah satu kriteria dibawah ini :

a- Orang-orang yang mengingkari salah satu rukun iman yang enam ( iman kepada Alloh, kepada Malaikat-Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada Rosul-Rosul-Nya, kepada hari Qiyamat, kepada qadla’ dan qadar) salah satu rukun Islam yang lima (mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadlan, menunaikan ibadah haji).

b- Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan syari’ah (al-Qur’an dan al-Sunnah).

c- Meyakini dan mempercayai turunnya wahyu setelah al-Qur’an.

d- Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an.

e- Melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.

f- Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.

g- Menghina , melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.

h- Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rosul terakhir.

i- Merubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syari’ah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardlu tidak lima waktu.

j- Mengkafirkan sesama muslim hanya karena bukan kelompoknya.

k- Orang-orang yang mengingkari ajaran yang ma’lȗmun min al-dȋn bi al-dlarȗrah.







7. RELEVANSI QONUN WADL'I & HUKUM SYAR'I



Diskripsi Masalah

Sebagai orang yang beragama, maka tentunya kita mengakui aturan-aturan yang ditetapkan oleh Shohibusy Syari’ah. Tetapi juga sebagai manusia yang berinteraksi dengan sesama, disamping juga sebagai warga-negara tentunya ada aturan-aturan yang juga mengikat kita. Aturan-aturan dibuat oleh sesama makhluk itulah yang kemudian dikenal dengan istilah “hukum positif”(al-qonun al-wadl’i).

Seperti yang terjadi dinegara kita. Pemerintah telah memberlakukan bagi ummat Islam hukum positif (al-qonun al-wadl'i)) dengan diberlakukannya – diantaranya – Undang-Undang No.1 Th.1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9 Th.1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Th.1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Hukum Perkawinan, Kewarisan, Wakaf dan Hibah, Undang-Undang No.41 Th.2004 Tentang Wakaf, dan Undang-Undang No.23 Th.2002 Tentang Perlindungan Anak, dan undang-undang lainnya.

Dalam beberapa undang-undang tersebut di atas terdapat berbagai ketentuan yang berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan hukum syar'i. Misalnya, dalam Undang-Undang Perkawinan, terdapat ketentuan mengenai batasan umur bagi calon mempelai putera 19 tahun dan mempelai puteri 16 tahun, talak hanya bisa didinyatakan jatuh bila diikrarkan di depan sidang pengadilan. Demikian pula di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Hukum Kewarisan, terdapat ketentuan mengenai anak angkat memperoleh hibah sebesar seperempat dari jumlah harta warisan.

Menghadapi kenyataan ini, masyarakat Islam berada dalam keraguan untuk menerima dan menerapkan berbagai ketentuan dalam qonun wadl'i yang berbeda atau bertentangan dengan hukum syar'i. Bahkan mereka tetap menginginkan dan berupaya untuk dapat menerapkan hukum syar'i. Namun keinginan dan upaya tersebut terbentur dengan diberlakukannya hukum positif sebagaimana di atas.

Pertanyaan :

1. Bagaimanakah hubungan antara hukum syar'i dan qonun wadl'i ?

2. Ketentuan manakah yang harus diambil ketika terdapat perbedaan antara hukum syar'i dan qonun wadl'i ?.

Jawaban :

Posisi hukum positif dihadapan hukum syar’i ada beberapa kemungkinan :

1. Hukum positif menetapkan sesuatu yang tidak diperoleh petunjuk nash al-Qur’an secara sharih (eksplisit), bahkan kadang-kadang sengaja didiamkan oleh Syari’, dan itu mengimplisitkan kreasi mengatur “al-maskut 'anhu” oleh ummat Muhammad SAW, maka hukum positif seperti ini bisa diterima dan diikuti, sesuai dengan penegasan Usman ibn Affan ra. :



الأثر :

قال عبد المحسن العباد :

وقد بين أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضي الله عنه عظم منـزلة السلطان وما يترتب على وجوده من الخير الكثير، ومن حصول المصالح ودرء المفاسد، وذلك في قوله رضي الله عنه: "إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن"، لأن من الناس من يقرأ القرآن ويرى القوارع والزواجر ومع ذلك لا تحرك ساكنا في قلبه، ولا تؤثر عليه، ولكنه يخاف من سلطة السلطان، ومن بطش وقوة السلطان. (شرح سنن أبي داود، عبد المحسن العباد، ج 1، ص 2)



القاعدة :



"تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَة"، هذه القاعدة نص عليها الشافعي وقال: "مَنْزِلَةُ اْلإِمَامِ مِنْ الرَّعِيَّةِ مَنْزِلَةَ الْوَلِيِّ مِنْ الْيَتِيمِ". قلت: وأصل ذلك ما أخرجه سعيد بن منصور في سننه، قال: حدثنا أبو الأحوص عن أبي إسحاق عن البراء بن عازب قال: قال عمر رضي الله عنه: "إنِّي أَنْزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللهِ بِمَنْزِلَةِ وَالِي الْيَتِيمِ، إنْ احْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ فَإِنْ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ". (الأشباه والنظائر، عبد الرحمن بن أبي بكر السيوطي، بيروت، دار الكتب العلمية، سنة 1403 هـ.، طبعة 1،ج 1، ص 121)



2. Hukum positif menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum syar’i, maka dalam posisi ini harus ditolak.

السنة المطهرة :



عن عبد الله رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ" (متفق عليه - واللفظ للبخاري، رقم 6725، بيروت، دار ابن كثير, سنة 1407 هـ. / 1987 مـ.، طبعة 3، ج 6، ص 2612، )



قال ابن حجر العسقلاني :

قوله (فيما أحب وكره) في رواية أبي ذر "فيما أحب أو كره". قوله (ما لم يؤمر بمعصية) هذا يقيد ما أطلق في الحديثين الماضيين من الأمر بالسمع والطاعة ولو لحبشي, ومن الصبر على ما يقع من الأمير مما يكره, والوعيد على مفارقة الجماعة. قوله (فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة) أي لا يجب ذلك بل يحرم على من كان قادرا على الامتناع, وفي حديث معاذ عند أحمد "لا طاعة لمن لم يطع الله". وعنده وعند البزار في حديث عمران بن حطين والحكم ابن عمرو الغفاري "لا طاعة في معصية الله" وسنده قوي, وفي حدث عبادة بن الصامت عند أحمد والطبراني "لا طاعة لمن عصى الله تعالى" وقد تقدم البحث في هذا الكلام على حديث عبادة في الأمر بالسمع والطاعة "إلا أن تروا كفرا بواحا" بما يغني عن إعادته وهو في "كتاب الفتن" وملخصه أنه ينعزل بالكفر إجماعا" فيجب على كل مسلم القيام في ذلك, فمن قوي على ذلك فله الثواب, ومن داهن فعليه الإثم, ومن عجز وجبت عليه الهجرة من تلك الأرض. (فتح الباري شرح صحيح البخاري، أحمد بن علي بن حجر العسقلاني، بيروت، دار المعرفة، ج 13, ص 123)



عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ". (رواه البخاري)



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ" (رواه الطبراني عن عمران بن حصين رضي الله عنه، المعجم الكبير, رقم 381, بيروت, دار الفكر، ج 18، ص 170)

3. Apabila hukum positif menetapkan dan menganjurkan sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i, atau hukum positif menetapkankan sesuatu yang ditetapkan hukum syar’i baik dalam perkara wajib atau mandub, maka wajib ditaati, sedang jika menetapkan sesuatu yang mubah, apabila bermanfaat bagi kepentingan umum maka juga wajib ditaati, tetapi kalau tidak bermanfaat untuk umum maka tidak wajib ditaati.

قال محمد نووي الجاوي :

إذا أمر بواجب تأكد وجوبه، وإن أمر بمندوب وجب، وإن أمر بمباح فإن كان فيه مصلحة عامة وجب، بخلاف ما إذا أمر بمحرم أو مكروه أو مباح لا مصلحة فيه عامة. (نهاية الزين، محمد بن عمر بن علي بن نووي الجاوي، بيروت، دار الفكر، ج 1، ص 112)



قال الدسوقي :

واعلم أن محل كون الإمام إذا أمر بمباح أو مندوب تجب طاعته إذا كان ما أمر به من المصالح العامة. (حاشية الدسوقي على الشرح الكبير، محمد عرفه الدسوقي، بيروت، دار الفكر، ج 1، ص 407)



Makasar, ……..…………………..2010



Komisi Bahsul Masail Diniyah Maudlu’iyyah,



Ketua,

KH. Drs. HM. Masyhuri Naim, MA

Sekretaris,

H. Drs.Arwani Faisal, MA



Anggota:

1. KH. Ma’ruf Amin
2. KH. DR.Maghfur Usman
3. KH. DR. Malik Madany, MA
4. KH. Afifuddin Muhajir
5. Prof. DR.H. Fathurrahman Rauf


sumber: muktamar.nu.or.id
Diposkan oleh MUQTAV AZKA IBADILLAH di 08:37 0 komentar
Label: Bahtsul Masail
Posting Lama Beranda
Langgan: Entri (Atom)
Pengikut
Arsip Blog

* ▼ 2010 (10)
o ▼ Mei (10)
+ SMS wilujeng boboran siam basa sunda
+ BM Diniyah Qonuniyah - Muktamar NU ke-32
+ BM Diniyah Maudluiyah- Muktamar NU Ke-32
+ HUKUM TRANSAKSI ELEKRONIK
+ Pendapat Ulama Mazhab 4 tentang hukum merokok
+ Firqah Islam
+ PUPUJIAN SAJARAH NABI SAW
+ Masalah MLM
+ MARS RAHIMA - CECEP JK
+ Kepemimpinan Situasional

Mengenai Saya

MUQTAV AZKA IBADILLAH

Lihat profil lengkapku

1 komentar: