Laman

Kamis, 03 Juni 2010

NASIB PETANI SUSU (RTL Analisa Sosial)

NASIB PETANI SUSU (RTL Analisa Sosial)
Oleh Ernawati

Sopandi (25 Th) dan Kakanya Yunus (30 Th) adalah salah satu diantara sekian banyak pemelihara sapi perah di kampungku, Kp Cibojong-Ds Balewangi –Kec Cisurupan,telah 5 tahun terakhir ini memelihara sapi perah sebanyak 4 ekor . Setiap hari saya perhatikan, Mereka berdua atau tetanggaku yang lainnya dari jam 04.00 pagi sudah sibuk mengurus sapi-sapinya, dari mulai mengangkut air, memberesihkan kandang , memandikan sapi-sapinya, memeras susu lalu membawanya ke penampungan susu (Koperasi Susu). Menginjak agak siang sekitar jam 07.00 mereka pergi mencari rumput, “ anu gaduh jukut nyalira mah raos, kantenan upami nuju musim hujan sok seueur jukutna, abdi ge gaduh mung saalit, janten kedah milari ka tempat anu sanes” (kalau punya tanaman rumput sendiri sih enak, apalagi kalau musim hujan, rumputnya banyak dan subur, saya juga punya, tapi hanya sedikit, jadi tetap harus mencari ke tempat umum yang lain. pen) Jawab Sopandi Ketika saya tanyakan dari mana bisa mendapatkan rumput-rumput itu. Dari waktu sepagi itu untuk mencari rumput baru bisa pulang sekitar jam 11.00., mereka pun istirahat untuk mempersiapkan pakan untuk sapi-sapinya itu. Sekitar jam 02.00 siang mereka kembali memeras susu dan dibawa ke penampungan sekitar jam 03.00 sore. Setelah itu pun masih ada tugas lain yaitu memberi pakan dan kembali memberesihkan kandang supaya sapi-sapinya sehat.
Yang paling sulit memelihara sapi yaitu menjaga sapinya supaya tidak terkena penyakit atau menjaga dari pencuri, jadi harus bisa menjaga 24 jam , apalagi kalau belum punya kandang yang tertutup , jelas sopandi ketika saya Tanya hal paling sulit dalam memelihara sapi perah. Karena kalau sapinya sakit produksi susunya menurun. Sedangkan menurut sebagian petani yang lain dan dari pihak koperasi banyak sekali hambatan yang dihadapi untuk mendapat keuntungan yang memadai, diantaranya :
1. Tidak ada subsidi dari pemerintah untuk pemeliharaan sapi khususnya pakan
2. Kualitas susu kita kalah dengan kualitas susu inport, karena pemeliharaan yang kurang maksimal karena biaya yang kurang memadai sehingga susu dari KUD sering tidak diterima oleh pihak perusahaan karena kualitas susu buruk, atau bias diterima tapi dengan harga lebih murah sehingga dampaknya sangat terasa oleh petani, harga susu semakin murah.
Dari pekerjaan yang menghabiskan waktu sehari-semalam , tenaga juga materi yang tidak sedikit (membeli rumput, dedak dan yang lain-lainnya, sebulan menghabiskan biaya sekitar Rp 600.000) Sopandi hanya memperoleh penghasilan dalm satu bulan sekitar Rp.1.350.000, itu pun kalau harga susu sedang bagus, untuk kualitas susu baik dihargai sekitar Rp 3000 menurutnya itu hanya cukup untuk hidup sehari-hari. “ batina mah upami sapina anakan weh” (keuntunganya kalau sapinya beranak. Pen) katanya ketika saya tanya tentang keuntungan.
Hal yang paling mengejutkan, ketika saya mewawancarai pihak koperasi susu yang biasa dikunjungi untuk menjual susu oleh para petani di kampungku termasuk Sopandi dan Yunus. Pihak koperasi menjual ke perusahaan Susu kental Indomilk, Diamond dan Danone dengan harga Rp 3.800/liter, pihak koperasi mendapatkan laba bersih Rp100/liter, setiap hari menampung 17.000 liter. Sedangkan untuk memproduksi satu kaleng susu pihak perusahaan membutuhkan 1 (satu) liter susu segar , satu kaleng susu dipasaran dijual seharga Rp. 7000. maka jika dihitung secara kasar keuntungan untuk perusahaan sekitar Rp 3.200/liter susu. Sedang untuk petani hanya Rp 1.700/liter.
Hal tersebut tidak hanya terjadi pada Sopandi dan Yunus, itu hanya segelintir dari sekian banyak petani kecil di negeri ini, yang paling menyedihkan banyak dari para petani tersebut para ibu yang harus menghidupi anak dan keluarganya, walaupun saya tidak sempat untuk mewawancarainya, sehingga mereka tidak punya banyak waktu untuk mengurus anak-anaknya yang dianggap kewajiban mereka sebagai ibu rumah tangga, Ironisnya, mereka (ibu-ibu) itulah sebagai sang penguasa susu di negeri ini tapi ternyata anak-anak mereka tidak bisa minum susu karena harga yang tidak terjangkau.
Demikianlah realitas social kita, yang sudah jelas dan nampak hanya menindas orang-orang yang sudah tertindas secara social, ekonomi, pendidikan bahkan dalam segala bidang. Apakah para penguasa negeri ini telah buta sehingga tidak mampu melihat kondisi anak negrinya ?!.

*Hasil wawancara pada tanggal 30 Agustus 2009 dengan Sopandi dan Yunus (pihak petani) dan Ust Gaosul Anam (Pengurus KUD Kec. Cisurupan).

Nafkah Keluarga, Tanggung Jawab Siapa?

Nafkah Keluarga, Tanggung Jawab Siapa?

Bagi laki-laki dianugerahkan hak dari apa yang diusahakannya, dan bagi perempuan dianugerahkan hak dari apa yang diusahakannya.” (QS. An-Nisa’: 32).

Keluarga merupakan unit komunitas yang paling kecil di masyarakat. Karenanya, lembaga keluarga ini menjadi tempat tumpuan pertama dan utama bagi kelangsungan hidup seseorang. Keluarga yang lazimnya terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang tinggal serumah, dan terkadang ditambah dengan anggota kerabat dekat lainnya, seperti kakek-nenek, atau adik ipar, dan sebagainya (extended family), merupakan cikal bakal dan inti bagi terbentuknya suatu masyarakat.

Dalam kehidupan keluarga tersebut, Islam telah menetapkan kewajiban laki-laki dan perempuan berdasarkan kadar kemampuan dan intelektualnya masing-masing. Salah satu dari peran utama laki-laki yang umumnya dianggap sebagai kewajiban utama seorang suami adalah bertanggung jawab mencari nafkah bagi keluarga. Sedang perempuan sebagai seorang istri bertugas mengatur dan mengembangkan nafkah itu.

Tetapi pada kondisi tertentu tanggung jawab tersebut bisa berganti. Bisa saja dalam sebuah keluarga yang bertugas mencari nafkah adalah istri. Tentunya hal ini karena ada beberapa alasan, di antaranya adalah kesempatan kerja yang dimiliki istri lebih besar; Atau seorang suami tidak mampu bekerja karena sakit; Atau mungkin penghasilan suami belum mencukupi kebutuhan keluarga atau alasan ekonomi lainya.

Tentang batasan bahwa yang bertanggung jawab mencari nafkah keluarga adalah bapak (suami), dalam Alquran tidak diatur secara tegas. Sebab dalam beberapa ayat yang dianggap sebagai dasar kewajiban suami sebagai pencari nafkah utama, sifatnya masih dalam bentuk umum. Dalam beberapa riwayat, istri juga memiliki kewajiban yang sama dengan suami dalam mencari nafkah, sehingga suami-istri dapat bekerja sama memenuhi kebutuhan keluarga.

Abu Sa’ad Al-Khuduri berkata, Nabi Muhammad saw., bersabda kepada Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud ra., “Suamimu dan anakmu adalah lebih berhak untuk kamu berikan sedekahmu kepada mereka.” (HR. Bukhari). Hadis ini menunjukkan dengan jelas, seorang istri atau ibu yang mencari nafkah bagi keluarganya, maka tiada lain baginya kecuali pahala dan kebaikan yang besar di sisi Allah swt.

***

Terkadang sebagian kita salah kaprah dalam menerjemahkan QS. An-Nisa’: 34, “Para laki-laki adalah para qawwam bagi perempuan karena anugerah yang diberikan Allah bagi sebagian atas sebagian yang lain dan karena mereka telah memberikan nafkah....” Sebab, pada ayat ini seseorang yang dikatakan sebagai qawwam, bukanlah karena jenis kelaminnya laki-laki. Melainkan pada konteks fungsi sosialnya (gender). Pada ayat ini juga dijelaskan, yang ditinggikan derajatnya adalah yang menafkahkan sebagian hartanya (yang mencari nafkah), tidak terkecuali lelaki ataupun perempuan. Berdasarkan ayat ini maka kewajiban mencari nafkah tidak hanya dinisbatkan pada laki-laki saja, tapi bagi siapa saja yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk melakukannya.

Pada kondisi tertentu Islam tidak melarang jika yang bertugas mencari nafkah keluarga adalah perempuan. Tetapi selama suami masih dalam keadaan sehat dan mampu, tanggung jawab sebagai pencari nafkah, adalah tanggung jawabnya. Jangan sampai seorang suami mengabaikan tanggung jawab itu, sehingga menelantarkan seluruh anggota keluarga. Dengan kata lain, suami-istri sesungguhnya sama-sama memiliki hak dan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di sinilah kerja sama dan upaya keduanya (suami-istri) sangat dipuji oleh Allah swt, sebagaimana QS. An-Nisa’: 32.

Dalam kasus lain, jika suami dan istri tidak mampu lagi mencari nafkah maka tugas mencari nafkah keluarga menjadi tanggung jawab anak laki-laki tertua. Inilah mungkin yang menjadi salah satu acuan hukum waris bagi laki-laki mendapat bagian yang lebih besar. Tapi inipun tidak mutlak, sebab dalam keadaan di mana tidak ada anak laki-laki atau ada anak laki-laki tapi belum dapat bekerja, maka tugas mencari nafkah keluarga menjadi tanggung jawab anak-anak yang mampu mencari nafkah, baik laki-laki maupun perempuan. Sebab, Islam tidak pernah membeda-bedakan laki-laki atau perempuan. Keduanya akan mendapat hak yang sama sesuai dengan apa yang mereka usahakan.

Janganlah kamu iri hati, karena Allah melebihkan setengah kamu dari yang lain. Untuk laki-laki ada bagian dari usaha yang dikerjakannya, dan untuk perempuan ada bagian dari usaha yang dikerjakannya. Kamu mintalah kepada Allah karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu. (QS. An-Nisa’: 32).

Bukankah di masyarakat kita, khususnya di pedesaan, kaum perempuan pada semua lapisan sosial ekonomi telah memberikan sumbangan nyata dalam memberikan penghasilan, memenuhi nafkah keluarga? Bahkan mereka juga tak jarang menanggung hampir semua beban pekerjaan rumah tangga yang tidak langsung memberikan imbalan, yaitu mengurus dan merawat anggota keluarga lainnya.
Namun demikian, sebagian umat memang masih memandang keluarga yang ideal adalah suami bekerja di luar rumah dan istri di rumah saja dengan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Anggapan negatif (stereotype) yang kuat di masyarakat ini, mestinya tidak menutup peluang baik bagi lelaki maupun perempuan untuk saling bekerja sama, sama-sama berkiprah, berbagi peran yang sama mencari nafkah, memenuhi kebutuhan keluarga, mengurus dan merawat seluruh anggota keluarga, dan sekaligus memimpin keluarga dengan penuh kasih sayang, dan ketundukan kepada Allah swt. Wallahu a’lam. Khumaidah, Lamongan – Jawa Timur

MAFAHIM ISLAMIYYAH

أحاديث الأحكام
أحاديث الأحكام مفهوم مركب من كلمتين (أحاديث الأحكام):
(أ) الأحاديث لغة: جمع على غير القياس لحديث ، وهو اسم لكل ما يتحدث به من كلام وخبر، قل أوكثر، كما فى مختار الصحاح.(1)
واصطلاحا: ما ورد عن رسول الله صلى الله عليه وسلم غير القرآن من قول ، أو فعل ، أو تقرير.(2)
فالقول: مثل قوله صلى الله عليه وسلم (إنما الأعمال بالنيات ، وإنما لكل امرئ ما نوى)الحديث رواه البخارى ومسلم وغيرهما.(3)
والفعل: وهو ما صدر عن النبى صلى الله عليه وسلم من أفعال ليست جبلية (خلقية)، مثل أداء الصلاء بهيئتها المعهودة، وكيفية وضوئه صلى الله عليه وسلم.
والتقرير: وهو سكوته صلى الله عليه وسلم عن إنكار فعل ، آو قول صدر من أحد من أصحابه فى حضرته آو غيبته وعلم به صلى الله عليه وسلم.
مثل قول ابن عمر (كان الرجال والنساء يتوضؤون فى زمان رسول الله صلى الله عليه وسلم من الإناء الواحد جميعا) أخرجه البخارى وأبو داو وغيرهما.(4)
(ب) الأحكام لغة: جمع حكم ، ويطلق على القضاء، كما فى مختار الصحاح.(5)
واصطلاحا: خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين بالاقتضاء، أو التخيير أو الوضع.(6)
أحاديث الأحكام اصطلاحا: من تعريف الحديث والحكم يمكن استنباط معنى شرعى لمصطلح "أحاديث الأحكام" هو "ما ورد عن النبى صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير يتضمن خطابا شرعيا يفهم منه طلب الفعل ، أو الكف عنه ، أو جعل شئ سببا أو شرطا لشئ أو مانعا منه..".
ومثال ذلك:
1-ما روى على بن أبى طالب-كرم الله وجهه-قال (جعل النبى صلى الله عليه وسلم ثلاثة أيام ولياليهن للمسافر، ويوما وليلة للمقيم) يعنى فى المسح على الخفين(7) رواه مسلم(8).
2-ما روى عن صفوان بن عسال أنه قال: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرنا إذا كنا على سفر أن لا ننزع خفا ثلاثة أيام ولياليهن ، إلا من جنابة ، ولكن من غائط وبول ونوم) رواه الترمزى(9).
وأحاديث الأحكام فى عرف المحدثين يطلق على تلك الكتب التى اشتملت على أحاديث الأحكام فقط ، وهى أحاديثه انتقاها مؤلفو هذه الكتب من المصنفات الحديثية الأصول ، ورتبوها على أبواب الفقه ، منها الكبير، ومنها المتوسط ، ومنها الصغير، وهى كثيرة(10) وأشهرها:
1-الأحكام الكبرى لأبى محمد عبد الحق ابن عبد الرحمن الأشبيلى ت581هـ.
2- الأحكام لعبد الغنى بن عبد الواحد المقدسى ت 600هـ.
3-الإمام فى أحاديث الأحكام لمحمد بن على ، المعروف بابن دقيق العيد ت 602هـ.
4-المنتقى فى الأحكام لعبد السلام بن عبد الله بن تيمية الحرانى ت 652هـ.
5-بلوغ المرام من أدلة الأحكام للحافظ أحمد بن على بن حجر العسقلانى ت 852هـ.
وقد شرحت أكثر هذه الكتب ، وطبع بعضها طبعات متعددة ، وحدها أو مع شرحها.(11)
أ.د/على مرعى
__________
الهامش:
1-مختار الصحاح ، مادة (حدث)، والمصباح المنير، ومعجم لغة الفقهاء لمحمد رواس قلعة جى ، طبعة دار النفائس بيروت ط2 1408هـ 1998م ص177.
2-مختصر المنار لزين الدين الحلبى المكتبة الهاشمية دمشق ، ص16والقاموس القويم فى اصطلاحات الأصوليين لمحمد عثمان ، ط1 دار الحديث 1416هـ 1996م ص220.
3- صحيح البخارى كتاب بدء الوحى، وصحيح مسلم بالمقدمة.
4-صحيح البخارى، كتاب الوضوء، باب وضوء الرجل مع امرأته 1 /357 رقم (193) فتح البارى ، وسنن أبى داود ، كتاب الطهارة ، باب الوضوء بفضل وضوء المرأء 1 /62 رقم (79) توزيع محمد على السيد ط1 1969م ، والنسائى فى الصغرى ، كتاب الطهارة ، باب وضوء الرجال والنساء جميعا 1 /57 رقم (71)، ومالك فى الموطأ كتاب الطهارة، باب الطهور للوضوء1 /24 رقم(15).
5-مختار الصحاح مادة (حكم)، ومعجم لغة الفقهاء ص184.
6-مختصر ابن الحاجب1 /222.
7-سبل السلام للصنعانى 1 /91 طبعة دار الحديث بالأزهر.
8-صحيح مسلم 1 /232 طبعة دار إحياء التراث العربى بيروت.
9-تحفة الأحوذى بشرح جامع التزمذى لمحمد المباركفورى 1 /317 ط3 دار الفكر العربى للنشر والتوزيع 1399هـ 1979م ، وقال الترمذى حديث حسن.
10-أصول التخريج ودراسة الأسانيد د/محمود الطحان ص140 ط4 دار الكتب السلفية 1402هـ 1982م.
11-مشار لهذه الكتب فى المرجع السابق ص141


الإحسان
لغة: فعل ما هوحسن ، مع الإجادة فى الصنع (كما فى المعجم الوجيز).
شرعا: أن تعبد الله كاًنك تراه ، فإن لم تكن تراه ، فإنه يراك.
فهوفعل ما ينبغى أن يفعل من الخير فضلا ومحبة، والأفضل أن يكون ذاتيا دائما دون نقص أو انقطاع ، لأنه عمل بالفضائل ، ولأنه قربة إلى الله تعالى(3).
وجاءت مادة "حسن" فى القرآن الكريم بجميع صيغها ما يقرب من مائة وخمس وتسعين مرة منها اثنتا عشرة مرة بلفظ "إحسان" وهذا دليل على أهمية هذا المقام فى الإسلام ، حيث أمر به الله عزوجل فى مثل: {إن الله يأمر بالعدل والإحسان}النحل:90.
ويقوم الإسلام على ثلاثة أمور، هى: الإسلام والإيمان والإحسان. فالاحسان: جزء من عقيدة المسلم ، كما دل عليه حديث جبريل وهو متفق عليه فقد سأل جبريل عليه السلام عن هذه الثلاثة، وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (هذا جبريل أتاكم ليعلمكم أمر دينكم) فسمى الثلاثه دينا ، وفى الإجابة عن الإحسان قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (الإحسان أن تعبد الله كانك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك) رواه البخارى.
وأوضحت السنة النبوية أن الإحسان كالروح يجب أن يسرى فى كل أمور المسلم.
قال النبى صلى الله عليه وسلم: (إن الله كتب الإحسان على كل شئ..) رواه مسلم.
والإحسان فى العبادات: يكون باستكمال شروطها وأركانها، واستيفاء سننها وآدابها مع استغراق المؤمن فى شعور قوى بأن الله عز وجل مراقبه حتى لكاًنه يراه تعالى ويشعر باًن الله تعالى مطلع عليه ، كما جاء في حديث جبريل.
والإحسان فى باب المعاملات: يكون ببر الوالدين ، من حيث طاعتهما ، وإيصال الخير إليهما ، وكف الأذى عنهما ، والدعاء والاستغفار لهما ، وإكرام صديقهما ، وإنفاذ عهدهما.
قال تعالى: {واعبدوا الله ولا تشركوا به شيئا وبالوالدين إحسانا} ثم ذكرت الاية ثمانية أصناف أخرى يجب لها الإحسان وهى {وبذى القربى واليتامى والمساكين والجارذى القربى والجار الجنب والصاحب بالجنب وابن السبيل وما ملكت أيمانكم}النساء:36 وكذلك ورد توجيه نبوى فى الاحسان إلى الخادم ، وذلك بإعطائه أجره قبل آن يجف عرقه ، وبعدم تكليفه ما لايطيق. فإن كان مقيما بالبيت فليأخذ حقه من الطعام والكساء، كما فى حديث أبى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: (إذا أتى أحدكم خادمه بطعام ، فإن لم يجلسه معه ، فليناوله لقمة أو لقمتين ، أو أكلة اًو أكلتين ، فإنه وَلِى علاجه)رواه البخارى.
والإحسان إلى الزوجة كذلك بعض ما أمر به الاسلام فى حسن معاملتها وإيفائها كافة حقوقها وحسن عشرتها، والاحتكام إلى أهلهما إن اختلفا، وعدم الاضرار بها بوجه من الوجوه كما ورد فما غيرآية من القرآن وفى قوله صلى الله عليه وسلم (استوصوا بالنساء خيرا فإنهن عوان عندكم). وقوله صلى الله عليه وسلم: (خيركم خيركم لأهله واًنا خيركم لأهلى).
وهكذا يتنوع الإحسان تبعا لأحوال الاخرين: فهو للأقرب ببرهم والرحمة بهم والعطف عليهم مع الأقوال والأفعال الطيبة.
ولليتامى: بصيانة حقوقهم ، وتأديبهم ، وتربيتهم ، وعدم قهرهم.
وللمساكين: بسد جوعتهم ، وستر عورتهم ، والحث على إطعامهم ، وإبعاد الأذى والسوء عنهم.
ولأبناء السبيل: بقضاء حاجتهم ،وسد خلّتهم ، وصيانة كرامتهم وبإرشادهم وهدايتهم.
ولعامة الناس: بالتلطف فى القول ، والمجاملة فى المعاملة ، مع الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر، ورد حقوقهم ، وكف الأذى عنهم.
والإحسان للحيوان: بإطعامه إذا جاع ،ومداواته إذا مرض ، والرفق به فى العمل ،وإراحته من التعب.
ومن الإحسان: كثرة الجود ولا سيما فى رمضان اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم و كما روى ابن عباس: (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس ، وكان اًجود ما يكون فى رمضان حين يلقاه جبريل...) رواه مسلم.
والإحسان فى العمل إنما يكون بإجادته ، وإتقان صنعته ، مع البعد عن التزوير والغش ، روى فى الحديث النبوى: (إن الله يحب إذا عمل أحدكم عملا اًن يتقنه) والإتقان إحسان الصنع.
أ.د/عبداللطيف محمد العبد
__________
مراجع الاستزادة:
1-الأخلاق فى الإسلام د/عبد اللطيف العبد، ط 5 /1998 دار الثقافة العربية القاهرة.
2-منهاج المسلم أبو بكر الجزائرى: دار الشروق بجدة 1987.
3-التعريفات الجرجانى: طبع 1938م الحلبى القاهرة.
4-المعجم الوجيز مجمع اللغة العربية: طبع 1993 وزارة التربية والتعليم القاهرة.
5-المعجم الفلسفى د/جميل صليب: ط أولى دار الكتاب اللبنانى بيروت 1971م.
6-رياض الصالحين النووى ، طبع المكتبة التوفيقية القاهرة 1983م

أحكام القرآن
لغة: جمع حكم ، وأصل مأخذه فى العربية من مادة تدوركلها حول معنى المنع ومنه حَكَمة اللجام لمنعها الدابة من الانطلاقا على خلاف مراد صاحبها، ومنه الحكمة المضادة للعبث والسفه. والأحكام بمعنى المنع من الفساد وغير ذلك (1).
واصطلاحا: خصوص ما جاء فى القرآن من الأحكام الشرعية بالمعنى الأصولى والفقهى المعروف للحكم الشرعى، والذى يتعلق بفعلٍ من مخاطبات القرآن المجيد على سبيل الطلب أو التخيير أو الوضع لأى منهما.
فقولهم على سبيل الطلب أو التخييرهو الحكم الشرعى التكليفى، وهو لدى جمهرتهم أقسام خمسة؛ لأن الطلب إما ان يكون طلبا للفعل ، أو طلبا للكف ، وكل منهما إما أن يكون جازما أو غير جازم ، فطلب الفعل إما أن يكون جازما فهو الايتاب ، وإما أن كان غير جازم فهو الندب ، وطلب الكف إن كان جازما فهو التحريم وإن كان غير جازم فهو الكراهة، وأما التخيير فهو الإباحة.
وقولهم: أو الوضع لأى منهما. يعنون به الحكم الشرعى الوضعى ، والذى هو عبارة عن جعل الشىء سببا أو شرطا أو مانعا(2).
وقد اعتنى معظم المفسرين ولاسيما أصحاب التفاسير المبسوطة منهم بهذا النوع من مقاصد القرآن العظيم كل حسب مشربه ومذهبه. بل أفرده بالتصنيف جماعة كثيرة فى القديم والحديث ، قال الزركشى فى البرهان (أولهم الشافعى ثم تلاه من أصحابنا الكيا الهراس ، ومن الحنفية أبو بكر الرازى ، ومن المالكية القاضى إسماعيل ، وبكر بن العلاء القشيرى ، وابن بكر، ومكى، وابن العربى ، ومن الحنابلة القاضى أبو يعلى الكبير(3) وقد بين علماء القرآن منهج القرآن العظيم فى سياق أحكامه وطريقتهم فى استنباطها منه ، ويتلخص الحديث عن المنهج فى نظرتين ، ومن خلالهما يتبين للقارىء بعض طرق العلماء فى الاستنباط:
إحداهمأ: أن ينظر إليه باعتبار سياقه للأحكام من حيث الجملة ، أى بقطع النظر عن طريقته فى التعبير عن كل واحد من أقسام الحكم الشرعى. وتتمثل فيما أفاد صاحب الموافقات إذ يقول: تعريف القرآن بالأحكام الشرعية أكثره كلى لا جزئى، فمأخذه على الكلية إما بالاعتبار أو بمعنى الأصل ، إلا ما خَصَّه الدليل مثل خصائص النبى صلى الله عليه وسلم.
ويدل على هذا المعنى بعد الاستقراء المعتبر أنه محتاج إلى كثير من البيان. فإن السنة على كثرتها وكثرة مسائلها إنما هى بيان للكتاب... وإذا كان كذلك ، فالقرآن على اختصاره جامع ، ولا يكون جامعا إلا والمجموع فيه أمور كليات ، لأن الشريعة تمت بتمام نزوله لقوله تعالى {اليوم اًكملت لكم دينكم}المائدة:3 ، وأنت تعلم أن الصلاة والزكاة والجهاد وأشباه ذلك لم تبين جميع أحكامها فى القرآن ، إنما بينتها السنة وكذلك العديد من الأنكحة والعقود والقصاص والحدود وغيرها ، وأيضا فإذا نظرنا إلى رجوع الشريعة إلى كلياتها المعنوية وجدناها قد تضمنها القرآن على الكمال وهى الضروريات والحاجيات والتحسينات (4).
ومكمل كل واحد منها ، وهذا كله ظاهر أيضا ، فالخارج من الأدلة عن الكتاب هو السنة والإجماع والقياس ، وجميع ذلك إنما نشأ عن القرآن ، وقد عد الناس قوله تعالى:{لتحكم بين الناس بما اًراك الله}النساء:115. متضمنا للقياس وقوله: {وما آتاكم الرسول فخذوه}الحشر:7.
متضمنا للسنة وقوله {ويتبع غيرسبيل المومنين}النساء:115 ، متضمنا للإجماع وهذا أهم ما يكون.
وفى الصحيح (عن ابن مسعود قال: لعن الله الواشمات والمستوشما000)(5) الخ. فبلغ ذلك امرأة من بنى أسد، يقال لها أم يعقوب وكانت تقرأ القرآن ، فأتته ، فقالت: حديث بلغنى عنك أنك لعنت كذا وكذا فذكرته. فقال عبدالله: ومالى لا ألعن من لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو فى كتاب الله ، فقالت المرأة. لقد قرات مابين لوحى المصحف فما وجدته. فقال لئن كنت قرأته لقد وجدتيه ، قال الله عز وجل {وما اتاكم الرسول فخذوه ومانهاكم عنه فانتهوا}الحشر:7. فعلى هذا لاينبغى فى الاستنباط من القرآن الاقتصار عليه دون النظر فى شرحه وبيانه وهو السنة ، لأنه إذا كان كليا وفيه أمور مجملة كما فى شأن الصلاة والزكاة والحج والصوم ونحوها، فلا محيص من النظر فى بيانه ، وبعد ذلك ينظر فى تفسير السلف الصالح له إن أعوزته السنة، فإنهم أعرف به من غيرهم وإلا فمطلق الفهم العربى لمن حصله يكفى فيما أعوز منه ذلك ، والله أعلم(6).
ثانيهما: أن ينظر إليه من حيث طريقته فى التناول لتفاصيل تلك الأقسام ؛ وتتمثل فى مقولة السيوطى ونقله عن العز بن عبدالسلام رحمهما الله إذ يقول: قال الغزالى وغيره: آيات الأحكام خمسمائة آية ، وقال بعضهم مائة وخمسون ، وقيل لعل مرادهم المصرح به ، فإن آيات القصص والأمثال وغيرها يستنبط منها كثير من الأحكام ، قال الشيخ عز الدين بن عبدالسلام فى كتاب الإمام فى أدلة الأحكام: معظم آى القرآن لا يخلو عن أحكام مشتملة على أداب حسنة ، وأخلاق جميلة، ثم من الآيات ما صرح فيه بالأحكام ومنها ، ما يؤخذ بطريق الاستنباط ، كاستنباط صحة أنكحة الكفار من قوله {وامرأته حمالة الحطب}المسد:4.
وصحة صوم الجنب من قوله {فالآن باشروهن.... من الفجر}البقرة:187 ، واستنباط أن أقل الحمل ستة أشهر من قوله تعالى {وحمله وفصاله ثلاثون شهرا}الأحقاف:15 ، مع قوله: {وفصاله فى عامين}لقمان:14 ، قال: ويستدل على الأحكام تارة بالصيغة وهو ظاهر ، وتارة بالأخبار مثل {أحل لكم}البقرة:187. و {حرمت عليكم الميتة}المائدة:3 ، و {كتب عليكم الصيام}البقرة:183 ، وتارة بمارتب فى العاجل أو الآجل من خير أو شر أو ضر ، وقد نوَّع الشارع ذلك أنواعاً كثيرة، ترغيباً لعباده وترهيبا وتقريبا إلى أفهامهم(7) ثم قسم الشيخ عز الدين ما أجمل من تلك الأنواع حسبه أقسام الحكم الشرعى، بما يطلب من مظانه هنالك.
د/إبراهيم عبدالرحمن محمد خليفة
__________
الهامش:
1- تاج العروس ، لسان العرب مادة (حكم)، والبحر المحيط للزركشى ، النسخة الكويتية 1 /117.
2- زاد بعضهم فى أقسام الحكم الوضعى جعل الشئ صحيحا أو فاسدا وزاد.. انظر تفصيل ذلك فى نهاية السول للأسنوى، والمحصول الرازى مع شرحه للقرافى، والبحر المحيط للزركشى، وغيرها.
3- البرهان فى علوم القرآن 2 /3.
4- الموافقات للشاطبى، 2 /117-122.
5- البخارى كتاب التفسير سورة الحشر باب وما آتاكم الرسول فخذوه ، وكتاب اللباس باب المستوصلة وباب المستوشمة، ومسلم كتاب اللباس والزينة باب تحريم فعل الواصلة والمستوصلة وغيرها.
6- الموافقات للشاطبى، تحقيق مشهور بن حسن آل سلمان 4 /180-183.
7- الإتقان فى علوم القرآن ، للسيوطى، تحقيق محمد أبو الفضل إبراهيم ، 4 /40-41.
مراجع الاستزادة:
1- مسلم الثبوت ، لمحب الله بن عبدالشكور، مع شرحة فواتح الرحموت لعبد العلى ابن نظام الدين الأنصارى.
2- شرح منهاج الأصول للبيضاوى مع حواشية المسماة بسلم الوصول لشرح نهاية السول ، للشيغ بخيت المطيعى، مع العديد من كتب اللغه


البيت الحرام
هو بيت الله الذى فرض الله الحج إليه لمن استطاع إليه سبيلا وهو البيت المحرم ، والبيت العتيق ، والمسجد الحرام ، وكانت العرب تسمى كل بيت مربع كعبة، وأمر الله المسلمين أن يتخذوه قبلتهم فى صلاتهم ، وهو أول المساجد الثلاثة التى لا تشد الرحال إلا إليها:وهى المسجد الحرام ، والمسجد النبوى فى المدينة، والمسجد الأقصى.
والبيت الحرام هو أول بيت مبارك وضع للناس ليعبدوا فيه الله عز وجل ، ويهتدوا بفضله إلى الصراط المستقيم:{إن أول بيت وضع للناس للذى ببكة مباركا وهدى للعالمين}آل عمران:96.
وحين تأذن الله سبحانه وتعالى بأن ترفع قواعده بوأ لإبراهيم الخليل مكانه ، وأمره أن يشيده ويرفع قواعده ، ومعه ابنه إسماعيل عليهما السلام.
ووصف أبو الوليد محمد بن عبد الله بن أحمد الأزرقى الكعبة التى بناها إبراهيم عليه السلام بأنها كانت بناء ذا جوانب أربعة، بارتفاع 9 أذرع وطول جداره الشرقى 32 ذراعا ،والغربى 31، والشمالى 32 ، والجنوبى 20 ،وكان بابها إلى الأرض (1)
وجعل إبراهيم عليه السلام فى جدارها الحجر الأسود علامة على بدء الطواف حولها، ثم أعيد بناء الكعبة قبل البعثة بنحوعشر سنوات ، واشترك النبى صلى الله عليه وسلم فى أعمال البناء مع أشراف قريش ورجالها ، وكان ذلك بعد حملة أبرهة الفاشلة على البيت الحرام فى سنة 570ميلادية، التى أشار إليها القرآن الكريم فى سورة الفيل.
وبعد فتح مكة مباشرة أمرالنبى صلى الله عليه وسلم بتطهير الكعبة مما فيها من تماثيل وصور وأصنام ، ولم يكن للبيت الحرام جدران تحده إلى أن قرر عمر بن الخطاب رضى الله عنه بعد أن ولى الخلافة أن يبنى حوله جدرانا ارتفاعها أقل من القامة، وذلك فى السنة السابعة عشر بعد الهجرة.
وأجرى عثمان بن عفان رضى الله عنه توسعة ثانية فى السنة السادسة والعشرين بعد الهجرة، ويقال إنه جعل للمسجد أروقة.
وأجريت على البيت الحرام عمائر أهمها:بناء الكعبة على يد عبد الله بن الزبيرفى العقد السابع بعد الهجرة، وإعادة بنائها على يد الحجاج بن يوسف الثقفى فى عهد عبد الملك بن مروان بعد ذلك ببضع سنواف ،وعمرت الأروقة فى عهد الوليد بن عبد الملك ، وفى عهد الخليفة العباسى المهدى بن المنصور، وفى عهد السلطان المملوكى الناصر فرج بن برقوق ، والسلطان الأشرف برسباى، وأعيد بناء الكعبة من جديد فى سنة 1040هـ فى عهد السلطان العثمانى مراد الرابع.
ونتيجة لهذه العمائر صار الحرم مستطيلا أقرب إلى التربيع ، ويحيط به من جهاته الأربع أروقة تشتمل على صفوف من الأعمدة تحمل عقودا ، وتسقف كل بلاطة تحف بها أربعة أعمدة قبة ، قاعدتها مستديرة ، وقمتها مدببة ، وتقوم الكعبة المكرمة فى وسط الحرم ، ولكن بميل إلى الجنوب وبجانبها حجر إسماعيل وحولها المطاف ، وفى شرقها بئر زمزم ، وبجوار المطاف مقام إبراهيم ،وباب الكعبة مرتفع عن الأرض ، وللمسجد خمسة وعشرون بابا ، وسبع مآذن.
وكانت الحكومة المصرية تتشرف بكسوة الكعبة المكرمة حتى قيام المملكة العربية السعودية التى أولت البيت الحرام عناية فائقة من حيث التوسعة والعمارة والتجهيز، كما قامت بعمل كسوة الكعبة الشريفة.
أ.د/حسن الباشا
__________
الهامش:
1- أخبار مكة وما جاء بها من الآثار الأرزقى.
مراجع الاستزادة:
1- دليل مكة والمدينة غلام على.
2- الرحلة النابلسية المعروفة بالحقيقة والمجاز فى رحلة بلاد الشام ومصر والحجاز:عبد الغنى النابلسى.
3- مرآة الحرمين إبراهيم رفعت.
4- العمارة العربية فريد شافعى


التجويد
لغة:مصدر جوّده:أى صيرّه جيدا ، والجيد ضد الردىء(1)
واصطلاحا:إخراج كل حرف من مخرجه ،مع إعطائه حقه من الصفات اللازمة، ومستحقه من الصفات العارضة(2)، فى تلاوة القرآن الكريم.
وعلم التجويد:هو العلم الذى يعرف منه مخرج كل حرف ، وحقه من الصفات اللازمة كالجهر والاستعلاء، ومستحقه من الصفات العارضة كالتفخيم والاخفاء، ثم أقسام الوقف والابتداء، إلى غير ذلك.
وطريق تحصيله رياضة اللسان وكثرة التكرار بعد العرض والسماع بالنطق الصحيح على يد شيخ متقن لقراءة القرآن الكريم.
وحكم العمل به الوجوب العيش على كل مكلف يقرأ شيئا من القرآن ، وحكم تعليم هذا العلم الوجوبا الكفائى مادام هناك أكثرمن عارف به ، وأشهر مباحثه:مخارج الحروف وصفاتها وأحكامها.
وأشهر كتبه قديما وحديثا:الخاقانية لموسى بن عبيد الله (ت 325هـ)، والرعاية لمكى بن أبى طالب (ت 437هـ)، والتمهيد وكذا الجزرية لمحمد بن محمد بن الجزرى (ت 833هـ)، ونهاية القول المفيد لمحمد مكى نصر، من أبناء القرن الرابع عشر الهجرى.
وهداية القارئ لعبد الفتاح عجمى المرصفى (ت 1409هـ) (3) وقد كثرت الأدلة والفتاوى ونصوص العلماء على وجوبه ، ومنها:{ورتل القرآن ترتيلا}المزمل:4. فهذا أمر، والأمر للوجوب.
وفسره سيدنا على فقال:"الترتيل تجويد الحروف ومعرفة الوقوف ". {قرآنا عربيا غيرذى عوج}الزمر:28 ، فمن عوجه بترك تطبيق التجويد فقد ارتكب المحظور.
قرأ رجل:{إنما الصدقات للفقراء}التوبة:60 ، مرسلة، أى بدون المد الواجب ،فقال ابن مسعود:ما هكذا أقرانيها رسول الله صلى الله عليه وسلم أقرانيها:(للفقراء) فمدها.
فالإجماع على أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يقرأ إلا بالتجويد، وتلقاه الصحابة عنه هكذا ومن وراءهم على ذلك جيلا فجيلا(4)
قال يعقوب (5):إن من التحريف تغيير الأوصاف من جهروهمس وتفخيم... فعلمنا أن هذا حرام ،وأن ضده وهو التجويد واجب.
وقال الشيخ حسنين مخلوف:"وقد أجمعوا على أن النقص فى كيفية القرآن وهيئته كالنقص فى ذاته ومادته ، فترك المد والغنة والتفخيم والترقيق كترك حروفه وكلماته ، ومن هنا وجب تجويد القرآن".
أ.د/عبد الغفور محمود مصطفى
__________
الهامش:
1- انظر لسان العرب والمعجم الوسيط مادة (جود).
2- نهاية القول المفيد الشيخ محمد مكى نصر:مطبعة الحلبى 1349هـ.
3- مقدمة تفسير القرطبى مطبعة دار الشعب ص13.
4- عنوان البيان للشيخ مخلوف مطبعة الحلبى ص27.
5- المدخل ص158 الطبعة الثانية سنة 1994م جى جى لطباعة الأوفست ص158

التفسير
لغة:تدور مادته حول معنى الكشف مطلقا سواء أكان هذا الكشف لغموض لفظ أم لغير ذلك ، يقال فسرت اللفظ فسرا من باب ضرب ونصر، وفسرته تفسيرا شدد للكثرة إذا كشفت مغلقه (1).
واصطلاحا:كشف معانى القرآن وبيان المراد منه ، وهو أعم من أن يكون بحسب اللفظ المشكل وغيره ، وبحسب المعنى الظاهر وغيره ، والمقصود منه (2).
وهل يتوقف هذا الإيضاح على القطع بالمعنى المراد بأن يكون اللفظ نصا لا يحتمل إلا معنى واحدا أو الرواية الصحيحة عن المعصوم صلى الله عليه وسلم ، أو لا يتوقف على شىء من ذلك بحيث يكفى فيه غلبة الظن بالمعنى المراد؟ الصواب هو عدم التوقف ، غاية الأمر أنه يلزم عند مجرد غلبة الظن ألا يقطع المفسر بأن المعنى الذى غلب على ظنه هومراد الله من النص. بل يقول ما يشعر بعدم الجزم كقوله:المعنى عندى والله أعلم ، وأشباه ذلك من العبارأت المشعرة بعدم القطع فيما لا قاطع فيه.
والتفسير بهذا المعنى يشمل جميع ضروبه البيان لمفردات القرآن وتراكيبه سواء تعلق البيان بشرح لغة، أم باستنباط حكم أم بتحقيق مناسبة، أو سبب نزول ، أم بدفع إشكال ورد على النص ، أو بينه وبين نص آخر أم بغير ذلك من كل ما يحتاج إليه بيان النص الكريم.
وقد عرف القول فى تفسير القرآن منذ عهد نزول القرآن ذاته ، فالقرآن يفسر بعضه بعضا. وقد يحتاج بعض الصحابة إلى بيان شىء من القرآن فيوافيهم به النبى صلى الله عليه وسلم كما فى قوله تعالى:{وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم) النحل:44 ، ومن ثم عرف العلماء وذكروا فى تصانيفهم ألوانا شتى من تفسير القرآن للقرآن ومن تفسير السنة للقرآن.
ثم سار الصحابة فمن بعدهم على هذا المنوال من البيان لكل ما يحتاج إلى بيان من القرآن فتكونت ، المدارس المتقدمة للتفسير فى مكة والمدينة والشام ، والعراق وهلم جرا ، وحتى دونت المصنفات التى لا تكاد تحصى فى التفسير، كل على حسب مشرب صاحبه من العناية باللغة والبلاغة أو الفقه والأحكام ، أو تحقيق أمور العقيدة ومباحثه علم الكلام ، أو التصوف وأذواقا المتصوفة وإشاراتهم ، ثم من إسهاب إلى إيجاز إلى توسط فى التناول ، وهكذا صار تفسير القرآن علما قائما برأسه وضعت فيه المئات إن لم تكن الألوف من المجلدات (3).
ولتقسيم التفسير اعتبارات متعددة يختلف باختلافها ، وهذه الاعتبارات هى:
أولا: أن ننظر إلى التفسير من حيث إمكان تحصيله وهو بهذا الاعتبار ينقسم إلى أربعة أقسام أخرجها ابن جرير الطبرى عن طريق سفيان الثورى عن ابن عباس فيما يلى:
(أ) وجه تعرفه العرب من كلامها.
(ب) وتفسير لا يعذر أحد بجهالته.
(ج) وتفسير يعلمه العلماء.
(د) وتفسيرلا يعلمه إلا الله (4).
ثانيا: أن ينظر إلى التفسيرمن جهة استمداده من الطريق المعتاد نقلا كان من القرآن نفسه ، أو من السنة، أو من كلام الصحابة، أو التابعين ، أو كان رأيا واجتهادا.
أو من غيرهذا الطريق بأن يكون بطريق الإلهام والفيض ، فالتفسير ينقسم بهذا الاعتبار إلى ثلاثة أقسام:
(أ) تفسير بالرواية، ويسمى التفسير بالمأثور.
(ب) تفسير بالدراية، ويسمى التفسير بالرأى.
(ج) تفسير بالفيض والإشارة، ويسمى التفسير الإشارى(5).
ثالثا: أن ينظر إلى التفسيرمن جهة كونه شرحا لمجرد معنى اللفظ فى اللغة، ثم لمعنى الجملة أو الآية على سبيل الإجمال ، وهو بهذا الاعتبار ينقسم إلى قسمين:
(أ) إجمالى. (ب) تحليلى(6).
رابعا: أن ينظر إلى التفسير من جهة خصوص تناوله لموضوع ما من موضوعات القرآن الكريم ، عاما كان كالعقيدة والأحكام أو خاصا كالصلاة والوحدانية ونحوها. وهو بهذا الاعتبار ينقسم إلى: (أ) تفسير عام (7). (ب) تفسير موضوعى.
أ.د/ابراهيم عبد الرحمن مهمد خليفة
---------------
الهامش:
1- لسان العرب ، ابن منظور، دار صادر، ط3، بيروت مادة (فسر)، والبرهان فى علوم القرآن للزركشى 1 /147.
2- الإتقان فى علوم القرآن، للسيوطى، 4 /193.
3- مناهل العرفان ، د.محمد عبد العظيم الزرقانى، طبعة عيسى الحلبى، 1 /472.
4- تفسير الطبرى، طبعة مصطفى الحلبى، ط3، 1 /34.
مراجع الاستزادة:
1- تفسير البحر المحيط ، لأبى حيان.
2- التفسير والمفسرون ، د.محمد حسين الذهبى.
3- مفردات القرآن للراغب.
4- دراسات فى مناهج الفسرين ، د.إبراهيم عبد الرحمن محمد خليفة


التقليد
لغة:مصدر للفعل الرباعى "قلَّد" بتضعيف اللام المفتوحة يقال:قلد فلان فلانا الأمر أى ألزمه إياه.
كما يقال:قلد الماء فى الحوض واللين فى السقاء يقلده قندا أى جمعه فيه.
ويقال:التقليد فى الدين ، وتقليد الولاة والأعمال.. وتقلد الأمر احتمله كما فى لسان العرب (1).
واصطلاحا: يقصد به التزام حكم المقلد من غير دليل بحيث يلتزم المقلد قول المقلد شرعا فينعقد ما حرمه حراما وما أوجبه واجبا، وما أباحه مباحا من غير دليل يستدل به على شىء من ذلك اللهم إلا قول من قلده (2).
وقد عرفه الإمام الشيرازى بأنه "قبول القول من غيردليل "(3).
وعرفه إمام الحرمين بأنه "قبول قول الغير من غير حجة" (4).
وقد فسر إمام الحرمين هذا القول قائلا: "فعلى هذا قبول العامى قول المفتى تقليد. وقبول من يروى أخبار الآحاد قولا وسمعه من خلق عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس تقليدا لأنه حجة فى نفسه".
وقبول قول الصحابى تقليد إن لم نجعل أقوالهم حجة، ولم نر الاحتجاج بقولهم. فإن اعتبرنا أقوالهم حجة يحتج بها فعند ذلك لا يسمى قبول أقوالهم تقليدا.
وعرف ألإمام الآمدي التقليد بأنه "العمل بقول الغير من غير حجة ملزمة"(5).
وذكر الإمام الشوكاني له عدة تعريفات منها أنه "العمل بقول الغيرمن غيرحجة".
ثم اختار من بين هذه التعريفات تعريفا رآه هو الأولى وهو: "قبول رأى من لا تقوم به الحجة بلا حجة".
والتقليد نوعان(7): تقليد سائغ بل واجبا، وتقليد مرفوض مذموم.
فأما التقليد المذموم المرفوض فهو أن يكون هناك إعراض عما انزل الله وعدم التفات إليه اكتفاء بتقليد الآباء، والأجداد، أو يكون فى صورة تقليد من لا يعلم المقلد أنه أهل لأن يأخذ بقوله أو أن يكون تقليده بعد قيام الحجة، وظهور الدليل على خلاف قول المقلد.
ولا أدل على رفض مثل هذا التقليد وذمه من قول الله سبحانه وتعالى: {وإذا قيل لهم اتبعوا ما أنزل الله قالوا بل نتبع ما ألفينا عليه آباءنا أو لو كان آباؤهم لا يعقلون شيئأ ولا يهتدون) البقرة:170.
وقوله جل وعلا: {وكذلك ما أرسلنا من قبلك فى قرية من نذير إلا قال مترفوها إنا وجدنا آباءنا على أمة وإنا على آثارهم مقتدون. قال أو لو جئتكم بأهدى مما وجدتم عليه آباءكم) الزخرف:23-24.
فالتقليد الواجب المستساغ هو: تقليد من بذل جهده فى اتباع ما أنزل الله وخفى عليه بعضه فقلد فيه من هوأعلم منه فلا شك أن مثل هذا التقليد محمود غير مذموم ، ومأجور غير مأزور، والدليل على صحة مثل هذا التقليد أن الصحابة -رضوان الله عليهم- كانوا يفتون ورسول الله صلى الله عليه وسلم بين أظهرهم وهذا تقليد منهم قطعا؛ إذ إن قولهم لا يكون
حجة فى حياة رسول صلى الله عليه وسلم.
وقد قال الحق سبحانه وتعالى: {فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا فى الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون}التوبة:122.
فقد أوجب الحق سبحانه وتعالى عليهم قبول ما أنذرهم به إذا رجعوا إليهم وهذا تقليد منهم للعلماء، وقد جاءت شريعتنا الغراء بقبول قول القائف (الذى يتتبع الآثار ويعرف شبه الرجل بأخيه وأبيه) والخارص (اسم فاعل من خرص النخلة والكرمة إذا حز ما عليها من الرطب تمرا والعنب زبيبا) والمقوم للمتلفات وغيرها ولاشك أن هذا تقليد محض.
وجميع علماء الأمة قد صرحوا بجواز التقليد فقد قال محمد بن الحسن الشيبانى صاحب الإمام أبى حنيفة رضى الله عنه "يجوز للعالم تقليد من هو أعلم منه ولا يجوزله تقليد من هو مثله" وقد صرح الإمام رضى الله عنه بالتقليد فقال فى مسألة بيع الحيوان بالبراءة الأصلية من العيوب:قلته تقليدا لعثمان. وهذا هو الإمام أبو حنيفة رحمه الله يقول فى مسائل الآبار وليس منه فيها، إلا تقليد من تقدمه من التابعين فيها وهذا هو الإمام مالك رضى الله عنه لا يخرج عن عمل أهل المدينة ويصرح فى موطئه بأنه أدرك العمل على هذا ، وهو الذى عليه أهل العلم ببلدنا، ويقول فى غيرموضع:
"ما رأيت أحدا واقتدي به يفعله ، وقد قال الإمام الشافعى -رحمه ألله- فى الصحابة: رأيهم لنا خيرمن رأينا لأنفسنا.
والحق أن مصلحة الخلق لا تقوم إلا بالتقليد وذلك عام فى كل علم وصناعة وقد فاوت الله سبحانه وتعالى بين قوى الأذهان كما فاوت بين قوى الأبدان ، فلا يحسن فى حكمته وعدله ورحمته أن يفرض على جميع خلقه معرفة الحق بدليله.
هذا ولا يجوز للمقلد أن يفتى فى دين الله بما يقلد فيه وليس على بصيرة منه سوى أنه قول من قلده ، وهذا بإجماع السلف كلهم وقد اشترط الإمام الغزالى -رحمه الله- فى سبيل الوصول إلى الحقائق أن يكون الباحث حر العقل مستقل التفكير، وقد ندد بكل فكر موسوم بالتبعية، والمحاكاة، وبلغ من حرصه على هذا المبدأ انه ختم كتابه فى المنطق "معيار العلم "بدعوة للقارئ إلى أن يدرسه بروح الفهم لا بروح التقليد.
أ.د/محمد عبد اللطيف جفال الدين
__________
الهامش:
1- لسان العرب لابن منظور 5 /2718.
2- كتاب الحدود ص64.
3- اللمع للشيرازى ص450 البرهان 2 /888.
4- الإحكام فى أصول الأحكام للأمدى 4 /297.
5- إرشار الفحول ص365.
6- إعلام الموقعين عن رب العالمين لابن قيم الجوزية 2 /168 وما بعدها

الجلال
وردت كلمة "الجلال" فى القرآن الكريم مرتين فى سورة الرحمن ، فى قوله تعالى: {ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام}الرحمن:27 ، وقوله تعالى: {تبارك اسم ربك ذى الجلال والإكرام}الرحمن:78. ومعنى الجلال فى الآيتين: الملك والعظمة والقوة والعزة.
والجليل اسم من أسماء الله تعالى، ومعناه: العظيم فى ذاته وصفاته وأفعاله ، والفرق بين الجليل والكبير والعظيم -فى الأسماء الحسنى- أن اسم الكبيريرجع إلى كمال الذات ، والجليل إلى كمال الصفات ، والعظيم إلى كمال الذات والصفات معا ،وصفات التنزيه ترجع -فيما يرى المتكلمون- إلى صفة الجلال ، ويعنون بصفات التنزيه كل صفة تنفى عن الله تعالى معنى لا يليق بذاته المقدسة، كوصفه تعالى بأنه ليس جسما ولا عرضا ولامحتاجا ولا متحيزا فى جهة.
والجلال -فى اصطلاح الصوفية- هو: احتجاب الحق بحجاب العزة عن معرفة حقيقة ذاته المقدسة، فلا يرى ذاته ولا يعلمها على حقيقتها إلا هو، وليس لمخلوق أدنى نصيب فى معرفة "الجلال" أو الكلام فيه ،وسبب ذلك... فيما يقول بعض شيوخ الصوفية: أن الجلال مرتبط بالجمال ، وأن جمال الله تعالى يعلو ويدنو.
وعلو الجمال وعزته هو "الجلال" الذى يتكلم فيه العارفون ، وهم فى حقيقة الأمر إنما يتكلمون فى جلال الجمال لا "الجلال" المطلق ، "فالجلال المطلق" معنى يرجع من الله إليه وحده ، وهو مانع يمنع من رؤيته ، بخلاف "جمال الجلال" فإنه يتجلى به على عباده ،وهو مصحح لرؤيته تعالى فى الجنة، مع تنزهه عن الجهة والتحيز وتوابعهما، كما هو مذهب أهل السنة. وتجلى الجمال يوجب عند الصوفية الفناء والمحو والقهر.
أ.د/أحمد الطيب
__________
مراجع الاستزادة:
1- التعريفات للجرجانى.
2- المقصد الأسمى فى شرح أسماء الله الحسنى للإمام الغزالى. ط دار المشرق بيروت 1982م.
3- تفسير الرازى سورة الرحمن:(27-28).
4- لطائف الإعلام فى إشارات أهل الإلهام ، القاشانى ، 1 /389 ط دار الكتب المصرية.
5- كتاب الجلال والجمال لابن عربى ضمن رسائل ابن عربى، الرسالة الثانية ط حيدر آباد 1361هـ

الجمال
لغة: هو "الحسن "، واسم "الجميل" فى أصل اللغة موضوع للصورة الحسية المدركة بالعين ، أيا كان موضوع هذه الصورة من إنسان أو حيوان أو نبات او جماد. ثم نقل اسم الجميل لتوصف به المعانى التى تدرك بالبصائر لا الأبصار، فيقال: سيرة حسنة جميلة، وخلق جميل. وقد وردت كلمة جمال وصفا للأنعام فى قوله تعالى: {ولكم فيها جمال حين تريحون وحين تسرحون}النحل:6 ، كما وردت كلمة "الجميل" فى القرآن أيضا وصفا للصبر والصفح وتسريح الزوجة والبحر. كما وردت وصفا لله تعالى فى الحديث الشريف: (إن الله جميل يحب الجمال) (صحيح الإمام مسلم ، كتاب الإيمان ، باب تحريم الكبر وبيانه) ومعنى "جميل" فى الحديث: المنزه عن النقائص والموصوف بصفات الكمال ، أو: ذو النور والبهجة.. إلخ.. ويرجع المتكلمون صفات المعانى لله تعالى كالعلم والقدرة وما إليهما إلى صفة "الجمال".
واصطلاحا: الجمال الحقيقى -فى المفهوم الصوفى- هو: الجمال الإلهى، وهو من صفات الله الأزلية، شاهدها فى ذاته أزلا مشاهدة علمية، ثم أراد أن يشاهدها مشاهدة عينية في أفعاله ، فخلق العالم ،فكان كمرآة انعكس على صفحتها هذا الجمال الأزلى.
والجمال الإلهى -فيما يقول الصوفية- نوعان: جمال معنوى وجمال صورى. فالجمال المعنوى هو: معانى الصفات الإلهية والأسماء الحسنى. وهذا النوع لا يشهده إلا الله ، أما الجمال الصورى فهو هذا العالم الذى يترجم عن الجمال الإلهى. بقدر ما تستوعبه الطاقة البشرية. فالعالم ليس إلا مجلى من مجالى الجمال الإلهى. وهو بهذا الاعتبار حسن. وكل ما فيه جميل ، والقبح الذى يبدو فيه ليس قبحا حقيقيا، بل هو قبح بالإضافة والاعتبار لا بالأصالة. ويضربون مثلا لذلك: قبح الرائحة المنتنة التى ينفر منها الإنسان ، ويتلذذ بها الحيوان ، والنار التى تكون قبيحة لمن يحترق فيها، لكنها فى غاية الحسن لمن لا يحترق بها مثل طائر "السمندل" الذى يتلذذ بالمكث فى النار. فيما يقولون.
وإذا كان المعتزلة يرون أن الحسن والقبح وصفان ذاتيان فى الأشياء، ويرى الأشاعرة أن الأشياء فى أنفسها قبل ورود الشرع لا توصف بحسن ولا قبح فإن الصوفية يؤكدون على أن "الحسن" وصف أصيل فى كل ما خلق الله تعالى. ولتجلى الجمال "انبهار" يقهر عقل السالك إلى درجة "الهيمان "، فإن بقى فى هيمانه سمى "مولها "، والمؤيدون من السالكين معصومون فى تجلى الجمال من الهيمان ،قإذا سكروا صحوا عن قريب ، وهؤلاء يسمون "بالممكنين" ، وأهل "التأييد"، وأهل "التمكين" أرفع درجات من المهيمين. ويستدل الصوفية على أحوالهم فى تجلى الجمال بدعاء النبى صلى الله عليه وسلم فى الحديث الشريف: (وشوقا إلى لقائك من نكير ضراء مضرة، ولا فتنة مضلة) (مسند الإمام أحمد، 5/ 191)، ويفسرون "الضراء المضرة" فى الحديث بذهاب العقل ، و"الفتنة المضلة" بانحلال قيود العلم المؤدية إلى الزندقة.
وتجلى الجمال من منازل القلب ، وليس من أخلاق النفس ، وهو -بهذا الاعتبار- من "الأصول" ، التى يتبنى عليها السلوك.
أ.د/أحمد الطيب
__________
مراجع الاستزادة:
1- المفهم لما أشكل من تلخيص كتاب مسلم لأبى العباس القرطبى" 1 /288، دار ابن كثير ، بيروت ، 1417هـ-1996م.
2- الفتوحات المكية لابن عربى تحقيق عثمان يحيى، 13:221 0 القاهرة 1990م.
3- المقصد الأسنى فى شرح أسماء الله الحسنى للإمام الغزالى، دار الشروق ، بيروت 1982م.
4- التصوف -الثورة الروحية فى الإسلام- أبو العلا عفيفى، دار المعارف ، مصر 1963م.
5- حياة الحيوان الكبرى للدميرى

HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL

(فصل)
ولا يجوز نكاح المعتدة من غيره لقوله تعالى (ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب أجله) ولان العدة وجبت لحفظ النسب، فلو جوزنا فيها النكاح اختلط النسب وبطل المقصود، ويكره نكاح المرتابة بالحمل بعد انقضاء العدة، لانه لا يؤمن ان تكون حاملا من غيره، فإن تزوجها ففيه وجهان.
(أحدهما) وهو قول أبى العباس أن النكاح باطل لانها مرتابة بالحمل فلم يصح نكاحها، كما لو حدثت الريبة قبل النقضاء العدة.(والثانى) وهو قول أبى سعيد وأبى إسحاق أنه يصح، وهو الصحيح، لانها ريبه حدثت بعد انقضاء العدة فلم تمنع صحة العقد كما لو حدثت بعد النكاح، ويجوز نكاح الحامل من الزنا لان حملها لا يلحق بأحد فكان وجوده كعدمه.
(الشرح) الاحكام: لا يصح نكاح المعتدة من غيره لقوله تعالى (ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب أجله) فالعزم على الشئ وعزمه عزما من باب ضرب عقد ضميره على فعله، والمعنى هنا لا تعزموا على عقدة النكاح في العدة، لان العزم عليه بعدها لا بأس به، ثم حذف على.
قال سيبويه: والحذف في هذه الآية لا يقاس عليه.
قال النحاس: يجوز أن يكون المعنى ولا يعقدوا عقدة النكاح، لان معنى
تعزموا وتعقدوا واحد قيل إن العزم على الفعل يتقدمه فيكون في هذا النهى مبالغة، لانه إذا نهى عن المتقدم على الشئ كان النهى عن ذلك الشئ بالاولى وحتى هنا غاية للنهى، وبلوغ الكتاب أجله كناية عن انقضاء العدة، والكتاب هنا هو الحد والقدر الذى رسم من المدة سماه كتابا لكونه محدودا ومفروضا.
كقوله تعالى (إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا) والمراد بالاجل آخر مدة العدة، وإن ارتابت بالحمل بأن أمارات الحمل وشكت هل هو حمل أو لا ؟ فإن حدثت لها هذه الريبة قبل انقضاء العدة: ثم انقضت عدتها بالاقراء أو بالشهور والريبة باقية لم يصح نكاحها لانها تشك في خروجها من العدة والاصل بقاؤها.
وإن انقضت عدتها من غير ريبة فتزوجت ثم حدثت لها ريبة بالحمل لم تؤثر هذه الريبة، لان النكاح قد صح في الظاهر.وإن انقضت عدتها بالشهور أو بالاقراء ثم حدثت لها ريبة بالحمل فيكره نكاحها، فإن تزوجها رجل فهل يصح، فيه وجهان (أحدهما) لا يصح لانها مرتابه بالحمل فلم يصح نكاحها، كما لو حدثت بها ريبه قبل انقضاء العدة ثم انقضت عدتها وهى مرتابه بالحمل فلم يصح نكاحهاكذلك هذا مثله (والثانى) يصح نكاحها وهو المذهب لانها ريبة حدثت بعد انقضاء عدتها فلم تؤثر كما لو نكحت بعد انقضاء العدة ثم حدثت الريبه.
(فرع)
إذا زنت المرأة لم يجب عليها العدة، سواء كانت حائلا أو حاملا، فإن كانت حائلا جاز للزاني ولغيره عقد النكاح عليها وإن حملت من الزنا فيكره نكاحها قبل وضع الحمل، وهو أحد الروايتين عن أبى حنيفه رضى الله عنه وذهب ربيعه ومالك والثوري وأحمد وإسحاق رضى الله عنهم إلى أن الزانيه يلزمها العدة كالموطوءة بشبهه، فإن كانت حائلا اعتدت ثلاثه أقراء، وإن كانت حاملااعتدت بوضع الحمل، ولا يصح نكاحها قبل وضع الحمل.
قال مالك رضى الله عنه: إذا تزوج امرأة ولم يعلم أنها زانيه ثم علم أنها حامل من زنا فإنه يفارقها، فإن كان قد وطئها لزمه مهر المثل.
وقال ربيعه: يفارقها ولا مهر عليه.
وذهب ابن سيرين وأبو يوسف رضى الله عنهما إلى أنها ان كانت حائلا فلا عدة عليها، وإن كانت حاملا لم يصح عقد النكاح عليها حتى تضع وهى الرواية الاخرى عن أبى حنيفه.
دليلنا قوله تعالى (وأحل لكم ما وراء ذلكم) وقوله صلى الله عليه وسلم (لا يحرم الحرام الحلال) والعقد على الزانيه كان حلالا قبل الزنا وقبل الحمل فلا يحرمه الزنا.
وروى أن رجلا كان له ابن تزوج امرأة لها ابنة ففجر الغلام بالصبيه، فسألهما عمر رضى الله عنه فأقرا فجلدهما وحرص أن يجمع بينهما بالنكاح فأبى الغلام ولم ير عمر رضى الله عنه انقضاء العدة، ولم ينكر عليه أحد، فدل على أنه اجماع ولانه وطئ لا يلحق به النسب، أو حمل لا يلحق بأحد فلم يمنع صحة النكاح كما لو لم يوجد.

Sabtu, 29 Mei 2010

Sejarah NU (bagian 2)

Pada Februari 1924, pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-19 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia muslim. Pada akhir abad ke-19, klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.


Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam praktiknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah menyebabkan banyak masyarakat muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen—sekalipun hanya bersifat simbolik—semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah.


Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Syarif Husein (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada 1916). Dia membentuk semacam dewan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah, dan mengadakan sebuah kongres haji (mu’tamar al-hajj) di Mekkah pada Juli 1924, dengan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang pertama dari serangkaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an. Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husein. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, menyerbu Makkah dan membuyarkan keinginan-keinginannya. Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa’ud, sementara Husein—yang sudah melarikan diri ke luar negeri—tak punya kekuasaan sama sekali.


Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama Al-Azhar, yang didorong oleh Raja Mesir, Fu’ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridha, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada Sarekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia saat itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926.


Dalam pandangan Ibnu Sa’ud, persiapan Kongres Kairo, dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta.


Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu di mana di Indonesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam. Di tahun-tahun 1922-1926, para aktifis muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut Kongres Al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis terlalu banyak.


Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke Kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agustus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Makkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rezim Sa’udi yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan.


Tidak satupun dari kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridha, adalah salah seorang penyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir. Bagaimanaun juga, Ibnu Sa’ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi banyak menghancurkan banyak makam di dalam dan di sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktik-praktik keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang sangat mencemaskan.


Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridha di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan Wahabi. Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu’ad dalam kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Inggris untuk menguasai dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik, hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibnu Sa’ud. Kaum tradisionalis juga memilih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: kedudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting dari pada semua permasalahan khilafah.


Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibnu Sa’ud bahwa dia akan menghormati madzhab-madzhab fikih ortodoks dan membolehkan berbagai praktik keagamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah—di mana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar—sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi Kiai biasanya menghabiskan beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika fikih Syafi’i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting.


Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.
Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan nama Nahdlatoel ‘Oelama


source: jagad nu . blogspot . com

Sejarah NU

Nahdlatul Ulama



Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
[sunting] Paham keagamaan

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Daftar pimpinan

Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (pimpinan tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
No Nama Awal Jabatan Akhir Jabatan
1 KH Mohammad Hasyim Asy'arie 1926 1947
2 KH Abdul Wahab Chasbullah 1947 1971
3 KH Bisri Syansuri 1972 1980
4 KH Muhammad Ali Maksum 1980 1984
5 KH Achmad Muhammad Hasan Siddiq 1984 1991
KH Ali Yafie (pjs) 1991 1992
6 KH Mohammad Ilyas Ruhiat 1992 1999
7 KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz 1999 sekarang

Basis pendukung

Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.

Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.

Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.

Tujuan

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[sunting] Usaha

1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.

Struktur

1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)

Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Jaringan

Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:

* 33 Wilayah
* 439 Cabang
* 15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri
* 5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
* 47.125 Ranting

NU dan politik

Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.

NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.

Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.

Referensi

1. ^ Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009

[sunting] Pranala luar

* (id) Situs Resmi Nahdlatul Ulama
* (id) Abdurrahman Wahid

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama"

Kamis, 27 Mei 2010

40 Fakta Unik tentang Agama Islam

40 FAKTA UNIK TENTANG ISLAM
Bagikan
Hari ini jam 14:49

Sebagian orang masih banyak yang meragukan tentang kebenaran agama islam ini, tak kecuali adalah mereka yang telah mengaku sebagai muslim. Makanya perlu kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang hak dengan beberapa fakta dibawah ini :

1. Nama “Muhammad” adalah nama yang paling populer di seluruh dunia (walaupun salah mahomed..mohammed..dll) dan menempati urutan nomor dua di negara Inggris untuk nama bayi laki-laki ( urutan pertama ditempati oleh nama ‘Jack’ )

2. Albania merupakan negara satu-satunya di benua Eropa yang 90% penduduknya beragama Islam

3. Kata-kata berikut ini diserap dari bahasa Arab : Algebra, Zero, Cotton, Sofa, Rice, Candy, Safron, Balcony, bahkan ‘Alcohol’ juga berasal dari bahasa Arab, Al-Kuhl, yang mempunyai arti bubuk

4. Beberapa ayat di dalam Al-Qur’an menggambarkan pentingnya persamaan hak antara pria dan wanita ( secara perhitungan matematik ). Kata “Pria” dan “Wanita” di dalam Al-Qur’an sama-sama berjumlah 24

5. Tidak ada apa-apa di dalam Ka’bah

6. Islam merupakan agama yang pertumbuhannya paling cepat di dunia menurut banyak sumber, diperkirakan akan menjadi agama nomor 1 pada tahun 2030

7. Umat Hindu percaya bahwa di dalam Ka’Bah ada salah satu dari Tuhan mereka yang bernama ‘Shiva Lingam‘

8. Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji hanya 2 kali dalam hidupnya

9. Jikalau sekarang Al-Qur’an dihancurkan, maka versi arab dari Al-Qur’an akan segera di-recover oleh jutaan muslim, yang disebut Huffaz yang telah menghafalkan kata-kata di dalam Al-Qur’an dari mulai awal sampai dengan akhir ayat.

10. Nama original dari kota suci Madinah adalah “Yasthrib"

11. pemeluk Islam bertambah 2,9% per tahun. Pertumbuhan ini lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah penduduk bumi sendiri yang hanya 2,3% per tahun.

12. Berdasarkan data dari Departmen Pertahanan Amerika Serikat. Dari 1,4 juta prajurit di militer Amerika, diperkirakan ada sekitar 3.700 yang beragama Islam ( Muslim ).

13. islam menyebar ke bumi nusantara ketika Nabi Muhammad masi hidup

14. Sebanyak 8 juta orang Muslim yang kini ada di AS dan 20.000 orang AS masuk Islam setiap tahun setelah peristiwa 9/11

15. Jasad Nabi Muhammad pernah ingin dicuri 2 kali, namun kedua2nya gagal dan salah satu yang mencuri dihilangkan oleh Allah dari bumi

16. Jasad Firaun (Ramses II) yang tenggelam di laut merah, Baru ditemukan
oleh arkeolog Giovanni Battista Belzoni tahun 1817. setelah 3000 tahun berada di bawah tanah dan pasir

17. Al Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang bisa dihafal jutaan manusia (Hafidz/penghafal Al Qur’an) sehingga keaslian/kesuciannya selalu terjaga.

18. Jika agama lain bisa punya lebih dari 4 versi kitab suci yang berbeda satu dengan lainnya, maka Al Qur’an hanya ada satu dan tak ada pertentangan di dalamnya:

19. Para astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi yang berpusat di kota Mekah, tepatnya berasal dari Ka’Bah. Yang mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite ( tidak berujung ), radiasi tersebut menembus planet mars dan masih berlanjut. peneliti mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka’Bah di di planet Bumi dengan Ka’bah di alam akhirat.

20. Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa batu Hajar Aswad merupakan batu tertua di dunia dan juga bisa mengambang di air.

21. Shalat yang pertama dilakukan oleh Rasulallah Saw menghadap Masjidil Haram adalah shalat Ashar bersama para sahabat, setelah sebelumnya berkiblat ke Masjidil Baitul Maqdis selama enam belas bulan.

22. IBRAHIM adalah "Bapak" dari tiga agama besar, yakni "Judaisme", "Nasrani", dan "Islam".

23. Malaikat tidak terhitung jumlahnya dan hanya Allah yang mengetahuinya.

24. Islam, berarti "submisi" atau "menyerah" kepada satu Tuhan, Allah. "Islam" juga berasal dari kata "salam", "perdamaian" dan yang kedua dalam arti "berserah diri". demikian, arti dari "Islam" adalah "kedamaian yang sempurna yang datang bila kita hidup berserah diri kepada Allah".

25. Rasulullah pernah membelah bulan menjadi 2 bagian, dengan hanya menunjuk bulan dengan jarinya. diabadikan Allah dalam al-Qur'an surah Al-Qamar ayat 1: "Sungguh telah dekat hari qiamat, dan bulan pun telah terbelah."

26. sebelum Nabi Ibrahim menginjakkan kakinya ke tanah Makkah sudah ada bangunan Ka'bah yang telah dibangun oleh malaikat dan generasi
sebelum Nabi Ibrahim as. Hal itu dapat dipahami dari kata "Yarfa'u" meninggikan berarti meninggikan bangunan yang sudah ada.

27. Aliran sesat di Indonesia dalam rentangan waktu selama 6 tahun saja (2001 – 2006) telah mencapai angka 250 aliran.

28. Rasulullah menyebutkan ada 73 golongan dalam islam, dan hanya 1 yang akan masuk jannah yaitu "Al Jama’ah".

29. Nabi Muhammad tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis, namun ingatannya sangat kuat dan sangat cerdas.

30. kata2 terakhir Nabi Muhammad sebelum wafat adalah "Ummatii … ummatii … ummatii" yang mengungkapkan betapa besar cintanya kepada umatnya.

31. Selama 23 kali perang semasa Rasulullah memimpin, hanya sekali kekalahan yang di derita kaum muslimin, yakni, perang uhud

32. Musa A.S adalah nama yang paling sering disebut dalam Al-Qur'an, sedangkan maryam adalah satu2nya nama perempuan yang disebut dalam Al-Qur'an.

33. Al-Qur'an adalah buku terlaris di benua eropa.

34. Semua anak Nabi Muhammad, yakni, Al-Qasim,Abdullah dan Ibrahim, meninggal kurang lebih pada usia 2 tahun. Allah sengaja memanggil mereka lebih awal agar kaum muslimin tidak mengangkat mereka menjadi rasul yang baru.

35. Imam Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya orang yang pernah lahir di dalam Ka’bah.

36. Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, warnanya lebih putih daripada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adamlah yang menjadikannya hitam.

37. Al Khowarizmi (matematika), Jabir Ibn Hayyan (kimia), Ibnu Khaldun (sosiologi dan sejarah), Ibnu Sina (kedokteran), Ar Razi (kedokteran), Al Biruni (fisika), Ibnu Batutah (antropologi) adalah contoh dari ratusan cendikiawan muslim yang menjadi rujukan dalam ilmu pengetahuan modern.

38. Hijir Ismail ini dahulu merupakan tempat tinggal Nabi Ismail, disitulah Nabi Ismail tinggal semasa hidupnya dan kemudian menjadi kuburan beliau dan juga ibunya.

39. Maqom Ibrahim bukanlah kuburan Nabi Ibrahim sebagaimana dugaan atau pendapat sebagian orang. Maqom Ibrahim adalah batu pijakan pada saat Nabi Ibrahim membangun Ka'bah.

40. pasukan Salib datang ke Timur ketika Khalifah Bani Abbas berada dalam masa kemunduran. Tak diduga, banyak anggota pasukan Salib tertarik kepada Islam dan kemudian menggabungkan diri dengan pasukan Salib lainnya. Thomas Arnold, dalam Al Da'wah ila Al Islam, menyebutkan bahwa mereka masuk Islam setelah melihat kepahlawanan Salahuddin sebagai cerminan ajaran islam.


(source: http://isnanzinspiration.blogspot.com/)

Hukum e-Commerse

1. TRANSAKSI ELEKTRONIK

Kemajuan teknologi dan Informasi telah mengantarkan pada pola kehidupan umat manusia lebih mudah sehingga merubah pola interaksi antar anggota masyarakat. Pada era teknologi dan informasi ini, khususnya internet, seseorang dapat melakukan perubahan pola transaksi bisnis, baik berskala kecil mapun besar, yaitu perubahan dari paradigma bisnis konvensional menjadi paradigma bisnis elektronikal. Paradigma baru tersebut dikenal dengan istilaH Electronic Commerce, umumnya disingkat E-Commerce.

Kontrak elektronik adalah sebagai perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Maka jelas bahwa kontrak elektronikal tidak hanya dilakukan melalui internet semata, tetapi juga dapat dilakukan melalui medium faksimili, telegram, telex, internet, dan telepon. Kontrak elektronikal yang menggunakan media informasi dan komunikasi terkadang mengabaikan rukun jual-beli (ba’i), seperti shighat, ijab-qabul, dan syarat pembeli dan penjual yang harus cakap hukum. Bahkan dalam hal transaksi elektronikal ini belum diketahui tingkat keamanan proses transaksi, identifikasi pihak yang berkontrak, pembayaran dan ganti rugi akibat dari kerusakan. Bahkan akad nikah pun sekarang telah ada yang menggunakan fasilitas telepon atau Cybernet, seperti yang terjadi di Arab Saudi.

Pertanyaan:
- Bagaimana hukumnya transaksi via elektronik, seperti media telepon, e-mail atau Cybernet dalam akad jual beli dan nikah?
- Sahkah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah ?
- Mungkinkah dapat lakukan transaksi dengan cara pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan pemberian kuasa hukum (wakalah) kepada seseorang yang hadir di majlis tersebut?

Jawaban:
- Akad jual beli melalui alat elektronik hukumnya tafshil; (1) jika mabi’ (barang yang dijual)-nya sudah dilihat dengan jelas oleh kedua belah pihak sebelum melakukan transaksi maka hukumnya sah; (2) jika mabi’ belum dilihat dengan jelas maka hukumnya tidak sah, kecuali apabila mabi’ dijelaskan sifat dan jenisnya.
- Akad nikah melalui alat elektronik hukumnya tidak sah.

Pengambilan dalil dari:

- إعانة الطالبين ج: 3 ص: 9:(
الثاني: التلفظ - بحيث يسمعه من بقربه عادة، وإن لم يسمعه المخاطب - ويتصور وجود القبول منه مع عدم سماعه، بما إذا بلغه السامع فقبل فورا، أو حمل الريح إليه لفظ الايجاب فقبل كذلك، أو قبل اتفاقا - كما في البجيرمي، نقلا عن سم - فلو لم يسمعه من بقربه لم يصح.
- (حاشية الجمل:4/301
( قَوْلُهُ فَاعْتُبِرَ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ اللَّفْظِ ) أَيْ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُ مِمَّا هُوَ عِبَارَةٌ عَنْهُ كَالْخَطِّ أَوْ قَائِمٍ مَقَامَهُ كَإِشَارَةِ الْأَخْرَسِ ا هـ .
- شرح الياقوت النفيس: 2 / 22
واما البيع والشراء بالمكاتبة والتوقيع عليهما وبواسطة وسائل الإتصال الحديثة كالتليفون والتلكس وغيرهما, فإن هذه الأجهزة أصبح جريان التعامل بواسطتها. وبواسطتها يتم البيع والشراء والتعامل داخل كل الدول. وقد أوضح الفقهاء الطرق المتعددة والمختلفة للتعبير عن إرادة كل من طرفي العقد بالقول الملفوظ او المكتوب وانعقاده بالإشارة. والعبرة في العقود لمعانيها لا لصور الألفاظ. تصح صيغة البيع بالمصادقة, إذا تصادق إثنان على صيغة فالعقد جائز لأنه تبين لهما القصد والإمضاء اصبح عرفا كاللفظ وعليه العمل واعتمده كثير من المحققين ويعملون به في وثيقة عقد النكاح وفي قسمة التركات وقد تصل رسالة موقعة من شخص معروف ينعى فيها وفاة شخص ما فيصادقون عليها, والكتابة مع النية والتوقع عليها معتمدة ولا يعتمد ولا يقبل قول القائل إننى لم اتلفظ ولم أنوي فهذا يعد من التلاعب بحقوق الناس والإساءة الى الإسلام انت كتبت ثم تقول ما نويت ولم اتلفظ. وعن البيع و الشراء بواسطة التليفون والتلكس والبرقيات, كل هذه الوسائل وأمثالها معتمدة اليوم وعليها العمل.

Tidak sahnya akad nikah melalui via elektronika:

- حاشية البجيرمي على الخطيب 10/148(:
قَوْلُهُ : ( وَالضَّبْطُ ) أَيْ لِأَلْفَاظِ وَلِيِّ الزَّوْجَةِ وَالزَّوْجِ ، فَلَا يَكْفِي سَمَاعُ أَلْفَاظِهِمَا فِي ظُلْمَةٍ ؛ لِأَنَّ الْأَصْوَاتَ تَشْتَبِهُ وَيَنْبَغِي لِلشَّاهِدَيْنِ ضَبْطُ سَاعَةِ الْعَقْدِ لِأَجْلِ لُحُوقِ الْوَلَدِ.
قَوْلُهُ : ( وَحُضُورِ شَاهِدَيْ عَدْلٍ ) إلى أن قال : وَيُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ مِنْ الشَّاهِدَيْنِ أَيْضًا السَّمْعُ وَالْبَصَرُ وَالضَّبْطُ وَمَعْرِفَةُ لِسَانِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ
- الشروانى شرح تحفة المختاج للشيخ المعروف بالشروانى ج 4 ص 221 ط/ دار احياء التراث العربي
( وينعقد ) البيع من غير السكران الذي لا يدري ; لأنه ليس من أهل النية على كلام يأتي فيه في الطلاق ( بالكناية ) مع النية مقترنة بنظير ما يأتي ثم والفرق بينهما فيه نظر ولا تغني عنها القرائن , وإن توفرت , وهي ما يحتمل البيع وغيره ( كجعلته لك ) أو خذه ما لم يقل بمثله , وإلا كان صريح قرض كما يأتي أو تسلمه , وإن لم يقل مني أو باعك الله أو سلطتك عليه وكذا بارك الله لك فيه في جواب بعنيه وليس منها أبحتكه ولو مع ذكر الثمن كما اقتضاه إطلاقهم ; لأنه صريح في الإباحة مجانا لا غير فذكر الثمن مناقض له وبه يفرق بينه وبين صراحة وهبتك هنا ; لأن الهبة قد تكون بثواب , وقد تكون مجانا فلم ينافها ذكر الثمن بخلاف الإباحة وإنما كان لفظ الرقبى والعمرى كناية بل صريحا عند بعضهم ; لأنه يرادف الهبة لكنه ينحط عنها بإيهامه المحذور المشعر به لفظه بخلاف الإباحة ( بكذا ) لا يشترط ذكره بل تكفي نيته على ما فيه مما بينته في شرح الإرشاد , وإنما انعقد بها مع النية ( في الأصح ) مع احتمالها قياسا على نحو الإجارة والخلع وذكر الثمن أو نيته بتقدير الاطلاع عليها منه يغلب على الظن إرادة البيع فلا يكون المتأخر من العاقدين قابلا ما لا يدريه ولا ينعقد بها بيع أو شراء وكيل لزمه إشهاد عليه بقول موكله له بع بشرط أو على أن تشهد بخلاف بع , وأشهد ما لم تتوفر القرائن المفيدة لغلبة الظن وفارق النكاح بأنه يحتاط له أكثر والكتابة لا على مائع أو هواء كناية فينعقد بها مع النية ولو لحاضر فليقبل فورا عند علمه ويمتد خيارهما لانقضاء مجلس قبوله . ( قوله : والكتابة إلخ ) ومثلها خبر السلك المحدث في هذه الأزمنة فالعقد به كناية فيما يظهر .

- حاشية البجيرامى على الخطيب ج 10 ص 146-147
وَعِبَارَةُ ع ش : أَمَّا إذَا فَهِمَهَا الْفَطِنُ دُونَ غَيْرِهِ سَاوَتْ الْكِنَايَةَ فَيَصِحُّ نِكَاحُهُ بِكُلٍّ مِنْهُمَا حَيْثُ تَعَذَّرَ تَوْكِيلُهُ ، وَلَيْسَ لَنَا نِكَاحٌ يَنْعَقِدُ بِالْكِنَايَةِ إلَّا بِالْكِتَابَةِ وَإِشَارَةِ الْأَخْرَسِ إذَا اخْتَصَّ بِفَهْمِهَا الْفَطِنُ ، وَمَفْهُومُهُ أَنَّهُ لَوْ أَمْكَنَهُ التَّوْكِيلُ بِالْكِتَابَةِ أَوْ الْإِشَارَةِ الَّتِي يَخْتَصُّ بِفَهْمِهَا الْفَطِنُ تَعَيَّنَ لِصِحَّةِ نِكَاحِهِ تَوْكِيلُهُ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ كِنَايَةً أَيْضًا فَهِيَ فِي التَّوْكِيلِ وَ


Sumber: muktamar.nu.or.id

Prinsip Adil Gender dalam Islam

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (An-Nisaa, 4:1)


Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat, 49:13)


Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl, 16:97)


dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah, 9:71)


Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-ahzab, 33:35)


Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (Al-Baqarah, 2:187)


bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (An-Nisaa, 4:21)


apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah, 2:232)


Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An-Nisaa: 4:19)


Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah, 2:233)


dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Ar-Rum, 30,21)

Rabu, 26 Mei 2010

Kepemimpinan Situasional

KEPEMIMPINAN SITUASIONAL adalah kepemimpinan yang didasarkan atas hubungan saling mempengaruhi antara;

1.

Tingkat bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin (prilaku tugas)
2.

Tingkat dukungan sosioemosional yang disajikan pemimpin (prilaku hubungan)
3.

Tingkat kesiapan yang diperlihatkan bawahan dalam melaksanakan tugas, fungsi atau tujuan tertentu (kematangan bawahan).

Untuk lebih mengerti secara mendalam tentang Kepemimpinan Situasional, perlu bagi kita mempertemukan antara Gaya Kepemimpinan dengan Kematangan Pengikut karena pada saat kita berusaha mempengaruhi orang lain, tugas kita adalah:

1.

Mendiagnosa tingkat kesiapan bawahan dalam tugas-tugas tertentu.
2.

Menunjukkan gaya kepemimpinan yang tepat untuk situasi tersebut.

Terdapat 4 gaya kepemimpinan yaitu:

1.

Memberitahukan, Menunjukkan, Memimpin, Menetapkan (TELLING-DIRECTING)
2.

Menjual, Menjelaskan, Memperjelas, Membujuk (SELLING-COACHING)
3.

Mengikutsertakan, memberi semangat, kerja sama (PARTICIPATING-SUPPORTING)
4.

Mendelegasikan, Pengamatan, Mengawasi, Penyelesaian (DELEGATING)


Menurut Hersey, Blanchard dan Natemeyer ada hubungan yang jelas antara level kematangan orang-orang dan atau kelompok dengan jenis sumber kuasa yang memiliki kemungkinan paling tinggi untuk menimbulkan kepatuhan pada orang-orang tersebut. Kepemimpinan situational memAndang kematangan sebagai kemampuan dan kemauan orang-orang atau kelompok untuk memikul tanggungjawab mengarahkan perilaku mereka sendiri dalam situasi tertentu. Maka, perlu ditekankan kembali bahwa kematangan merupakan konsep yang berkaitan dengan tugas tertentu dan bergantung pada hal-hal yang ingin dicapai pemimpin.

Menurut Paul Hersey dan Ken. Blanchard, seorang pemimpin harus memahami kematangan bawahannya sehingga dia akan tidak salah dalam menerapkan gaya kepemimpinan. Tingkat kematangan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1.

Tingkat kematangan M1 (Tidak mampu dan tidak ingin) maka gaya kepemimpinan yang diterapkan pemimpin untuk memimpin bawahan seperti ini adalah Gaya Telling (G1), yaitu dengan memberitahukan, menunjukkan, mengistruksikan secara spesifik.
2.

Tingkat kematangan M2 (tidak mampu tetapi mau), untuk menghadapi bawahan seperti ini maka gaya yang diterapkan adalah Gaya Selling/Coaching, yaitu dengan Menjual, Menjelaskan, Memperjelas, Membujuk.
3.

Tingkat kematangan M3 (mampu tetapi tidak mau/ragu-ragu) maka gaya pemimpin yang tepat untuk bawahan seperti ini adalah Gaya Partisipatif, yaitu Saling bertukar Ide & beri kesempatan untuk mengambil keputusan.
4.

Tingkat kematangan M4 (Mampu dan Mau) maka gaya kepemimpinan yang tepat adalah Delegating, mendelegasikan tugas dan wewenang dengan menerapkan system control yang baik.

Bagaimana cara kita memimpin haruslah dipengaruhi oleh kematangan orang yang kita pimpin supaya tenaga kepemimpinan kita efektif dan juga pencapaian hasil optimal.


Tidak banyak orang yang lahir sebagai pemimpin. Pemimpin lebih banyak ada dan handal karena dilatihkan. Artinya untuk menjadi pemimpin yang baik haruslah mengalami trial and error dalam menerapkan gaya kepemimpinan.

Pemimpin tidak akan pernah ada tanpa bawahan dan bawahan juga tidak akan ada tanpa pemimpin. Kedua komponen dalam organisasi ini merupakan sinergi dalam perusahaan dalam rangka mencapai tujuan. Paul Hersey dan Ken Blanchard telah mencoba melepar idenya tentang kepemimpinan situasional yang sangat praktis untuk diterapkan oleh pemimpin apa saja. Tentu masih banyak teori kepemimpinan lain yang baik untuk dipelajari. Dari Hersey dan Blanchard, orang tahu kalau untuk menjadi pemimpin tidaklah cukup hanya pintar dari segi kognitif saja tetapi lebih dari itu juga harus matang secara emosional. Pemimpin harus mengetahui atau mengenal bawahan, entah itu kematangan kecakapannya ataupun kemauan/kesediaannya.



Dengan mengenal type bawahan (kematangan dan kesediaan) maka seorang pemimpin akan dapat memakai gaya kepemimpinan yang sesuai. Sayangnya jaman sekarang banyak pemimpin yang suka main kuasa saja tanpa mempedulikan bawahan. Kalaupun mempedulikan bawahan itupun karena ada motif tertentu seperti nepotisme.***

Masalah MLM

RUMUSAN JAWABAN BAHTSUL MASAIL
MWC NU CISURUPAN

1. Masalah MLM ( multi level marketing)
MLM ( multi level marketing) hukumnya haram apabila:
a. Menjual produk dengan harga yang tidak wajar dan jauh lebih tinggi dari harga standar. Dihukumi haram karena pihak perusahaan telah menambahkan harga yang dibebankan kepada member sebagai sharing modal dalam akad syirkah, mengingat pembeli adalah termasuk member yang apabila ikut memasarkan maka akan mendapatkan keuntungan estafet. Dengan demikian maka system ini mengandung unsur kesamaran, karena tidak jelas apakah akad tersebut termasuk jual beli, syirkah atau mudharabah.
b. Calon anggota mendaftar ke perusahaan MLM dengan membayar sejumlah uang dan disyaratkan bahwa ia harus membeli produk untuk dijual kepada orang lain atau untuk konsumsi pribadi agar ia mendapatkan bonus. Dan apabila ia tidak dapat mencapai target tertentu maka keanggotaannya akan dicabut dan uangnya akan hangus. Hal ini menjadi haram karena ada unsur ghoror dan dhalim terhadap member.
c. Calon anggota mendaftar dengan membayar sejumlah uang tanpa ada keharusan untuk membeli produk atau menjualnya , dia hanya berkewajiban mencari anggota baru dengan cara seperti diatas, yakni membayar uang pendaftaran. Semakin banyak anggota, maka akan semakin banyak bonusnya. Ini adalah bentuk riba, karena menaruh uang di perusahaan tersebut lalu mendapat hasil yang lebih banyak.
d. Mirip dengan yang sebelumnya, yaitu perusahaan MLM yang melakukan kegiatan menjaring dana dari masyarakat untuk menanamkan modal disitu dengan janji akan meberikan bunga dan bonus dari modalnya. Ini adalah haram karena ada unsur riba.
e. Perusahaan MLM yang melakukan manipulasi dalam perdagangan produknya atau memaksa pembeli untuk mengkonsumsi produknya atau yang dijual adalah barang haram.


Referensi:
A. QS. Al-Baqarah: 188, 275, QS. Al-Imron: 130
B. Abu Bakr Ahmad bin al-Husain bi Ali al-Baihaqy; As-Sunan al-Kubra, V : 338, Majlis Dairah al-Ma’arif an-Nidzamiyyah, Haiderabad, India, cetakan pertama, tahun 1344 H
C. Abu al-Abbas Ahmad bin Idris as-Shonhaji al-Qarrafi, Al-Furuq ma’a hawamisyihi, III: 432-434, Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, tahun 1418 H
D. ‘Alaauddin Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al-Mirdawi, At-Tahbiir syarh at-tahriir, VII : 3448, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, tahun 1421 H
E. Abu al-Abbas Ahmad bin Abdil Halim, Al-Qawa’id an-Nuraniyyah, I : 116, Daar al-Ma’rifah, Beirut, tahun 1399 H


قوله: {ولا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ} الآية [البقرة: 188].

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون (البقرة:275)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون (ال عمران:130)

As-Sunan al-Kubra lil-Baihaqi, V:338;
11164- وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ أَخْبَرَنَا أَبُو جَعْفَرٍ الرَّزَّازُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ شَاكِرٍ حَدَّثَنَا قَبِيصَةٌ قَالَ حَدَّثَنِى سُفْيَانُ عَنِ ابْنِ أَبِى لَيْلَى عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ. حَدِيثُ أَبِى هُرَيْرَةَ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ كَمَا مَضَى.
Al-Furuq ma’a Hawamisyihi, III:434;
الفرق الثالث والتسعون والمائة بين قاعدة المجهول وقاعدة الغرر الغرر لغة قال القاضي عياض رحمه الله هو ما له ظاهر محبوب وباطن مكروه ولذلك سميت الدنيا متاع الغرور قال وقد يكون من الغرارة وهي الخديعة ومنه الرجل الغر بكسر الغيرة للخداع ويقال للمخدوع أيضا ومنه قوله عليه السلام المؤمن غر كريم ا هـ
والمجهول لغة ضد المعلوم كما في المختار والغرر اصطلاحا ما لا يدري هل يحصل أم لا جهلت صفته أم لا كالطير في الهواء والسمك في الماء والمجهول اصطلاحا ما علم حصوله وجهلت صفته كبيع الشخص ما في كمه فهو يحصل قطعا لكنه لا يدري أي شيء هو فكل واحد من الغرر والمجهول اصطلاحا أعم من الآخر من وجه وأخص من وجه فيجتمعان في نحو شراء العبد الآبق المجهول قبل إباقه صفته فهو مجهول الصفة وغرر لأنه لا يدري أيحصل أم لا ويوجد الغرر بدون الجهالة في نحو شراء العبد الآبق المعلوم قبل إباحة صفته فهو معلوم قبل الإباق لا جهالة فيه وهو غرر لأنه لا يدري هل يحصل أم لا وتوجد الجهالة بدون الغرر في نحو شراء حجر يراه لا يدري أهو زجاج أم ياقوت فمشاهدته تقتضي القطع بحصوله فلا غرر وعدم معرفته تقتضي الجهالة به نعم قد يتوسع العلماء فيهما فيستعملون أحدهما موضع الآخر نظرا إلى أن الغرر يوجد في المبيعات من جهة الجهل بأحد سبعة أشياء الأول الجهل بتعيين العقد أي الجهل بوجود المعقود به عليه كالآبق قبل الإباق والثاني الجهل بتعيين المعقود عليه كثوب من ثوبين مختلفين
At-tahbiir syarh at-tahriir, VII: 3448;
من طرد عن غرر فجاهل ، ومن مارس الشريعة واستجازه فهازىء بالشريعة
; Al-Qawaid an-nuraniyyah: I:116
ثم إن رسول الله صلى الله عليه وسلم فصل ما جمعه الله في كتابه فنهى صلى الله عليه وسلم عن بيع الغرر كما رواه مسلم و غيره عن أبي هريرة رضي الله عنه و الغرر هو المجهول العاقبة فإن بيعه من الميسر الذي هو القمار و ذلك أن العبد إذا أبق أو الفرس أو البعير إذا شرد فإن صاحبه إذا باعه فإنما يبيعه مخاطرة فيشتريه المشتري بدون ثمنه بكثير فإن حصل له قال البائع قمرتني و أخذت مالي بثمن قليل و إن لم يحصل قال المشتري قمرتني و أخذت الثمن مني بلا عوض فيفضي إلى مفسدة الميسر التي هي إيقاع العداوة و البغضاء مع ما فيه من أكل المال بالباطل الذي هو نوع من الظلم ففي بيع الغرر ظلم و عداوة و بغضاء
و ما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم من بيع حبل الحبلة و الملاقيح و المضامين و من بيع السنين و بيع الثمر قبل بدو صلاحه و بيع الملامسة و المنابذة و نحو ذلك كله من نوع الغرر و أما الربا فتحريمه في القرآن أشد و لهذا قال تعالى { يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وذروا ما بقي من الربا إن كنتم مؤمنين فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله } و ذكره النبي صلى الله عليه وسلم في الكبائر كما خرجاه في الصحيحين عن أبي هريرة رضي الله عنه و ذكر الله أنه حرم على الذين هادوا طيبات أحلت لهم بظلمهم و صدهم عن سبيل الله و أخذهم الربا و أكلهم أموال الناس بالباطل و أخبر سبحانه أنه يمحق الربا كما يربي الصدقات و كلاهما أمر مجرب عند الناس
Keterangan Tambahan
Adapun hal-hal yang bisa membuat sebuah transaksi bisnis menjadi haram adalah :
1. Riba
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata : “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu yang paling ringan adalah semacam dosa seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri” (HR. Ahmad 15/69/230, lihat Shahihul Jami 3375)
2. Ghoror
(Adanya Spekulasi yang tinggi) dan jahalah (adanya sesuatu yang tidak jelas).
“Dari Abu Hurairah radhiallhu anhu berkata : “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melarang jual beli ghoror”. (HR. Muslim 1513)
3. Penipuan
Dari Abu Hurairah radhiallhu anhu berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melewati seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu”. (HR. Muslim 1/99/102, Abu Dawud 3435, Ibnu Majah 2224)
4. Perjudian atau adu nasib
Firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib, adalah perbuatan syaithan maka jauhilah.” (QS. Al-Maaidah: 90)
5. Kedhaliman
Sebagaimana firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil…” (QS. An-Nisaa:29)
6. Yang dijual adalah barang haram
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallhu anhuma berkata :”Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu dawud 3477, Baihaqi 6/12 dengan sanad shahih).
(Keterangan tambahan dikutip dari www.geocities.com/abu_amman/MLM.htm), diakses pada hari Sabtu, 17 Oktober 2009, jam 19.00 WIB
2. Masalah MLM Haji (PT. MPM)

Masalah ini tidak jelas status akadnya. Oleh karena itu sangat besar kemungkinan di dalamnya terdapat unsur gharar dan bathil bahkan riba. Maka dari itu hukumnya haram seperti telah dikemukakan dalil-dalilnya dalam masalah yang pertama. Masalah ini dapat dikategorikan ke dalam system MLM poin C yang telah diuraikan diatas yang tidak bisa lepas dari unsur riba.

Referensi: sama dengan masalah pertama

3. Masalah mengakhirkan penguburan jenazah

a. Hukum mengakhirkan penguburan janazah untuk kepentingan otopsi, studi atau mensucikan mayit adalah boleh / mubah selama jasad mayit tersebut dapat terjaga dengan baik dan terjaga pula kehormatannya. untuk itu penggunaan zat pengawet menjadi suatu keniscayaan (wajib).

b. Mengenai lama batasan pengakhirannya maka tidak ada batas tertentu, artinya batasnya adalah sampai kepentingan itu dapat tercapai secara sempurna

c. Masalah membedah jenazah untuk kepentingan otopsi atau studi adalah boleh. ‘illatnya adalah dlarurat.

Referensi:
- Ibnu Hajar al-Haitsami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, II : 2, Daar al-fikr, Beirut, tanpa tahun.
- Zakaria bin Ghulam Qadir al-bakistani, Ushul al-fiqh ‘ala manhaj ahl-al-hadits, Daar el-harraaz, Jiddah, cetakan pertama 1423 H

al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, II : 2;
بَابُ الْجَنَائِزِ وَسُئِلَ رضي اللَّهُ عنه وَأَفَاضَ عَلَيْنَا من مَدَدِهِ ما قَوْلُكُمْ فِيمَا أَفْتَى بِهِ شَيْخُنَا الْوَالِدُ من أَنَّهُ لَا يُؤَخَّرُ تَجْهِيزُ الْمَيِّتِ لِأَجْلِ تَحْصِيلِ الْكَافُورِ زَمَنًا لَا يَتَغَيَّرُ فيه الْمَيِّتُ قَبْلَهُ فإنه وَقَعَ عِنْدِي في ذلك شَيْءٌ بِمَسْأَلَةِ نَقْلِ الْمَيِّتِ فَأَجَابَ نَفَعَنَا اللَّهُ بِهِ وَبِعُلُومِهِ بِأَنَّ الذي يَتَّجِهُ أَنَّ الْأَفْضَلَ تَأْخِيرُ الْمَيِّتِ تَأْخِيرًا يَسِيرًا لَا يُخْشَى منه تَغَيُّرٌ بِوَجْهٍ لِأَجْلِ تَحْصِيلِ الْكَافُورِ لِأَنَّ كَلَامَهُمْ في بَابِ الْجَنَائِزِ نَاطِقٌ بِأَنَّ الْأَوْلَى فِعْلُ الْأَفْضَلِ بِهِ وَإِنْ أَدَّى رِعَايَةُ ذلك الْأَفْضَلِ إلَى تَأْخِيرٍ أَلَا تَرَى أَنَّ أَقَلَّ الْغُسْلِ يَحْصُلُ بِإِفَاضَةِ الْمَاءِ على جَمِيعِ الْبَدَنِ وَمَعَ ذلك قالوا الْأَوْلَى رِعَايَةُ أَكْمَلِ الْغُسْلِ مع أَنَّ الْأَكْمَلَ الذي ذَكَرُوهُ يَسْتَدْعِي زَمَنًا طَوِيلًا ولم يَنْظُرُوا لِذَلِكَ وَكَذَلِكَ قالوا الْأَوْلَى إفْرَادُ كل مَيِّتٍ بِالصَّلَاةِ عليه ولم يَنْظُرُوا إلَى جَمْعِ الْمَوْتَى في صَلَاةٍ وَاحِدَةٍ وَكَذَلِكَ قالوا نَخْتَارُ نَقْلَ الْمَيِّتِ إلَى نَحْوِ مَكَّةَ إنْ لم يَتَغَيَّرْ قَبْلَهُ ولم يُرَاعُوا طُولَ زَمَنِ تَأْخِيرِ دَفْنِهِ لِتِلْكَ الْمَصْلَحَةِ الْعَائِدَةِ عليه وَنَظَائِرُ ذلك كَثِيرَةٌ في كَلَامِهِمْ على أَنَّ لنا قَوْلًا أو وَجْهًا قَوَّاهُ بَعْضُهُمْ أَنَّ الْكَافُورَ وَاجِبٌ وَحِينَئِذٍ فَيَتَأَكَّدُ رِعَايَةُ تَحْصِيلِهِ وَإِنْ أَدَّى إلَى تَأْخِيرٍ كما مَرَّ خُرُوجًا من خِلَافِ من قال بِوُجُوبِهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Ushul al-fiqh ‘ala manhaj ahl-al-hadits, I : 134;
القاعدة الثامنة : الضرورات تبيح المحظورات :
قال الله تعالى في كتابه الكريم : {وقَدْ فصَّل لَكُمْ ماحَرَّمَ عليْكُم إلا ما اضْطررْتُمْ إليْهِ } [ الأنعام : 119 ] .
قال ابن كثير في تفسير هذه الآية ( 2/174 ) : أي قد بين لكم ما حرم عليكم ووضحه { إلا ما اضررتم إليه } [ الأنعام : 119 ] أي إلا في حال الاضطرار فإنه يباح لكم ما وجدتم . انتهى .
وقال تعالى في كتابه الكريم : { فمَنِ اضطرَّ غَيرَ باغٍ ولا عَادٍ فَلا إثْمَ عليهِ إنَّ الله غَفُورٌ رَحِيمٌ }[ البقرة : 173 ] .
قال ابن كثير في تفسيره ( 1/195 ) : أي في غير بغي ولا عدوان وهو مجاوزة الحد فلا إثم عليه أي في أكل ذلك .
قال الشافعي في الأم ( 4/362 ) : كل ما أحل من حرم في معنى لا يحل إلا في ذلك المعنى خاصة ، فإذا زايل ذلك المعنى عاد إلى أصل التحريم مثلاً : الميتة المحرمة في الأصل المحلة للمضطر ، فإذا زالت الضرورة عادت إلى أصل التحريم . انتهى .


4. Masalah penukaran uang pecahan

a. Menukarkan uang pecahan besar dengan uang pecahan kecil dengan pembayaran yang dilebihkan dari salah satu pihak hukumnya haram, karena termasuk riba.
b. Hukum memperdagangkan mata uang untuk kepentingan bisnis adalah boleh selama didalamnya tidak terdapat unsur riba
c. Mengambil keuntungan dari jasa penukaran uang hukumnya boleh apabila di dalamnya tidak terdapat unsur riba, dan haram apabila di dalamnya terdapat unsur riba.

Referensi:
a. Abu bakr bin Muhammad Syattha ad-Dimyathi, I’anah at-thalibin, III : 21 , Daar el-fikr, Beirut, tanpa tahun.
( تنبيه ) قال في المغني بيع النقد بالنقد من جنسه وغيره يسمى صرفا ويصح على معينين بالإجماع كبعتك أو صارفتك هذه الدنانير بهذه الدراهم وعلى موصوفين على المشهور كقوله بعتك أو صارفتك دينارا صفته كذا في ذمتي بعشرين درهما من الضرب الفلاني في ذمتك
ولو أطلق فقال صارفتك على دينار بعشرين درهما وكان هناك نقد واحد لا يختلف أو نقود مختلفة إلا أن أحدها أغلب صح ونزل الإطلاق عليه ثم يعينان ويتقابضان قبل التفرق
ويصح أيضا على معين بموصوف كبعتك هذا الدينار بعشرة دراهم في ذمتك ولا يصح على دينين كبعتك الدينار الذي في ذمتك بالعشرة التي لك في ذمتي لأن ذلك بيع دين بدين

5. Masalah mencampurkan jenazah muslim dan non muslim dalam satu kuburan

a. Hukum mencampurkan jenazah baru dengan yang sudah hancur dalam satu kuburan adalah boleh apabila keadaan sangat mendesak dan seagama. Adapun yang berbeda agama maka hukumnya haram.
b. Hukum mengumpulkan kuburan jenazah muslim dengan non muslim dalam satu area pekuburan adalah haram, terkecuali ada batasan yang jelas.
c. Adapun dhawabith berkumpul atau tidak berkumpul satu lubang

Referensi:
- Ibnu Hajar al-Haitsami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, II : 14, Daar al-fikr, Beirut, tanpa tahun.