Laman

Sabtu, 29 Mei 2010

Sejarah NU (bagian 2)

Pada Februari 1924, pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-19 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia muslim. Pada akhir abad ke-19, klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.


Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam praktiknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah menyebabkan banyak masyarakat muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen—sekalipun hanya bersifat simbolik—semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah.


Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Syarif Husein (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada 1916). Dia membentuk semacam dewan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah, dan mengadakan sebuah kongres haji (mu’tamar al-hajj) di Mekkah pada Juli 1924, dengan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang pertama dari serangkaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an. Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husein. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, menyerbu Makkah dan membuyarkan keinginan-keinginannya. Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa’ud, sementara Husein—yang sudah melarikan diri ke luar negeri—tak punya kekuasaan sama sekali.


Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama Al-Azhar, yang didorong oleh Raja Mesir, Fu’ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridha, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada Sarekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia saat itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926.


Dalam pandangan Ibnu Sa’ud, persiapan Kongres Kairo, dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta.


Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu di mana di Indonesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam. Di tahun-tahun 1922-1926, para aktifis muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut Kongres Al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis terlalu banyak.


Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke Kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agustus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Makkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rezim Sa’udi yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan.


Tidak satupun dari kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridha, adalah salah seorang penyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir. Bagaimanaun juga, Ibnu Sa’ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi banyak menghancurkan banyak makam di dalam dan di sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktik-praktik keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang sangat mencemaskan.


Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridha di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan Wahabi. Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu’ad dalam kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Inggris untuk menguasai dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik, hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibnu Sa’ud. Kaum tradisionalis juga memilih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: kedudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting dari pada semua permasalahan khilafah.


Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibnu Sa’ud bahwa dia akan menghormati madzhab-madzhab fikih ortodoks dan membolehkan berbagai praktik keagamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah—di mana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar—sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi Kiai biasanya menghabiskan beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika fikih Syafi’i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting.


Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.
Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan nama Nahdlatoel ‘Oelama


source: jagad nu . blogspot . com

Sejarah NU

Nahdlatul Ulama



Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
K.H. Hasyim Asy'arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.

Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
[sunting] Paham keagamaan

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Daftar pimpinan

Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (pimpinan tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
No Nama Awal Jabatan Akhir Jabatan
1 KH Mohammad Hasyim Asy'arie 1926 1947
2 KH Abdul Wahab Chasbullah 1947 1971
3 KH Bisri Syansuri 1972 1980
4 KH Muhammad Ali Maksum 1980 1984
5 KH Achmad Muhammad Hasan Siddiq 1984 1991
KH Ali Yafie (pjs) 1991 1992
6 KH Mohammad Ilyas Ruhiat 1992 1999
7 KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz 1999 sekarang

Basis pendukung

Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.

Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.

Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.

Tujuan

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[sunting] Usaha

1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.

Struktur

1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)

Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:

1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:

1. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Jaringan

Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:

* 33 Wilayah
* 439 Cabang
* 15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri
* 5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
* 47.125 Ranting

NU dan politik

Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.

NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.

Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.

Referensi

1. ^ Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009

[sunting] Pranala luar

* (id) Situs Resmi Nahdlatul Ulama
* (id) Abdurrahman Wahid

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama"

Kamis, 27 Mei 2010

40 Fakta Unik tentang Agama Islam

40 FAKTA UNIK TENTANG ISLAM
Bagikan
Hari ini jam 14:49

Sebagian orang masih banyak yang meragukan tentang kebenaran agama islam ini, tak kecuali adalah mereka yang telah mengaku sebagai muslim. Makanya perlu kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang hak dengan beberapa fakta dibawah ini :

1. Nama “Muhammad” adalah nama yang paling populer di seluruh dunia (walaupun salah mahomed..mohammed..dll) dan menempati urutan nomor dua di negara Inggris untuk nama bayi laki-laki ( urutan pertama ditempati oleh nama ‘Jack’ )

2. Albania merupakan negara satu-satunya di benua Eropa yang 90% penduduknya beragama Islam

3. Kata-kata berikut ini diserap dari bahasa Arab : Algebra, Zero, Cotton, Sofa, Rice, Candy, Safron, Balcony, bahkan ‘Alcohol’ juga berasal dari bahasa Arab, Al-Kuhl, yang mempunyai arti bubuk

4. Beberapa ayat di dalam Al-Qur’an menggambarkan pentingnya persamaan hak antara pria dan wanita ( secara perhitungan matematik ). Kata “Pria” dan “Wanita” di dalam Al-Qur’an sama-sama berjumlah 24

5. Tidak ada apa-apa di dalam Ka’bah

6. Islam merupakan agama yang pertumbuhannya paling cepat di dunia menurut banyak sumber, diperkirakan akan menjadi agama nomor 1 pada tahun 2030

7. Umat Hindu percaya bahwa di dalam Ka’Bah ada salah satu dari Tuhan mereka yang bernama ‘Shiva Lingam‘

8. Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji hanya 2 kali dalam hidupnya

9. Jikalau sekarang Al-Qur’an dihancurkan, maka versi arab dari Al-Qur’an akan segera di-recover oleh jutaan muslim, yang disebut Huffaz yang telah menghafalkan kata-kata di dalam Al-Qur’an dari mulai awal sampai dengan akhir ayat.

10. Nama original dari kota suci Madinah adalah “Yasthrib"

11. pemeluk Islam bertambah 2,9% per tahun. Pertumbuhan ini lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah penduduk bumi sendiri yang hanya 2,3% per tahun.

12. Berdasarkan data dari Departmen Pertahanan Amerika Serikat. Dari 1,4 juta prajurit di militer Amerika, diperkirakan ada sekitar 3.700 yang beragama Islam ( Muslim ).

13. islam menyebar ke bumi nusantara ketika Nabi Muhammad masi hidup

14. Sebanyak 8 juta orang Muslim yang kini ada di AS dan 20.000 orang AS masuk Islam setiap tahun setelah peristiwa 9/11

15. Jasad Nabi Muhammad pernah ingin dicuri 2 kali, namun kedua2nya gagal dan salah satu yang mencuri dihilangkan oleh Allah dari bumi

16. Jasad Firaun (Ramses II) yang tenggelam di laut merah, Baru ditemukan
oleh arkeolog Giovanni Battista Belzoni tahun 1817. setelah 3000 tahun berada di bawah tanah dan pasir

17. Al Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang bisa dihafal jutaan manusia (Hafidz/penghafal Al Qur’an) sehingga keaslian/kesuciannya selalu terjaga.

18. Jika agama lain bisa punya lebih dari 4 versi kitab suci yang berbeda satu dengan lainnya, maka Al Qur’an hanya ada satu dan tak ada pertentangan di dalamnya:

19. Para astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi yang berpusat di kota Mekah, tepatnya berasal dari Ka’Bah. Yang mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite ( tidak berujung ), radiasi tersebut menembus planet mars dan masih berlanjut. peneliti mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka’Bah di di planet Bumi dengan Ka’bah di alam akhirat.

20. Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa batu Hajar Aswad merupakan batu tertua di dunia dan juga bisa mengambang di air.

21. Shalat yang pertama dilakukan oleh Rasulallah Saw menghadap Masjidil Haram adalah shalat Ashar bersama para sahabat, setelah sebelumnya berkiblat ke Masjidil Baitul Maqdis selama enam belas bulan.

22. IBRAHIM adalah "Bapak" dari tiga agama besar, yakni "Judaisme", "Nasrani", dan "Islam".

23. Malaikat tidak terhitung jumlahnya dan hanya Allah yang mengetahuinya.

24. Islam, berarti "submisi" atau "menyerah" kepada satu Tuhan, Allah. "Islam" juga berasal dari kata "salam", "perdamaian" dan yang kedua dalam arti "berserah diri". demikian, arti dari "Islam" adalah "kedamaian yang sempurna yang datang bila kita hidup berserah diri kepada Allah".

25. Rasulullah pernah membelah bulan menjadi 2 bagian, dengan hanya menunjuk bulan dengan jarinya. diabadikan Allah dalam al-Qur'an surah Al-Qamar ayat 1: "Sungguh telah dekat hari qiamat, dan bulan pun telah terbelah."

26. sebelum Nabi Ibrahim menginjakkan kakinya ke tanah Makkah sudah ada bangunan Ka'bah yang telah dibangun oleh malaikat dan generasi
sebelum Nabi Ibrahim as. Hal itu dapat dipahami dari kata "Yarfa'u" meninggikan berarti meninggikan bangunan yang sudah ada.

27. Aliran sesat di Indonesia dalam rentangan waktu selama 6 tahun saja (2001 – 2006) telah mencapai angka 250 aliran.

28. Rasulullah menyebutkan ada 73 golongan dalam islam, dan hanya 1 yang akan masuk jannah yaitu "Al Jama’ah".

29. Nabi Muhammad tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis, namun ingatannya sangat kuat dan sangat cerdas.

30. kata2 terakhir Nabi Muhammad sebelum wafat adalah "Ummatii … ummatii … ummatii" yang mengungkapkan betapa besar cintanya kepada umatnya.

31. Selama 23 kali perang semasa Rasulullah memimpin, hanya sekali kekalahan yang di derita kaum muslimin, yakni, perang uhud

32. Musa A.S adalah nama yang paling sering disebut dalam Al-Qur'an, sedangkan maryam adalah satu2nya nama perempuan yang disebut dalam Al-Qur'an.

33. Al-Qur'an adalah buku terlaris di benua eropa.

34. Semua anak Nabi Muhammad, yakni, Al-Qasim,Abdullah dan Ibrahim, meninggal kurang lebih pada usia 2 tahun. Allah sengaja memanggil mereka lebih awal agar kaum muslimin tidak mengangkat mereka menjadi rasul yang baru.

35. Imam Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya orang yang pernah lahir di dalam Ka’bah.

36. Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, warnanya lebih putih daripada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adamlah yang menjadikannya hitam.

37. Al Khowarizmi (matematika), Jabir Ibn Hayyan (kimia), Ibnu Khaldun (sosiologi dan sejarah), Ibnu Sina (kedokteran), Ar Razi (kedokteran), Al Biruni (fisika), Ibnu Batutah (antropologi) adalah contoh dari ratusan cendikiawan muslim yang menjadi rujukan dalam ilmu pengetahuan modern.

38. Hijir Ismail ini dahulu merupakan tempat tinggal Nabi Ismail, disitulah Nabi Ismail tinggal semasa hidupnya dan kemudian menjadi kuburan beliau dan juga ibunya.

39. Maqom Ibrahim bukanlah kuburan Nabi Ibrahim sebagaimana dugaan atau pendapat sebagian orang. Maqom Ibrahim adalah batu pijakan pada saat Nabi Ibrahim membangun Ka'bah.

40. pasukan Salib datang ke Timur ketika Khalifah Bani Abbas berada dalam masa kemunduran. Tak diduga, banyak anggota pasukan Salib tertarik kepada Islam dan kemudian menggabungkan diri dengan pasukan Salib lainnya. Thomas Arnold, dalam Al Da'wah ila Al Islam, menyebutkan bahwa mereka masuk Islam setelah melihat kepahlawanan Salahuddin sebagai cerminan ajaran islam.


(source: http://isnanzinspiration.blogspot.com/)

Hukum e-Commerse

1. TRANSAKSI ELEKTRONIK

Kemajuan teknologi dan Informasi telah mengantarkan pada pola kehidupan umat manusia lebih mudah sehingga merubah pola interaksi antar anggota masyarakat. Pada era teknologi dan informasi ini, khususnya internet, seseorang dapat melakukan perubahan pola transaksi bisnis, baik berskala kecil mapun besar, yaitu perubahan dari paradigma bisnis konvensional menjadi paradigma bisnis elektronikal. Paradigma baru tersebut dikenal dengan istilaH Electronic Commerce, umumnya disingkat E-Commerce.

Kontrak elektronik adalah sebagai perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Maka jelas bahwa kontrak elektronikal tidak hanya dilakukan melalui internet semata, tetapi juga dapat dilakukan melalui medium faksimili, telegram, telex, internet, dan telepon. Kontrak elektronikal yang menggunakan media informasi dan komunikasi terkadang mengabaikan rukun jual-beli (ba’i), seperti shighat, ijab-qabul, dan syarat pembeli dan penjual yang harus cakap hukum. Bahkan dalam hal transaksi elektronikal ini belum diketahui tingkat keamanan proses transaksi, identifikasi pihak yang berkontrak, pembayaran dan ganti rugi akibat dari kerusakan. Bahkan akad nikah pun sekarang telah ada yang menggunakan fasilitas telepon atau Cybernet, seperti yang terjadi di Arab Saudi.

Pertanyaan:
- Bagaimana hukumnya transaksi via elektronik, seperti media telepon, e-mail atau Cybernet dalam akad jual beli dan nikah?
- Sahkah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang berada di majlis terpisah ?
- Mungkinkah dapat lakukan transaksi dengan cara pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan pemberian kuasa hukum (wakalah) kepada seseorang yang hadir di majlis tersebut?

Jawaban:
- Akad jual beli melalui alat elektronik hukumnya tafshil; (1) jika mabi’ (barang yang dijual)-nya sudah dilihat dengan jelas oleh kedua belah pihak sebelum melakukan transaksi maka hukumnya sah; (2) jika mabi’ belum dilihat dengan jelas maka hukumnya tidak sah, kecuali apabila mabi’ dijelaskan sifat dan jenisnya.
- Akad nikah melalui alat elektronik hukumnya tidak sah.

Pengambilan dalil dari:

- إعانة الطالبين ج: 3 ص: 9:(
الثاني: التلفظ - بحيث يسمعه من بقربه عادة، وإن لم يسمعه المخاطب - ويتصور وجود القبول منه مع عدم سماعه، بما إذا بلغه السامع فقبل فورا، أو حمل الريح إليه لفظ الايجاب فقبل كذلك، أو قبل اتفاقا - كما في البجيرمي، نقلا عن سم - فلو لم يسمعه من بقربه لم يصح.
- (حاشية الجمل:4/301
( قَوْلُهُ فَاعْتُبِرَ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ مِنْ اللَّفْظِ ) أَيْ أَوْ مَا فِي مَعْنَاهُ مِمَّا هُوَ عِبَارَةٌ عَنْهُ كَالْخَطِّ أَوْ قَائِمٍ مَقَامَهُ كَإِشَارَةِ الْأَخْرَسِ ا هـ .
- شرح الياقوت النفيس: 2 / 22
واما البيع والشراء بالمكاتبة والتوقيع عليهما وبواسطة وسائل الإتصال الحديثة كالتليفون والتلكس وغيرهما, فإن هذه الأجهزة أصبح جريان التعامل بواسطتها. وبواسطتها يتم البيع والشراء والتعامل داخل كل الدول. وقد أوضح الفقهاء الطرق المتعددة والمختلفة للتعبير عن إرادة كل من طرفي العقد بالقول الملفوظ او المكتوب وانعقاده بالإشارة. والعبرة في العقود لمعانيها لا لصور الألفاظ. تصح صيغة البيع بالمصادقة, إذا تصادق إثنان على صيغة فالعقد جائز لأنه تبين لهما القصد والإمضاء اصبح عرفا كاللفظ وعليه العمل واعتمده كثير من المحققين ويعملون به في وثيقة عقد النكاح وفي قسمة التركات وقد تصل رسالة موقعة من شخص معروف ينعى فيها وفاة شخص ما فيصادقون عليها, والكتابة مع النية والتوقع عليها معتمدة ولا يعتمد ولا يقبل قول القائل إننى لم اتلفظ ولم أنوي فهذا يعد من التلاعب بحقوق الناس والإساءة الى الإسلام انت كتبت ثم تقول ما نويت ولم اتلفظ. وعن البيع و الشراء بواسطة التليفون والتلكس والبرقيات, كل هذه الوسائل وأمثالها معتمدة اليوم وعليها العمل.

Tidak sahnya akad nikah melalui via elektronika:

- حاشية البجيرمي على الخطيب 10/148(:
قَوْلُهُ : ( وَالضَّبْطُ ) أَيْ لِأَلْفَاظِ وَلِيِّ الزَّوْجَةِ وَالزَّوْجِ ، فَلَا يَكْفِي سَمَاعُ أَلْفَاظِهِمَا فِي ظُلْمَةٍ ؛ لِأَنَّ الْأَصْوَاتَ تَشْتَبِهُ وَيَنْبَغِي لِلشَّاهِدَيْنِ ضَبْطُ سَاعَةِ الْعَقْدِ لِأَجْلِ لُحُوقِ الْوَلَدِ.
قَوْلُهُ : ( وَحُضُورِ شَاهِدَيْ عَدْلٍ ) إلى أن قال : وَيُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ مِنْ الشَّاهِدَيْنِ أَيْضًا السَّمْعُ وَالْبَصَرُ وَالضَّبْطُ وَمَعْرِفَةُ لِسَانِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ
- الشروانى شرح تحفة المختاج للشيخ المعروف بالشروانى ج 4 ص 221 ط/ دار احياء التراث العربي
( وينعقد ) البيع من غير السكران الذي لا يدري ; لأنه ليس من أهل النية على كلام يأتي فيه في الطلاق ( بالكناية ) مع النية مقترنة بنظير ما يأتي ثم والفرق بينهما فيه نظر ولا تغني عنها القرائن , وإن توفرت , وهي ما يحتمل البيع وغيره ( كجعلته لك ) أو خذه ما لم يقل بمثله , وإلا كان صريح قرض كما يأتي أو تسلمه , وإن لم يقل مني أو باعك الله أو سلطتك عليه وكذا بارك الله لك فيه في جواب بعنيه وليس منها أبحتكه ولو مع ذكر الثمن كما اقتضاه إطلاقهم ; لأنه صريح في الإباحة مجانا لا غير فذكر الثمن مناقض له وبه يفرق بينه وبين صراحة وهبتك هنا ; لأن الهبة قد تكون بثواب , وقد تكون مجانا فلم ينافها ذكر الثمن بخلاف الإباحة وإنما كان لفظ الرقبى والعمرى كناية بل صريحا عند بعضهم ; لأنه يرادف الهبة لكنه ينحط عنها بإيهامه المحذور المشعر به لفظه بخلاف الإباحة ( بكذا ) لا يشترط ذكره بل تكفي نيته على ما فيه مما بينته في شرح الإرشاد , وإنما انعقد بها مع النية ( في الأصح ) مع احتمالها قياسا على نحو الإجارة والخلع وذكر الثمن أو نيته بتقدير الاطلاع عليها منه يغلب على الظن إرادة البيع فلا يكون المتأخر من العاقدين قابلا ما لا يدريه ولا ينعقد بها بيع أو شراء وكيل لزمه إشهاد عليه بقول موكله له بع بشرط أو على أن تشهد بخلاف بع , وأشهد ما لم تتوفر القرائن المفيدة لغلبة الظن وفارق النكاح بأنه يحتاط له أكثر والكتابة لا على مائع أو هواء كناية فينعقد بها مع النية ولو لحاضر فليقبل فورا عند علمه ويمتد خيارهما لانقضاء مجلس قبوله . ( قوله : والكتابة إلخ ) ومثلها خبر السلك المحدث في هذه الأزمنة فالعقد به كناية فيما يظهر .

- حاشية البجيرامى على الخطيب ج 10 ص 146-147
وَعِبَارَةُ ع ش : أَمَّا إذَا فَهِمَهَا الْفَطِنُ دُونَ غَيْرِهِ سَاوَتْ الْكِنَايَةَ فَيَصِحُّ نِكَاحُهُ بِكُلٍّ مِنْهُمَا حَيْثُ تَعَذَّرَ تَوْكِيلُهُ ، وَلَيْسَ لَنَا نِكَاحٌ يَنْعَقِدُ بِالْكِنَايَةِ إلَّا بِالْكِتَابَةِ وَإِشَارَةِ الْأَخْرَسِ إذَا اخْتَصَّ بِفَهْمِهَا الْفَطِنُ ، وَمَفْهُومُهُ أَنَّهُ لَوْ أَمْكَنَهُ التَّوْكِيلُ بِالْكِتَابَةِ أَوْ الْإِشَارَةِ الَّتِي يَخْتَصُّ بِفَهْمِهَا الْفَطِنُ تَعَيَّنَ لِصِحَّةِ نِكَاحِهِ تَوْكِيلُهُ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ كِنَايَةً أَيْضًا فَهِيَ فِي التَّوْكِيلِ وَ


Sumber: muktamar.nu.or.id

Prinsip Adil Gender dalam Islam

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (An-Nisaa, 4:1)


Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat, 49:13)


Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl, 16:97)


dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah, 9:71)


Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-ahzab, 33:35)


Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (Al-Baqarah, 2:187)


bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (An-Nisaa, 4:21)


apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah, 2:232)


Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An-Nisaa: 4:19)


Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah, 2:233)


dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Ar-Rum, 30,21)

Rabu, 26 Mei 2010

Kepemimpinan Situasional

KEPEMIMPINAN SITUASIONAL adalah kepemimpinan yang didasarkan atas hubungan saling mempengaruhi antara;

1.

Tingkat bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin (prilaku tugas)
2.

Tingkat dukungan sosioemosional yang disajikan pemimpin (prilaku hubungan)
3.

Tingkat kesiapan yang diperlihatkan bawahan dalam melaksanakan tugas, fungsi atau tujuan tertentu (kematangan bawahan).

Untuk lebih mengerti secara mendalam tentang Kepemimpinan Situasional, perlu bagi kita mempertemukan antara Gaya Kepemimpinan dengan Kematangan Pengikut karena pada saat kita berusaha mempengaruhi orang lain, tugas kita adalah:

1.

Mendiagnosa tingkat kesiapan bawahan dalam tugas-tugas tertentu.
2.

Menunjukkan gaya kepemimpinan yang tepat untuk situasi tersebut.

Terdapat 4 gaya kepemimpinan yaitu:

1.

Memberitahukan, Menunjukkan, Memimpin, Menetapkan (TELLING-DIRECTING)
2.

Menjual, Menjelaskan, Memperjelas, Membujuk (SELLING-COACHING)
3.

Mengikutsertakan, memberi semangat, kerja sama (PARTICIPATING-SUPPORTING)
4.

Mendelegasikan, Pengamatan, Mengawasi, Penyelesaian (DELEGATING)


Menurut Hersey, Blanchard dan Natemeyer ada hubungan yang jelas antara level kematangan orang-orang dan atau kelompok dengan jenis sumber kuasa yang memiliki kemungkinan paling tinggi untuk menimbulkan kepatuhan pada orang-orang tersebut. Kepemimpinan situational memAndang kematangan sebagai kemampuan dan kemauan orang-orang atau kelompok untuk memikul tanggungjawab mengarahkan perilaku mereka sendiri dalam situasi tertentu. Maka, perlu ditekankan kembali bahwa kematangan merupakan konsep yang berkaitan dengan tugas tertentu dan bergantung pada hal-hal yang ingin dicapai pemimpin.

Menurut Paul Hersey dan Ken. Blanchard, seorang pemimpin harus memahami kematangan bawahannya sehingga dia akan tidak salah dalam menerapkan gaya kepemimpinan. Tingkat kematangan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1.

Tingkat kematangan M1 (Tidak mampu dan tidak ingin) maka gaya kepemimpinan yang diterapkan pemimpin untuk memimpin bawahan seperti ini adalah Gaya Telling (G1), yaitu dengan memberitahukan, menunjukkan, mengistruksikan secara spesifik.
2.

Tingkat kematangan M2 (tidak mampu tetapi mau), untuk menghadapi bawahan seperti ini maka gaya yang diterapkan adalah Gaya Selling/Coaching, yaitu dengan Menjual, Menjelaskan, Memperjelas, Membujuk.
3.

Tingkat kematangan M3 (mampu tetapi tidak mau/ragu-ragu) maka gaya pemimpin yang tepat untuk bawahan seperti ini adalah Gaya Partisipatif, yaitu Saling bertukar Ide & beri kesempatan untuk mengambil keputusan.
4.

Tingkat kematangan M4 (Mampu dan Mau) maka gaya kepemimpinan yang tepat adalah Delegating, mendelegasikan tugas dan wewenang dengan menerapkan system control yang baik.

Bagaimana cara kita memimpin haruslah dipengaruhi oleh kematangan orang yang kita pimpin supaya tenaga kepemimpinan kita efektif dan juga pencapaian hasil optimal.


Tidak banyak orang yang lahir sebagai pemimpin. Pemimpin lebih banyak ada dan handal karena dilatihkan. Artinya untuk menjadi pemimpin yang baik haruslah mengalami trial and error dalam menerapkan gaya kepemimpinan.

Pemimpin tidak akan pernah ada tanpa bawahan dan bawahan juga tidak akan ada tanpa pemimpin. Kedua komponen dalam organisasi ini merupakan sinergi dalam perusahaan dalam rangka mencapai tujuan. Paul Hersey dan Ken Blanchard telah mencoba melepar idenya tentang kepemimpinan situasional yang sangat praktis untuk diterapkan oleh pemimpin apa saja. Tentu masih banyak teori kepemimpinan lain yang baik untuk dipelajari. Dari Hersey dan Blanchard, orang tahu kalau untuk menjadi pemimpin tidaklah cukup hanya pintar dari segi kognitif saja tetapi lebih dari itu juga harus matang secara emosional. Pemimpin harus mengetahui atau mengenal bawahan, entah itu kematangan kecakapannya ataupun kemauan/kesediaannya.



Dengan mengenal type bawahan (kematangan dan kesediaan) maka seorang pemimpin akan dapat memakai gaya kepemimpinan yang sesuai. Sayangnya jaman sekarang banyak pemimpin yang suka main kuasa saja tanpa mempedulikan bawahan. Kalaupun mempedulikan bawahan itupun karena ada motif tertentu seperti nepotisme.***

Masalah MLM

RUMUSAN JAWABAN BAHTSUL MASAIL
MWC NU CISURUPAN

1. Masalah MLM ( multi level marketing)
MLM ( multi level marketing) hukumnya haram apabila:
a. Menjual produk dengan harga yang tidak wajar dan jauh lebih tinggi dari harga standar. Dihukumi haram karena pihak perusahaan telah menambahkan harga yang dibebankan kepada member sebagai sharing modal dalam akad syirkah, mengingat pembeli adalah termasuk member yang apabila ikut memasarkan maka akan mendapatkan keuntungan estafet. Dengan demikian maka system ini mengandung unsur kesamaran, karena tidak jelas apakah akad tersebut termasuk jual beli, syirkah atau mudharabah.
b. Calon anggota mendaftar ke perusahaan MLM dengan membayar sejumlah uang dan disyaratkan bahwa ia harus membeli produk untuk dijual kepada orang lain atau untuk konsumsi pribadi agar ia mendapatkan bonus. Dan apabila ia tidak dapat mencapai target tertentu maka keanggotaannya akan dicabut dan uangnya akan hangus. Hal ini menjadi haram karena ada unsur ghoror dan dhalim terhadap member.
c. Calon anggota mendaftar dengan membayar sejumlah uang tanpa ada keharusan untuk membeli produk atau menjualnya , dia hanya berkewajiban mencari anggota baru dengan cara seperti diatas, yakni membayar uang pendaftaran. Semakin banyak anggota, maka akan semakin banyak bonusnya. Ini adalah bentuk riba, karena menaruh uang di perusahaan tersebut lalu mendapat hasil yang lebih banyak.
d. Mirip dengan yang sebelumnya, yaitu perusahaan MLM yang melakukan kegiatan menjaring dana dari masyarakat untuk menanamkan modal disitu dengan janji akan meberikan bunga dan bonus dari modalnya. Ini adalah haram karena ada unsur riba.
e. Perusahaan MLM yang melakukan manipulasi dalam perdagangan produknya atau memaksa pembeli untuk mengkonsumsi produknya atau yang dijual adalah barang haram.


Referensi:
A. QS. Al-Baqarah: 188, 275, QS. Al-Imron: 130
B. Abu Bakr Ahmad bin al-Husain bi Ali al-Baihaqy; As-Sunan al-Kubra, V : 338, Majlis Dairah al-Ma’arif an-Nidzamiyyah, Haiderabad, India, cetakan pertama, tahun 1344 H
C. Abu al-Abbas Ahmad bin Idris as-Shonhaji al-Qarrafi, Al-Furuq ma’a hawamisyihi, III: 432-434, Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, tahun 1418 H
D. ‘Alaauddin Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al-Mirdawi, At-Tahbiir syarh at-tahriir, VII : 3448, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, tahun 1421 H
E. Abu al-Abbas Ahmad bin Abdil Halim, Al-Qawa’id an-Nuraniyyah, I : 116, Daar al-Ma’rifah, Beirut, tahun 1399 H


قوله: {ولا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ} الآية [البقرة: 188].

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُون (البقرة:275)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون (ال عمران:130)

As-Sunan al-Kubra lil-Baihaqi, V:338;
11164- وَأَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ أَخْبَرَنَا أَبُو جَعْفَرٍ الرَّزَّازُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ شَاكِرٍ حَدَّثَنَا قَبِيصَةٌ قَالَ حَدَّثَنِى سُفْيَانُ عَنِ ابْنِ أَبِى لَيْلَى عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ. حَدِيثُ أَبِى هُرَيْرَةَ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ كَمَا مَضَى.
Al-Furuq ma’a Hawamisyihi, III:434;
الفرق الثالث والتسعون والمائة بين قاعدة المجهول وقاعدة الغرر الغرر لغة قال القاضي عياض رحمه الله هو ما له ظاهر محبوب وباطن مكروه ولذلك سميت الدنيا متاع الغرور قال وقد يكون من الغرارة وهي الخديعة ومنه الرجل الغر بكسر الغيرة للخداع ويقال للمخدوع أيضا ومنه قوله عليه السلام المؤمن غر كريم ا هـ
والمجهول لغة ضد المعلوم كما في المختار والغرر اصطلاحا ما لا يدري هل يحصل أم لا جهلت صفته أم لا كالطير في الهواء والسمك في الماء والمجهول اصطلاحا ما علم حصوله وجهلت صفته كبيع الشخص ما في كمه فهو يحصل قطعا لكنه لا يدري أي شيء هو فكل واحد من الغرر والمجهول اصطلاحا أعم من الآخر من وجه وأخص من وجه فيجتمعان في نحو شراء العبد الآبق المجهول قبل إباقه صفته فهو مجهول الصفة وغرر لأنه لا يدري أيحصل أم لا ويوجد الغرر بدون الجهالة في نحو شراء العبد الآبق المعلوم قبل إباحة صفته فهو معلوم قبل الإباق لا جهالة فيه وهو غرر لأنه لا يدري هل يحصل أم لا وتوجد الجهالة بدون الغرر في نحو شراء حجر يراه لا يدري أهو زجاج أم ياقوت فمشاهدته تقتضي القطع بحصوله فلا غرر وعدم معرفته تقتضي الجهالة به نعم قد يتوسع العلماء فيهما فيستعملون أحدهما موضع الآخر نظرا إلى أن الغرر يوجد في المبيعات من جهة الجهل بأحد سبعة أشياء الأول الجهل بتعيين العقد أي الجهل بوجود المعقود به عليه كالآبق قبل الإباق والثاني الجهل بتعيين المعقود عليه كثوب من ثوبين مختلفين
At-tahbiir syarh at-tahriir, VII: 3448;
من طرد عن غرر فجاهل ، ومن مارس الشريعة واستجازه فهازىء بالشريعة
; Al-Qawaid an-nuraniyyah: I:116
ثم إن رسول الله صلى الله عليه وسلم فصل ما جمعه الله في كتابه فنهى صلى الله عليه وسلم عن بيع الغرر كما رواه مسلم و غيره عن أبي هريرة رضي الله عنه و الغرر هو المجهول العاقبة فإن بيعه من الميسر الذي هو القمار و ذلك أن العبد إذا أبق أو الفرس أو البعير إذا شرد فإن صاحبه إذا باعه فإنما يبيعه مخاطرة فيشتريه المشتري بدون ثمنه بكثير فإن حصل له قال البائع قمرتني و أخذت مالي بثمن قليل و إن لم يحصل قال المشتري قمرتني و أخذت الثمن مني بلا عوض فيفضي إلى مفسدة الميسر التي هي إيقاع العداوة و البغضاء مع ما فيه من أكل المال بالباطل الذي هو نوع من الظلم ففي بيع الغرر ظلم و عداوة و بغضاء
و ما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم من بيع حبل الحبلة و الملاقيح و المضامين و من بيع السنين و بيع الثمر قبل بدو صلاحه و بيع الملامسة و المنابذة و نحو ذلك كله من نوع الغرر و أما الربا فتحريمه في القرآن أشد و لهذا قال تعالى { يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وذروا ما بقي من الربا إن كنتم مؤمنين فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله } و ذكره النبي صلى الله عليه وسلم في الكبائر كما خرجاه في الصحيحين عن أبي هريرة رضي الله عنه و ذكر الله أنه حرم على الذين هادوا طيبات أحلت لهم بظلمهم و صدهم عن سبيل الله و أخذهم الربا و أكلهم أموال الناس بالباطل و أخبر سبحانه أنه يمحق الربا كما يربي الصدقات و كلاهما أمر مجرب عند الناس
Keterangan Tambahan
Adapun hal-hal yang bisa membuat sebuah transaksi bisnis menjadi haram adalah :
1. Riba
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata : “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu yang paling ringan adalah semacam dosa seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri” (HR. Ahmad 15/69/230, lihat Shahihul Jami 3375)
2. Ghoror
(Adanya Spekulasi yang tinggi) dan jahalah (adanya sesuatu yang tidak jelas).
“Dari Abu Hurairah radhiallhu anhu berkata : “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melarang jual beli ghoror”. (HR. Muslim 1513)
3. Penipuan
Dari Abu Hurairah radhiallhu anhu berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melewati seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu”. (HR. Muslim 1/99/102, Abu Dawud 3435, Ibnu Majah 2224)
4. Perjudian atau adu nasib
Firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib, adalah perbuatan syaithan maka jauhilah.” (QS. Al-Maaidah: 90)
5. Kedhaliman
Sebagaimana firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil…” (QS. An-Nisaa:29)
6. Yang dijual adalah barang haram
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallhu anhuma berkata :”Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu dawud 3477, Baihaqi 6/12 dengan sanad shahih).
(Keterangan tambahan dikutip dari www.geocities.com/abu_amman/MLM.htm), diakses pada hari Sabtu, 17 Oktober 2009, jam 19.00 WIB
2. Masalah MLM Haji (PT. MPM)

Masalah ini tidak jelas status akadnya. Oleh karena itu sangat besar kemungkinan di dalamnya terdapat unsur gharar dan bathil bahkan riba. Maka dari itu hukumnya haram seperti telah dikemukakan dalil-dalilnya dalam masalah yang pertama. Masalah ini dapat dikategorikan ke dalam system MLM poin C yang telah diuraikan diatas yang tidak bisa lepas dari unsur riba.

Referensi: sama dengan masalah pertama

3. Masalah mengakhirkan penguburan jenazah

a. Hukum mengakhirkan penguburan janazah untuk kepentingan otopsi, studi atau mensucikan mayit adalah boleh / mubah selama jasad mayit tersebut dapat terjaga dengan baik dan terjaga pula kehormatannya. untuk itu penggunaan zat pengawet menjadi suatu keniscayaan (wajib).

b. Mengenai lama batasan pengakhirannya maka tidak ada batas tertentu, artinya batasnya adalah sampai kepentingan itu dapat tercapai secara sempurna

c. Masalah membedah jenazah untuk kepentingan otopsi atau studi adalah boleh. ‘illatnya adalah dlarurat.

Referensi:
- Ibnu Hajar al-Haitsami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, II : 2, Daar al-fikr, Beirut, tanpa tahun.
- Zakaria bin Ghulam Qadir al-bakistani, Ushul al-fiqh ‘ala manhaj ahl-al-hadits, Daar el-harraaz, Jiddah, cetakan pertama 1423 H

al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, II : 2;
بَابُ الْجَنَائِزِ وَسُئِلَ رضي اللَّهُ عنه وَأَفَاضَ عَلَيْنَا من مَدَدِهِ ما قَوْلُكُمْ فِيمَا أَفْتَى بِهِ شَيْخُنَا الْوَالِدُ من أَنَّهُ لَا يُؤَخَّرُ تَجْهِيزُ الْمَيِّتِ لِأَجْلِ تَحْصِيلِ الْكَافُورِ زَمَنًا لَا يَتَغَيَّرُ فيه الْمَيِّتُ قَبْلَهُ فإنه وَقَعَ عِنْدِي في ذلك شَيْءٌ بِمَسْأَلَةِ نَقْلِ الْمَيِّتِ فَأَجَابَ نَفَعَنَا اللَّهُ بِهِ وَبِعُلُومِهِ بِأَنَّ الذي يَتَّجِهُ أَنَّ الْأَفْضَلَ تَأْخِيرُ الْمَيِّتِ تَأْخِيرًا يَسِيرًا لَا يُخْشَى منه تَغَيُّرٌ بِوَجْهٍ لِأَجْلِ تَحْصِيلِ الْكَافُورِ لِأَنَّ كَلَامَهُمْ في بَابِ الْجَنَائِزِ نَاطِقٌ بِأَنَّ الْأَوْلَى فِعْلُ الْأَفْضَلِ بِهِ وَإِنْ أَدَّى رِعَايَةُ ذلك الْأَفْضَلِ إلَى تَأْخِيرٍ أَلَا تَرَى أَنَّ أَقَلَّ الْغُسْلِ يَحْصُلُ بِإِفَاضَةِ الْمَاءِ على جَمِيعِ الْبَدَنِ وَمَعَ ذلك قالوا الْأَوْلَى رِعَايَةُ أَكْمَلِ الْغُسْلِ مع أَنَّ الْأَكْمَلَ الذي ذَكَرُوهُ يَسْتَدْعِي زَمَنًا طَوِيلًا ولم يَنْظُرُوا لِذَلِكَ وَكَذَلِكَ قالوا الْأَوْلَى إفْرَادُ كل مَيِّتٍ بِالصَّلَاةِ عليه ولم يَنْظُرُوا إلَى جَمْعِ الْمَوْتَى في صَلَاةٍ وَاحِدَةٍ وَكَذَلِكَ قالوا نَخْتَارُ نَقْلَ الْمَيِّتِ إلَى نَحْوِ مَكَّةَ إنْ لم يَتَغَيَّرْ قَبْلَهُ ولم يُرَاعُوا طُولَ زَمَنِ تَأْخِيرِ دَفْنِهِ لِتِلْكَ الْمَصْلَحَةِ الْعَائِدَةِ عليه وَنَظَائِرُ ذلك كَثِيرَةٌ في كَلَامِهِمْ على أَنَّ لنا قَوْلًا أو وَجْهًا قَوَّاهُ بَعْضُهُمْ أَنَّ الْكَافُورَ وَاجِبٌ وَحِينَئِذٍ فَيَتَأَكَّدُ رِعَايَةُ تَحْصِيلِهِ وَإِنْ أَدَّى إلَى تَأْخِيرٍ كما مَرَّ خُرُوجًا من خِلَافِ من قال بِوُجُوبِهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Ushul al-fiqh ‘ala manhaj ahl-al-hadits, I : 134;
القاعدة الثامنة : الضرورات تبيح المحظورات :
قال الله تعالى في كتابه الكريم : {وقَدْ فصَّل لَكُمْ ماحَرَّمَ عليْكُم إلا ما اضْطررْتُمْ إليْهِ } [ الأنعام : 119 ] .
قال ابن كثير في تفسير هذه الآية ( 2/174 ) : أي قد بين لكم ما حرم عليكم ووضحه { إلا ما اضررتم إليه } [ الأنعام : 119 ] أي إلا في حال الاضطرار فإنه يباح لكم ما وجدتم . انتهى .
وقال تعالى في كتابه الكريم : { فمَنِ اضطرَّ غَيرَ باغٍ ولا عَادٍ فَلا إثْمَ عليهِ إنَّ الله غَفُورٌ رَحِيمٌ }[ البقرة : 173 ] .
قال ابن كثير في تفسيره ( 1/195 ) : أي في غير بغي ولا عدوان وهو مجاوزة الحد فلا إثم عليه أي في أكل ذلك .
قال الشافعي في الأم ( 4/362 ) : كل ما أحل من حرم في معنى لا يحل إلا في ذلك المعنى خاصة ، فإذا زايل ذلك المعنى عاد إلى أصل التحريم مثلاً : الميتة المحرمة في الأصل المحلة للمضطر ، فإذا زالت الضرورة عادت إلى أصل التحريم . انتهى .


4. Masalah penukaran uang pecahan

a. Menukarkan uang pecahan besar dengan uang pecahan kecil dengan pembayaran yang dilebihkan dari salah satu pihak hukumnya haram, karena termasuk riba.
b. Hukum memperdagangkan mata uang untuk kepentingan bisnis adalah boleh selama didalamnya tidak terdapat unsur riba
c. Mengambil keuntungan dari jasa penukaran uang hukumnya boleh apabila di dalamnya tidak terdapat unsur riba, dan haram apabila di dalamnya terdapat unsur riba.

Referensi:
a. Abu bakr bin Muhammad Syattha ad-Dimyathi, I’anah at-thalibin, III : 21 , Daar el-fikr, Beirut, tanpa tahun.
( تنبيه ) قال في المغني بيع النقد بالنقد من جنسه وغيره يسمى صرفا ويصح على معينين بالإجماع كبعتك أو صارفتك هذه الدنانير بهذه الدراهم وعلى موصوفين على المشهور كقوله بعتك أو صارفتك دينارا صفته كذا في ذمتي بعشرين درهما من الضرب الفلاني في ذمتك
ولو أطلق فقال صارفتك على دينار بعشرين درهما وكان هناك نقد واحد لا يختلف أو نقود مختلفة إلا أن أحدها أغلب صح ونزل الإطلاق عليه ثم يعينان ويتقابضان قبل التفرق
ويصح أيضا على معين بموصوف كبعتك هذا الدينار بعشرة دراهم في ذمتك ولا يصح على دينين كبعتك الدينار الذي في ذمتك بالعشرة التي لك في ذمتي لأن ذلك بيع دين بدين

5. Masalah mencampurkan jenazah muslim dan non muslim dalam satu kuburan

a. Hukum mencampurkan jenazah baru dengan yang sudah hancur dalam satu kuburan adalah boleh apabila keadaan sangat mendesak dan seagama. Adapun yang berbeda agama maka hukumnya haram.
b. Hukum mengumpulkan kuburan jenazah muslim dengan non muslim dalam satu area pekuburan adalah haram, terkecuali ada batasan yang jelas.
c. Adapun dhawabith berkumpul atau tidak berkumpul satu lubang

Referensi:
- Ibnu Hajar al-Haitsami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, II : 14, Daar al-fikr, Beirut, tanpa tahun.
Adam lali tapel, poho ka baraya.
Adat kakurung ku iga, tabe’at mah hese dipiceunna (dirobahna).
Adean ku kuda beureum, ginding ku barang beunang nginjeum.
Titirah ngadon kanceuh, neangan kasenangan, tapi malah meunang kasusah.
Ngadu-ngadu rajawisuna, ngahudang amarah dua jelema sina bengkah.
Agul ku payung butut, tumerap ka jalma taya kaboga, tapi mindeng nyaritakeun yen manehna turunan menak baheula.
Ulah ieu aing uyah kidul, asa jadi pangpunjulna.
Landung kandungan laer aisan, gede timbangan.
Elmu ajug, tumerap ka jalma nu bisa mapatahan kahadean ka batur, tapi manehna sorangan teu ngajalankeun papatahna.
Ngajul bentang ku asiwung, hal anu pamohalan bisa kalaksanakeun.
Tikoro andon peso, nyampeurkeun nu rek ngahukum atawa nu rek nangkep.
Ari umur tunggang gunung, angen-angen pecat sawed, ari umur geus kolot, kahayang cara nu ngora.
Ngeunah angen ngeunah angeun, pamajikan satia, ngeunah pasakanana, cukup dahareun tur taya kasusah.
Diangeun careuhkeun, diantep henteu didahar.
Neukteuk mere anggeus, mutuskeun hubungan.
Ngimpi ge diangir mandi, bararaid teuing.
Anu burung diangklungan, anu gelo didogdogan, anu edan dikendangan, anu gedebul dihaminan supaya tambah maceuh.
Ngadu angklung, parebut omong, hayang paunggul-unggul.
Elmu angklung, joledar, nukang nonggong ka kolot.
Anjing ngagogogan kalong, mikahayang nu pamohalan.
Kawas anjing tutung buntut, berebet ka ditu berebet ka dieu kawas nu samar rasa.
Nulungan anjing kadempet, nu asih dipulang sengit.
Anjing nyampeurkeun paneunggeul, nyampeurkeun nu rek mahala.
Paanteur-anteur julang, nu tas nganteurkeun dianteurkeun deui ku nu dianteurkeun.
Sapi anut ka banteng, awewe ngawula ka salaki.
Ngaliarkeun taleus ateul, nyebarkeun kagorengan batur.
Ngawur kasintu nyieuhkeun hayam, berehan ka deungeun-deungeun, ari ka baraya kakad-keked.
Dikungkung teu diawur, dicangcang teu diparaban, ditambang, ditalak henteu, dinapkahan henteu.
Kawas badak Cihea, dilarapkeun ka jelema nu leumpang noyod kawas nu degig.
Balung kulit kolot meuting, henteu beresih pisan hatena, masih keneh ngunek-ngunek.
Marebutkeun balung tanpa eusi, madukeun perkara nu teu aya hasilna.
Banda tatalang raga, leuwih hade ngorbankeun banda, batan cilaka awak.
Banda sasampiran, nyawa gagaduhan, boh banda boh nyawa Pangeran nu kagungan.
Batok bulu eusi madu, goreng rupa atawa euweuh tagog, tapi pinter jeung bageur.
Saherang-herangna cibeas, saberesih-beresihna hate nu dinyenyeri, moal beresih pisan.
Bebek ngoyor di sagara, rek nginum neangan cai, lubak-libuk tapi teu bisa make, da lain hakna.
Meber-meber totopong heureut, ngajeujeuhkeun rejeki saeutik supaya mahi.
Ngijing sila bengkok sembah, teu satia ka dunungan.
Ngadagoan belut sisitan, oray jangjangan, moal kaalaman, mustahil kajadian.
Bengkung ngariung, bongkok ngaronyok, kajeun hirup ripuh, asal tetep teu pajauh jeung anak incu.
Bentik curuk balas nunjuk, capetang balas miwarang, ngan bisa marentah atawa nitah wungkul, henteu prak digawe ku sorangan.
Nyanggakeun beuheung teukteukeun, suku genteng belokeun, masrahkeun diri lantaran rumasa salah.
Mindingan beungeut ku saweuy, api-api teu nenjo kasalahan bawahan atawa rayat lantaran teu mampuh ngayakeun tindakan saperluna.
Ati mungkir beungeut nyanghareup, henteu terus jeung hate.
Bilatung ninggang dage, dilarapkeun ka jalma teu jujur nu kabeneran meunang kedudukan atawa kasempetan anu nguntungkeun pikeun manehna.
Sabobot sapihanean, sabata sarimbagan, lulus runtut sakasuka sakaduka.
Nu borok dirorojok, nu titeuleum disimbeuhan, nu keur susah dipupuas, atawa ditambahan kasusahanana.
Legeg lebe, budi santri, ari lampah euwah-euwah, jalma jahat nu bisa nipu ku tindak-tanduk anu sopan.
Nimu luang tina burang, meunang luang lantaran kungsi cilaka.
Lauk buruk milu mijah, piritan milu endogan, pipilueun nyarita atawa ilubiung kana sarupaning urusan, padahal lain ahlina.
Seuneu hurung cai caah ulah disorang, jelema nu keur napsu atawa amarah ulah diheureuyan.
Gede cahak manan cohok, gede keneh kahayang manna panghasilan.
Ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak, layeut, runtut raut silih ayunkeun.
Kawas cai dina daun taleus, euweuh tapakna (nasehat atawa papatah).
Alak-alak cumampaka, niru-niru atawa mapadani saluhureun.
Tunggul dirarud catang dirumpak, ngalajur napsu taya nu dihiding.
Cecendet mande kiara, jalma leutik hayang mapadani nu beunghar atawa nu gede pangaruhna.
Ngadek sacekna, nilas saplasna, satarabasna, henteu direka.
Maut nyere ka congona, asal beunghar (lubak-libuk), beuki kolot beuki kokoro.
Congo-congo ku amis, mun rek amis oge puhuna. Anak-anakna ku bageur, bapana oge henteu.
Cukup belengur baraganaya, resep mere kabatur bari teu ngingetkeun kaperluan sorangan.
Cul dogdog tinggal igel, ninggalkeun gawe baku, ngalampahkeun pagawean nu taya hasilna.
Dogong-dogong tulak cau geus gede dituar batur, ngamumule lanjang pipamajikaneun, ari geus meujeuhna kawin kop ku batur.
Ngeundeuk-ngeundeuk geusan eunteup, neangan akal pikeun nyilakakeun dunungan.
Piit ngeundeuk-ngeundeuk pasir, mikahayang anu teu layak pikeun dirina.
Nangkeup mawa eunyeuh, mawa susah atawa mawa cilaka ka nu dipentaan tulung.
Batok bulu eusi madu, jalma nu teu boga rupa teu boga tagog, tapi sihoreng loba elmuna sarta alus budina.


source: ika-sunda 2002.blogspot.com

Pupujian Basa Sunda

Gusti urang sadayana
Kangjeng Nabi anu mulya
Muhammad jenenganana
Arab Qurés nya bangsana

Ibuna Siti Aminah
ramana Sayid Abdullah
dibabarkeuna di Mekah
wengi Senén dinten Gajah

Rabi’ul Awal sasihna
tanggal kaduabelasna
April bulan Maséhina
tanggal kaduapuluhna

Ari bilangan tauna
lima ratus cariosna
tujuh puluh panambihna
sareng sahiji punjulna

Siti Aminah misaur
waktos babarna kacatur
ningal cahya mani ngempur
di bumina hurung mancur

Babar taya kokotoran
orok lir kénging nyepitan
soca lir kénging nyipatan
sarta harum seuseungitan

Keur opat taun yuswana
diberesihan manahna
Nabi dibeulah dadana
Malaikat nu meulahna

Jibril kadua réncangna
Mikail jenenganana
ngeusikeun kana manahna
élmu hikmat sapinuhna

Tuluy dada Kangjeng Nabi
gancang dirapetkeun deui
sarta teu ngaraos nyeri
dilap ku hotaman nabi

Nuju tanggal tujuh likur
bulan Rajab nu kacatur
nurut kaol anu mashur
Kangjeng Nabi téh disaur

Dipapag ku Malaikat
nyandak burok nu kasebat
leumpangna téh cara kilat
tungganganeun Nabi angkat

Ti Mekah ka Bétal Makdis
teu nganggo lami antawis
ku jalma henteu katawis
kersana Gusti nu wacis

Ti Bétal Makdis terasna
naék na tangga kancana
mi’raj téa kasebatna
ka langit Nabi sumpingna

Tujuh langit sadayana
jeung Arasy nu pangluhurna
disumpingan sadayana
katut surga narakana

Kangjeng Nabi ditimbalan
ku Gusti nu sifat Rahman
anjeuna kudu netepan
salat muji ka Pangéran

Kabéh jalma anu iman
sami pada kawajiban
salat nu lima giliran
henteu meunang dikurangan

Salat éta minangkana
dina agama tihangna
jalma nu luput salatna
nyata rubuh agamana

ÉLING-ÉLING DULUR KABÉH

Éling-éling dulur kabéh
ibadah ulah campoléh
beurang peting ulah weléh
bisina kaburu paéh

Sabab urang bakal mati
nyawa dipundut ku Gusti
najan raja nyakrawati
teu bisa nyingkiran pati

Karasana keur sakarat
nyerina kaliwat-liwat
kana ibadah diliwat
tara ngalakukeun solat

Kaduhung liwat kalangkung
tara nyembah ka Yang Agung
sakarat nyeri kalangkung
jasadna teu beunang embung




Sumber: BUKU PUPUJIAN SUNDA

Firqah Dalam islam

Firqah Dalam Islam
Oleh: KH Tolchah Hasan



Imam Turmudzi, Abu Dawud dan Ibn Majah, masing-masing dalam kitab Sunan-nya meriwayatkan hadits tentang penggolongan umat Islam menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan atau firqoh, dan hanya satu golongan di antaranya yang selamat dari ancaman siksa neraka, yaitu golongan yang konsisten pada ajaran Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya (Jama’ah) atau yang kemudian disebut dengan sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429 H/1037 M) sebagaimana disebut dalam karya monumentalnya, Al-Farq bainal-Firaq hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa sumber sanad, antara lain; Anas bin Malik, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin ‘Amr, Abu Umamah dan Watsilah bin al-Asqa.

Respon para ulama kalam terhadap hadits tersebut ternyata tidak sama. Setidaknya, ada tiga macam respon yang diberikan;
Pertama, hadits-hadits tersebut digunakan sebagai pijakan yang dinilainya cukup kuat untuk menggolongkan umat Islam menjadi 73 firqah, dan di antaranya hanya satu golongan yang selamat dari neraka, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah. Di antara kelompok ini antara lain; Imam Abdul Qahir al-Baghdadi (Al-Farq bainal-Firaq), Imam Abu al-Muzhaffar al-Isfarayini (at-Tabshir fid Din), Abu al-Ma’ali Muhammad Husain al-‘Alawi (Bayan al-Adyan), Adludin Abdurrahman al-Aiji (al-Aqa’id al-Adliyah) dan Muhammad bin Abdulkarim asy-Syahrastani (al-Milal wan Nihal). Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (vol-3) menilai bahwa hadits tersebut dapat diakui kesasihannya.
Kedua, hadits-hadits tersebut tidak digunakan sebagai rujukan penggolongan umat Islam, tetapi juga tidak dinyatakan penolakannya atas hadits tersebut. Di antara mereka itu, antara lain; Imam Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari (Maqalatul Islamiyyin wa ikhtilaful Mushollin) dan Imam Abu Abdillah Fakhruddin ar-Razi (I’tiqadat firaqil Muslimin wal Musyrikin). Kedua pakar ilmu kalam ini telah menulis karya ilmiahnya, tanpa menyebut-nyebut hadits-hadits tentang Iftiraq al-Ummah tersebut. Padahal al-Asy’ari disebut sebagai pelopor Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ketiga, hadits Iftiraqul Ummah tersebut dinilai sebagai hadits dla’if (lemah), sehingga tidak dapat dijadikan rujukan. Di antara mereka adalah Ali bin Ahmad bin Hazm adh-Dhahiri, (Ibn Hazm, al-Fishal fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal).
Pengertian firqah atau golongan dalam hadits tersebut, oleh para ulama dan para ahli tersebut, berkaitan dengan Ushuluddin (masalah-masalah agama yang fundamental dan prinsipil), bukan masalah furu’iyyah atau fiqhiyyah yang berkaitan dengan hokum-hukum amaliyah atau yang kerap disebut sebagai masalah khilafiyah, semacam qunut shalat subuh, jumlah raka’at tarawih, ziarah kubur, dan lain-lain.
Syeikh Muhammad Muhyiddin Abdul-Hamid, seorang ulama’ yang banyak men-tahqiq karya-karya unggulan dalam ilmu kalam, seperti karya Imam al-Asy’ari, al-Baghdadi di atas, menyatakan kesulitannya untuk memperoleh hitungan yang valid terhadap firqoh-firqoh baru, seperti Ahmadiyah dan lain-lain.
Demikian itulah masalah yang muncul dari hadits 73 firqoh. Selain itu, ada masalah-masalah lain yang masih memerlukan studi lebih lanjut yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyyah dan diniyyah, seperti; apa yang dijadikan parameter untuk menentukan suatu kelompok umat ini menjadi firqah tertentu yang mandiri yang berbeda statusnya dari kelompok lain. Lalu, apa sebetulnya yang paling banyak menjadi pemicu timbulnya firqah-firqah tersebut?
Terakhir, sejauhmana peran realitas historis dan kultural dalam mempengaruhi perjalanan dan dinamika firqah-firqah tersebut. Tentu saja, masih banyak lagi yang perlu dikaji lebih lanjut.

Pendapat para ulama mazhab tentang hukum merokok

قلت: وألف في حله أيضا سيدنا العارف عبد الغني النابلسي رسالة سماها الصلح بين الاخوان في إباحة شرب الدخان وتعرض له في كثير من تآليفه الحسان، وأقام الطامة الكبرى على القائل بالحرمة أو بالكراهة، فإنهما حكمان شرعيان لا بد لهما من دليل ولا دليل على ذلك، فإنه لم يثبت إسكاره ولا تفتيره ولا إضراره، بل ثبت له منافع، فهو داخل تحت قاعدة الاصل في الاشياء الاباحة، وأن فرض إضراره للبعض لا يلزم منه تحريمه على كل أحد، فإن العسل يضر بأصحاب الصفراء الغالبة، وربما أمرضهم مع أنه شفاء بالنص القطعي، وليس الاحتياط في الافتراء على الله تعالى بإثبا ت الحرمة أو الكراهة اللذين لا بد لهما من دليل، بل في القول بالاباحة التي هي الاصل.
وقد توقف النبي صلى الله عليه وآله مع أنه هو المشرع في تحريم الخمر أم الخبائث حتى نزل عليه النص القطعي، فالذي ينبغي للانسان إذا سئل عنه سواء كان ممن يتعاطاه أو لا كهذا العبد الضعيف وجميع من في بيته أن يقول هو مباح، لكن رائحته تستكرهها الطباع، فهو مكروه طبعا لا شرعا إلى آخر ما أطال به رحمه الله تعالى، وهذا الذي يعطيه كلام الشارح هنا حيث أعقب كلام شيخه النجم بكلام الاشباه وبكلام شيخه العمادي وإن كان في الدر المنتقى جزم بالحرمة، لكن لا لذاته بل لورود النهي السلطاني عن استعماله ويأتي الكلام فيه.
) رد المختار ج:27 ص: 226)

وَقَالَ شَيْخُنَا الْبَابِلِيُّ شُرْبُهُ حَلَالٌ وَحُرْمَتُهُ لَا لِذَاتِهِ بَلْ لِأَمْرٍ طَارِئٍ ، وَقَالَ شَيْخُنَا س ل لَيْسَ بِحَرَامٍ وَلَا مَكْرُوهٍ وَأَقَرَّهُ شَيْخُنَا الشبراملسي ا هـ بِرْمَاوِيٌّ .
(حاشية الجمل ج:2 ص: 116)

وَحَاصِلُهُ أَنَّهُ إذَا أَمَرَ بِوَاجِبٍ تَأَكَّدَ وُجُوبُهُ ، وَإِنْ أَمَرَ بِمَنْدُوبٍ وَجَبَ ، وَإِنْ أَمَرَ بِمُبَاحٍ فَإِنْ كَانَ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ كَتَرْكِ شُرْبِ الدُّخَانِ وَجَبَ ، بِخِلَافِ مَا إذَا أَمَرَ بِمُحَرَّمٍ أَوْ مَكْرُوهٍ أَوْ مُبَاحٍ لَا مَصْلَحَةَ فِيهِ عَامَّةً م د
(حاشية البجيرمي على الخطيب ج:5 ص:475)
فيجب عليهم طاعته فيما ليس بحرام ولا مكروه ومن مسنون وكذا مباح إن كان فيه مصلحة عامة والواجب يتأكد وجوبه بأمره به ومن هنا يعلم أنه إذا نادى بعدم شرب الدخان المعروف الآن وجب عليهم طاعته وقد وقع سابقا من نائب السلطان أنه نادى في مصر على عدم شربه في الطرق والقهاوي فخلف الناس أمره فهم عصاة إلى الآن إلا من شربه في البيت فليس بعاص لانه لم يناد على عدم شربه في البيت أيضا
( حواشي الشرواني ج:3 ص:69 * تحفة المحتاج ج:10 ص:271)

وَأَفْتَى جَمْعٌ مِنْ أَئِمَّةِ كُلِّ مَذْهَبٍ بِالْإِبَاحَةِ مِنْهُمْ الشَّيْخُ عَبْدُ الْغَنِيِّ النَّابُلُسِيُّ وَحَاصِلُ كَلَامِهِ أَنَّهَا مِمَّا سَكَتَ عَنْهُ الْمَوْلَى فِي كِتَابِهِ فَهِيَ مِمَّا عَفَا اللَّهُ عَنْهُ لِحَدِيثِ التِّرْمِذِيِّ وَابْنِ مَاجَهْ { الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ الْعَزِيزِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ رَحْمَةً بِكُمْ فَهُوَ مِمَّا عَفَا اللَّهُ عَنْهُ } قَالَ الْمُنَاوِيُّ فِي شَرْحِ قَوْلِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ أَيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَى حِلِّهِ وَلَا حُرْمَتِهِ نَصًّا جَلِيًّا وَلَا خَفِيًّا فَهُوَ مِمَّا عُفِيَ عَنْهُ فَيَحِلُّ تَنَاوُلُهُ مَا لَمْ يَرِدْ النَّهْيُ عَنْهُ .
وَأَلَّفَ الشَّيْخُ عَلِيُّ الْأُجْهُورِيُّ تَأْلِيفًا سَمَّاهُ غَايَةَ الْبَيَانِ لِحِلِّ مَا لَا يُغِيبُ الْعَقْلَ مِنْ الدُّخَّانِ حَاصِلُهُ أَنَّ الْفُتُورَ الَّذِي يَحْصُلُ لِمُبْتَدِئِ شُرْبِهِ لَيْسَ مِنْ تَغْيِيبِ الْعَقْلِ فِي شَيْءٍ وَإِنْ سَلِمَ أَنَّهُ مِمَّا يُغَيِّبُ الْعَقْلَ فَلَيْسَ مِنْ الْمُسْكِرِ قَطْعًا لِأَنَّ الْمُسْكِرَ مَعَ نَشْوَةٍ وَفَرَحٍ كَمَا تَقَرَّرَ وَطَابَةُ لَيْسَ كَذَلِكَ وَحِينَئِذٍ فَيَجُوزُ اسْتِعْمَالُهَا لِمَنْ لَا يُغَيِّبُ عَقْلَهُ كَاسْتِعْمَالِ الْأَفْيُونِ لِمَنْ لَا يُغَيِّبُ عَقْلَهُ وَهَذَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَمْزِجَةِ وَالْقِلَّةِ وَالْكَثْرَةِ فَقَدْ يُغَيِّبُ عَقْلَ شَخْصٍ وَلَا يُغَيِّبُ عَقْلَ آخَرَ وَقَدْ يُغَيِّبُ مِنْ اسْتِعْمَالِ الْكَثِيرِ دُونَ الْقَلِيلِ وَنَظْمُهُ مِنْ الشَّكْلِ الْأَوَّلِ أَنْ تَقُولَ شُرْبُ الدُّخَانِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَذْكُورِ لَا يُغَيِّبُ الْعَقْل مَعَ نَشْوَةٍ وَفَرَحٍ وَكُلُّ مَا كَانَ كَذَلِكَ لَا يَحْرُمُ اسْتِعْمَالُ الْقَدْرِ الَّذِي لَا يُغَيِّبُ الْعَقْلَ مِنْهُ لِذَاتِهِ وَالصُّغْرَى مِنْ الْوِجْدَانِيَّاتِ أَوْ الْمُشَاهَدَاتِ وَدَلِيلُ الْكُبْرَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ الْفَرْقِ بَيْنَ الْمُسْكِرِ وَالْمُفْسِدِ وَنَجَاسَتُهَا لِبَلِّهَا بِالْخَمْرِ إنْ تَحَقَّقَتْ فَحُرْمَتُهَا لِعَارِضٍ لَا لِذَاتِهَا وَإِنْ لَمْ تَتَحَقَّقْ فَالْأَصْلُ الطَّهَارَةُ وَهَذَا عَلَى فَرْضِ صِحَّتِهِ
(انوار البروق فى انواع الفروق ج: 1 ص: 361 )

BM DINIYAH QANUNIYAH MUKTAMAR NU KE-32

ASKAH RANCANGAN KEPUTUSAN

KOMISI BAHSUL MASAIL DINIYAH QANUNIYAH


MUKTAMAR KE-32 NAHDLATUL ULAMA DI MAKASSAR

TANGGAL 22 - 27 MARET 2010



KATA PENGANTAR

Ucapan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT dan salawat beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW atas selesainya pembuatan draft laporan hasil kerja Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah yang diamanahkan Panitia Besar kepada kami. Bersama seluruh anggota Tim, kami telah melakukan berbagai pertemuan untuk membahas draft laporan yang diawali dengan proses identifikasi berbagai persoalan ketatanegaraan yang perlu dibahas karena dipandang baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kepentingan jamaah Nahdlatul Ulama. Selanjutnya, masing-masing anggota Tim memperoleh penugasan untuk mencermati berbagai ketentuan perundang-undangan baik yang sudah menjadi Undang-Undang maupun yang masih dalam tahap Rancangan Undang Undang. Selain dari itu, dengan mempertimbangkan untuk kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia, komisi juga memandang perlunya dipertimbangkan untuk penyusunan sebuah undang undang yang berkaitan dengan Perlindungan Kehidupan Beragama guna menghindarkan terjadinya konflik antar umat beragama.

Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah adalah komisi yang baru dibentuk pada Muktamar ke 32 ini sebagai pengembangan dari Komisi Bahsul Masail Diniah Waqi’iyah dan Komisi Bahsul Masail Diniah Maudu’iyah yang diharapkan menjadi tempat untuk melakukan pembahasan terhadap berbagai persoalan ketatanegaraan yang dipandang penting untuk kemaslahatan warga NU maupun bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Berkenaan dengan itu maka Komisi Bahsul Masail Diniah Qanuniyyah menyampaikan Draft Rumusan Keputusan Bahtsul Masail Diniyah Qonuniyah kepada peserta Muktamar NU ke 32 di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Draft ini telah dibahas dalam Bahtsul Masail Nasional Pra Muktamar di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, tanggal 29-31 Januari 2010.

Kami berharap agar para muktamirin berkenan melakukan pendalaman terhadap materi pembahasan yang kami susun. Dalam pandangan kami, sekalipun peserta muktamar telah menyelesaikan pembahasan terhadap draft laporan komisi, akan tetapi masih diperlukan tugas lanjutan yaitu untuk memperjuangkan agar kesepakatan yang diambil di muktamar tentang berbagai masalah Qanuniah dapat dibahas pada tingkat yang lebih lanjut baik kepada instansi pemerintah yang terkait maupun DPR.

Demikian laporan kami dan kami haturkan ucapan terima kasih.





Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariiq.
Makasar, …………………..2010



Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,



Ketua, Sekretaris,





Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis H. Ahmad Zubaidi, MA

Anggota:
1. Drs. H. Selamet Effendy Yusuf, M. Si
2. H. Muhammad Fajrul Falaakh, SH, MA
3. KH Safruddin
4. Dr. H. Wahiduddin Adams, SH. MA
5. Dr. dr. H. Syahrizal
6. Dr. H. Hilmi Muhammadiyah, MA
7. Drs. H. Syaifullah Maksum



DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

QAWAIDUT TAQNIN NAHDLATUL ULAMA

A. Pendahuluan

Salah satu pilar tegaknya negara hukum sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah adanya peraturan perundang-undangan yang memenuhi rasa keadilan dan aspirasi masyarakat.

Peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundang-undangan yang berlaku secara Nasional maupun di tingkat daerah adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang mengikat secara umum terhadap pihak yang diatur dalam materi hukum peraturan tersebut.

Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan azas keterbukaan, masyarakat berhak untuk berpartisipasi mulai dari perencanaan, persiapan, pembahasan, pelaksanaan, penyebarluasan, dan pengawasannya.

Arah pembentukan peraturan perundang-undangan pasca perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik yang bersifat perubahan, penggantian maupun pembuatan peraturan pelaksanaannya adalah antara lain untuk:


1. Mempercepat proses reformasi
2. Meningkatkan kualitas demokrasi
3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat khususnya otonomi daerah.
4. Menghormati, memajukan, dan melindungi hak asasi manusia termasuk memperhatikan prinsip kesetaraan jender.
5. Mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi rakyat yang berkeadilan


Oleh karena itu diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang harmonis dan tidak saling bertentangan baik antara jenis, hierarki secara vertikal maupun horizontal, yang disusun berdasarkan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Pembuatan peraturan perundang-undangan memuat landasan filosofis yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Landasan yuridis adalah mengacu kepada sumber sumber hukum dalam ketatanegaraan yaitu Pancasila dan UUD 1945. Landasan sosiologis yaitu realitas fakta kehidupan dan kondisi kebutuhan masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural.

Asas materi hukum yang digariskan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada intinya adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan baik tingkat pusat maupun tingkat daerah harus memuat upaya untuk melindungi seluruh masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai lapisan guna memenuhi hak-hak asasi seluruh warga negara dan memperkuat Negara kesatuan Republik Indonesia di dalam kerangka kebhinekaan yang mencerminkan harkat persamaan dan perlakuan yang adil.

Dasar penetapan, prosedur dan asas di atas secara teoritik dapat melahirkan peraturan perundangan yang membawa kemaslahatan untuk umat Islam khususnya dan seluruh bangsa Indonesia pada umumnya. Akan tetapi dalam faktanya bisa terjadi peraturan perundangan yang tidak sejalan dengan kemaslahatan tersebut baik karena kurang adanya ketelitian dari pihak pembuat undang-undang sehingga dapat merugikan semua pihak khususnya umat Islam sebagai penduduik mayoritas di negeri ini.

Karena itu, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia sudah sepatutnya melakukan sikap kritis guna mengidentifikasi berbagai undang-undang ataupun rancangan undang-undang yang dipandang dapat merugikan kepentingan bangsa sejalan dengan tujuan ajaran Islam adalah untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam (Q.S. Al Anbiya’ [21]: 107. Seluruh undang-undang dan peraturan yang ada di Indonesia hendaklah membawa kemaslahatan bagi seluruh kepentingan bangsa. NU sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah sudah sepatutnya secara proaktif melakukan pengkajian baik terhadap undang-undang yang sudah ada dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahannya maupun usulan terhadap perlunya dibuat undang-undang yang baru untuk disampaikan dalam program legislasi nasional melalui Badan Legislasi Nasional Dewan Perwakilan Rakyat. Kepentingan penelaahan terhadap seluruh peraturan dan perundang-perundangan serta pengusulan peraturan dan undang-undang yang baru dimaksudkan agar kepentingan warga Nahdlatul Ulama dan umat Islam dapat tertampung dalam program penyelenggaraan kehidupan berbangsa.

Untuk itu diperlukan kaidah-kaidah menurut perspektif NU agar proses perumusan peraturan dan perundang-undangan (Qawa’id Taqnin) di Indonesia yang dapat berjalan sesuai dengan kemaslahatan umat dan cita-cita mendirikan negara RI yang adil makmur sejahtera lahir dan batin yang didasarkan kepada nilai-nilai ajaran Islam yang berhaluan ahlus sunnah waljamaah.

B. Maksud dan Tujuan

Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi aspek: (1) preventif yaitu hukum hendaklah tidak mendorong tingkah laku yang tidak disetujui oleh warga pendukungnya (2) kuratif yaitu setiap undang-undang adalah merupakan hukum yang dibentuk yang dalam pelaksanaannya dapat memperbaiki ketidakseimbangan (injustice) dalam arti mewujudkan kesebandingan (justice) atau menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul (3) fasilitatif yaitu hukum itu hendaklah dibentuk yang dapat menciptakan pengakuan, pengaturan dan perlindungan terhadap lembaga hukum.

Dari uraian di atas maka dapatlah dipahami bahwa setiap undang-undang hendaklah selalu hidup dan bermanfaat untuk menjawab perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat. Proses transformasi kehidupan masyarakat yang bergerak dari fase agraris menuju kepada kehidupan moderen, memerlukan komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai positif dari tradisi yang telah sejak lama berkembang dalam masyarakat namun pada saat yang sama juga bersikap responsif kepada perkembangan moderen (al muhâfazat ‘ala al qadîm al shâlih wal akhdz bil jadîdi ashlah).

Atas dasar itulah, Muktamar NU ke 32 menyusun Qawaidut Taqnin yang dimasudkan sebagai pedoman dan standar Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan, mengkritisi, mengawal, dan mengusulkan peraturan perundangan dengan tujuan agar peraturan perundangan di Indonesia dapat:


1. Meningkatkan komitmen seluruh warga-bangsa terhadap keluhuran akhlak yang bersumber dari ajaran Islam
2. Menjamin kreatifitas, kemandirian dan harkat martabat bangsa
3. Menjamin perlindungan terhadap hak-hak warga negara
4. Melindungi akar budaya bangsa yang sejalan dengan nilai-nilai Islam
5. Memberikan sebesar-besar kemaslahatan kepada bangsa
6. Meningkatkan tarap hidup bangsa
7. Menjamin terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia


C. Pendapat NU tentang penyerapan Hukum Islam dalam hukum nasional

NU memandang bahwa penyerapan hukum Islam dalam hukum nasional adalah suatu keniscayaan, karena sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama Islam dimana ada bagian-bagian dari hukum Islam yang baru dapat terlaksana secara paripurna dengan memerlukan peranan dan dukungan negara.

Oleh karena itu, NU memandang penyerapan hukum Islam dalam hukum nasional dapat diwujudkan yang tetap sejalan dengan semangat bhineka tunggal ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini disebabkan karena hukum Islam adalah semuanya membawa kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta. Oleh karena itu, penyerapan ajaran Islam terhadap hukum nasional tidak akan terjadi diskriminasi terhadap warga negara yang berbeda budaya maupun agama. Pola penyerapan itu dapat dilakukan dalam tiga hal yaitu formal, substansial, dan esensial, tergantung kepada materi dan ruang lingkup berlakunya.

1. Formal (rasmiyah)

Formal artinya penyerapan hukum Islam pada hukum nasional secara formal. NU memandang ada bagian-bagian hukum Islam yang harus diserap dalam hukum nasional secara formal dan hanya berlaku bagi umat Islam, seperti zakat, wakaf, peradilan agama, haji, hukum waris, wasiat, hibah dan transaksi perbankan. Dalam hal ini, NU mendorong terbitnya peraturan perundangan yang secara formal mengatur persoalan tersebut yang hanya berlaku bagi umat Islam.

2. Substansial (dzatiyah)

NU menyadari bahwa ajaran Islam adalah ajaran universal (rahmatan lil alamin), untuk itu NU berupaya agar nilai-nilai ajaran Islam dapat dirasakan kemaslahatannya oleh seluruh umat manusia. Karena sistem sosial politik bangsa Indonesia belum memungkinkan berlakunya ajaran Islam secara formal, maka NU memperjuangkan nilai-nilai substansi dalam peraturan perundang-undangan seperti masalah pornografi, perjudian, penyalahgunaan narkoba, pekerja seks komersial dan lain-lain.

3. Esensial (ruhiyah/jauhariyyah)

NU menyadari kebinekaan bangsa Indonesia dan mendukung tegaknya NKRI. Karena itu dalam penerapan syariah, NU merasa perlu menggunakan pola tadriji untuk menghindarkan penolakan masyarakat yang berakibat kontraproduktif bagi perkembangan sosialisasi syariah pada masa depan. Hukum Islam yang belum memungkinkan diterapkan, diupayakan untuk memasukkan esensi Hukum Islam ke dalam perundangan yang berlaku di Indonesia. Seperti dalam hukum pidana Islam, NU untuk sementara belum mendorong berlakunya jinayat Islam secara formal ataupun substansial, tetapi mengupayakan terserapnya esensi hukum jinayah. Misalnya pidana terhadap pelaku zina (ghairu muhson) yang dalam KUHP tidak dianggap sebagai pidana harus diperjuangkan menjadi delik pidana dengan hukuman ta’zir.


D. Qawaidut Taqnin NU

Nahdlatul Ulama berpandangan bahwa seluruh praktek penyelenggaraan negara tidak saja mempunyai dimensi kepentingan sesaat akan tetapi hendaklah memiliki pandangan yang jauh ke depan. Dalam pandangan NU kepentingan ke depan itu adalah harus selalu didasarkan kepada pertimbangan kepentingan pelaksanaan nilai-nilai ajaran Islam karena pelaksanaan ajaran Islam pada dasarnya tidak hanya penting bagi umat Islam saja akan tetapi bermanfaat bagi keluhuran sifat dasar kemanusiaan.

Secara umum pembuatan peraturan perundangan di Indonesia harus mengacu kepada kaidah:

تصرف الإمام علي الرعية منوط بالمصلحة

Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan kepada kemaslahatan.

Secara lebih khusus lagi, sesuai dengan dasar filosofi ajaran Islam (maqashidus syari’ah) maka bagi NU semua peraturan perundang-undangan hendaklah dapat memperkuat lima tujuan diturunkannya syari’at (maqashidusy syari’ah) yaitu:

1. Hifzhud Din:

Setiap kegiatan didasarkan untuk kepentingan pemeliharaan ajaran Islam oleh karena kehidupan itu baru bernilai apabila selalu didasarkan kepada ajaran Islam. Setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hakikat ajaran Islam malah justru semua UU haruslah bertujuan memperkuat komitmen semua umat beragama terhadap ajaran agamanya. Oleh karena itu pertimbangan untuk kepentingan syari’at haruslah ditempatkan di atas segala-galanya. Semua peraturan per-UU-an hendaklah yang dapat memudahkan orang beribadah oleh karenanya tidak boleh ada yang bertentangan dengan ajaran Islam (Q.S. Ali ‘Imran [3]:83). Mengingat agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam, maka setiap undang-undang RI hendaklah memberi kemudahan bagi umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya, dan pada saat yang sama juga memberikan kemudahan bagi umat lainnya dalam mengamalkan ajaran agamanya. Bertolak pada pemikiran tersebut, setiap undang-undang RI tidak boleh bertentangan dengan semangat spritual yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.

2. Hifzhun Nafs

Setiap pelaksanaan ajaran Islam harus selalu memelihara kelangsungan hidup manusia oleh karena itu tidak dibenarkan upaya-upaya kehidupan yang justru berakibat hilangnya keberadaan manusia. Seluruh peraturan perundang-undangan harus dapat menjaga kelangsungan kehidupan dan melindungi kehormatan umat manusia. Tidak dibenarkan adanya UU yang merendahkan martabat manusia karena manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sempurna (Q.S. Al Tin [95]: 4); (Q.S. Al Isra’ [17]: 33)

3. Hifzhul Aql

Peraturan per-UU-an hendaklah memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia yang memiliki akal sehat dengan kemampuan berfikir yang baik dan benar, terbebas dari hedonisme dan materialisme, jauh dari pragmatis serta menjunjung tinggi akhlak mulia, sehingga segenap kehidupan manusia menjadi aman dan bahagia. Hal ini terwujud manakala akal pikirannya positif, tidak terkotori pengaruh narkotika dan obat-obat terlarang dan mampu menyikapi semua hal secara dewasa. Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.(Qs. 17:70)

4. Hifzhun Nasl

Seluruh per-UU-an harus dapat memelihara kelangsungan berketurunan oleh karena itu tidak dibenarkan adanya upaya pembunuhan atau pemutusan keturunan atas dasar alasan apapun juga. Serta tidak dibenarkan aktifitas perusakan lingkungan hidup karena dapat mengancam eksistensi kelangsungan hidup manusia. Seluruh peraturan hendaklah bertujuan memuliakan manusia (Q.S. Al Isra’ [17]: 31).

5. Hifzhul Mal

Seluruh per-UU-an hendaklah dapat memelihara kepemilikan harta baik kepemilikan harta yang sempurna (milk taam) maupun kepemilikan tak sempurna (milk naaqish) dan hak-hak kepemilikan kebendaan termasuk hak cipta maupun budaya bangsa, Islam menegaskan adanya kepemilikan perorangan dan kepemilikan syirkah namun harta yang dimiliki itu memiliki nilai ibadah dan sosial yang ditunaikan melalui zakat, infak dan shadaqah (Q.S. Al Hijr [15]: 20).

Sesuai dengan prinsip-prinsip di atas, maka sebuah peraturan perundangan harus:


1. Melindungi semua golongan
2. Berkeadilan
3. Sesuai dengan agama/keyakinan/kepercayaan masyarakat yang disahkan keberadaannya di Indonesia
4. Sesuai dengan nilai-nilai kepatutan dan budaya masyarakat yang tidak bertentangan dengan agama
5. Selalu memiliki wawasan ke depan.


E. Peran NU dalam Proses Pembentukan Hukum di Indonesia

Legislasi Nasional merupakan agenda penting dalam penyelenggaraan negara yang berdampak sangat besar terhadap kehidupan bangsa. Legislasi dapat menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bermartabat, serta rakyatnya makmur sejahtera akan dapat juga sebaliknya. Hal itu semua tergantung bagaimana prinsip-prinsip legislasi dilakukan. Karena itu, NU sebagai bagian terbesar bangsa yang memiliki misi melakukan rekonstruksi umat (ishlahiyatul ummat) sudah sepatutnya ikut terlibat aktif dalam memantau proses legislasi hukum nasional. Setelah itu maka agenda NU adalah memantau sejauh mana pelaksanaan hukum itu sejalan dengan aspirasi umat Islam.

Adapun peran yang dapat dilakukan NU dalam hal ini ada dua, yaitu:

1. Aktif, inisiatif dan kontributif

NU secara proaktif harus mecermati keperluan pembuatan perundang-undangan yang dibutuhkan oleh umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya agar terjamin adanya kepastian hukum dalam kasus tertentu dan menghindari penafsiran-penafsiran sepihak yang dapat merugikan masyarakat. Dalam hal ini NU dapat menempuh mekanisme dengan menyusun pokok-pokok pikiran usulan rancangan undang-undang yang mendukung terwujudnya tujuan hukum Islam (maqashidus syari’ah) sebagaimana diuraikan di atas melalui upaya mendorong lahirnya regulasi sebagai turunan dari UU berupa Peraturan Pemerintah. Selain dari itu, NU juga dapat mengajukan usulan rancangan kepada pemerintah DPR tentang perlunya pembuatan undang-undang tertentu untuk menjamin kepentingan umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

2. Mengawal dan Mengkritisi Undang-undang atau RUU

NU mengambil inisiatif untuk mengawal dan mengkritisi berbagai undang-undang maupun peraturan yang berskala nasional maupun daerah guna menjamin terwujudnya tujuan hukum Islam (maqâshidus syarî’ah) yang menimbulkan kontroversi di masyarakat sehingga umat Islam memperoleh ketenangan dalam mengamalkan ajaran Islam. Oleh karena itu setiap undang-undang dan peraturan yang ada di Indonesia hendaklah mendukung realisasi nilai-nilai keberagamaan dan menghindari adanya undang-undang maupun peraturan yang tidak sejalan dengan semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar seluruh undang-undang dan peraturan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara selalu didasarkan kepada kepentingan umum (al-mashlahah al-’âmmah).

Untuk pelaksanaan dua peran di atas maka sudah selayaknya di kalangan internal NU perlu ada kelompok pemerhati perkembangan program legislasi nasional termasuk segala turunan dari berbagai peraturan itu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.

F. PENUTUP

Seraya bertawakkal kepada Allah SWT dan mengharap ma’ûnah dan taufikNya, Muktamar NU ke-32 di Makasar menyusun tata aturan penetapan perundang-undangan (Qawaidut Taqnin) Nahdlatul Ulama semoga bermanfaat bagi terwujudnya kejayaan Islam dan umat Islam Indonesia (‘izzul islâm wal muslimîn) negeri yang adil dan makmur sejahtera lahir dan batin di dalam ampunan Allah SWT (baldatun thayyibatun wa robbun ghafûr).

Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,





DRAFT

BAHSUL MASAIL DINIYAH QANUNIYAH

TENTANG

RUU PERLINDUNGAN KEHIDUPAN BERAGAMA

A. Latar Belakang

Sejalan dengan dasar Negara Pancasila dan ditegaskan lagi pada UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) ditetapkan bahwa sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini bertujuan agar setiap warga menjadi manusia yang taat terhadap ajaran agamanya dan pada saat yang sama menghargai perbedaan dengan antar sesama umat beragama. Kebebasan beragama (hurriyatut tadayyun) sebagaimana disebutkan di atas kemudian dipertegas lagi pada Pasal 29 ayat (2) yaitu kebebasan bagi setiap warga negara untuk beribadah dan mengamalkan ajaran agama dan kepercayaannya itu. Akan tetapi sayangnya, dalam UUD 1945 tidak ditemukan adanya perintah UUD untuk membuat undang-undang lanjutan guna merumuskan bentuk kebebasan itu untuk mewujudkan manusia Indonesia yang taat dan kepada ajaran agamanya sekaligus dapat hidup dengan seluruh komponen bangsa yang majemuk dalam semangat toleransi dan kerukunan. Pada aspek pribadi setiap manusia memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengamalkan ajaran agamanya bahkan negara harus memberikan pelayanan secara optimal namun negara belum memiliki panduan dalam menjabarkan kebebasan beragama itu. Namun apabila kebebasan beragama pada tataran individu itu tidak dibatasi dengan rambu-rambu maka kebebasan beragama itu dapat menimbulkan anarkhi dan akhirnya akan melahirkan kegaduhan di dalam masyarakat. Oleh karena itu diperlukan Undang Undang Perlindungan kehidupan Beragama. Dalam ajaran Islam telah ditegaskan beberapa prinsip tentang hubungan antara umat Islam dengan lainnya antara lain:


1. Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah adalah Islam (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 19)
2. Dan siapa orang yang mencari-cari agama selain Islam maka tidak akan ditrerima amalannya dan dia di akhirat menjadi orang yang merugi (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 85)
3. Tidak ada paksaan memasuki agama sesungguhnya telah jelas antara yang baik dari yang buruk, maka siapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kokoh yang tidak ada putusnya dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui (Q.S. Al Baqarah [2]: 256).
4. Allah tidak melarang kamu terhadap orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu, kamu berbuat kebajikan kepada mereka dan berlaku adil kepada mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang yang berlaku adil (Q.S. Al Mumtahanah [60]: 8)
5. Bagi kamu agama kamu dan bagi saya agama saya (Q.S. Al Kafirun [109]: 6).

Di samping itu, fungsi imamah atau kenegaraan dalam pandangan politik Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana dikemukakan Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, adalah untuk menjaga agama (harasatud din) dan mengatur dunia (siyasatud dunya).

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا

Oleh karena itu, dalam rangka harasatud din, NU perlu mendorong pemerintah untuk membuat regulasi tentang perlindungan kehidupan agama di Indonesia. Kepentingan umat Islam terhadap legislasi yang berkenaan dengan tuntutan pelaksanaan ajaran Islam berbeda dengan pelaksanaan ajaran agama lainnya. Oleh karena itu adalah hal yang wajar apabila pemerintah RI memberikan perhatian yang lebih dalam pelaksanaan pengundangan ajaran Islam dan hal itu tetap sejalan dengan amanat konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia karena negara ini didirikan adalah bertujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan lahir dan batin warega negara Republik Indonesia.

B. Tujuan Pembuatan Undang Undang

Pemerintah dipandang perlu untuk membuat undang-undang perlindungan kehidupan beragama agar setiap warga negara memiliki kebebesan sepenuhnya dalam mengamalkan ajaran agamanya dan pada saat yang sama menghormati kebebasan orang lain. Atas dasar itu, maka konsep kebebasan hendaklah dibatasi apabila telah berkenaan dengan pola hubungan antar sesama WNI. Kebebasan mutlak tidak dikenal dalam kebudayaan bangsa Indonesia.

C. Mekanisme Pengajuan RUU Perlindungan Kebebasan Beragama

RUU Perlindungan Kebebasan Beragama, selanjutnya disingkat RUU PKB sebaiknya menjadi hak inisiatif DPR dan bukan diajukan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan karena pemerintah pada tahun 2004 telah mencoba mengambil prakarsa terhadap hal ini namun berakhir dengan kegagalan. Oleh karena itu, pada saat situasi politik pasca reformasi di mana peran legislatif lebih dominan maka selayaknya inisatif pengajuan RUU tersebut berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat. Aparat pemerintah tampaknya telah mengalami trauma dengan pengalaman tahun 2004 ketika Departemen Agama baru mulai melakukan kajian dalam bentuk penyusunan naskah akademis namun telah mengalami penentangan dari berbagai pihak karena dipandang memiliki motif tertentu. Sadar akan besarnya kemungkinan reaksi terhadap RUU PKB ini baik dari kalangan internal umat Islam maupun dari umat beragama lainnya, maka NU perlu memprakarsai perbincangan tentang perlindungan kebebasan beragama yang kemudian diajukan kepada pemerintah dan DPR sebagai bahan penyusunan lebih lanjut.

D. Muatan RUU PKB

Adapun muatan yang perlu diatur dalam Rancangan Undang Undang perlindungan kehidupan Beragama adalah sebagai berikut:

1. Pengertian umum:


* Pengertian agama
* Kehidupan beragama
* Pengertian kebebasan beragama

- Batasan kebebasan beragama
- Hak dan kewajiban umat beragama

* Pengertian kerukunan hidup umat beragama
* Pengertian pemurnian agama
* Pengertian pembaruan agama
* Pelayanan terhadap masyarakat umat beragama:

1. Formalistik
2. Substansial
3. Esensial

2. Tujuan kehidupan beragama
3. Hubungan agama dengan Negara
4. Integrasi nilai dan hukum agama kepada hukum negara
5. Integrasi nilai kebangsaan dalam keberagamaan
6. Peningkatan pemahaman agama
7. Peningkatan penghayatan agama
8. Peningkatan pelayanan bagi pengamalan ajaran agama
9. Peningkatan pengamalan ajaran agama
10. Peranan pemerintah dalam pemeliharaan kehidupan beragama
11. Peranan umat beragama terhadap negara
12. Kewajiban setiap penganut agama terhadap penganut lainnya
13. Ketentuan Penetapan Hari-Hari Besar Keagamaan
14. Kedudukan aliran sempalan agama:

Pengembangan pemikiran
Gerakan Keagamaan
Penodaan/penistaan Agama

15. Kode Etik Penyiaran agama/kode etik Symbol Agama
16. Pendirian rumah ibadat
17. Kedudukan organisasi majelis keagamaan
18. Ketentuan tentang bantuan luar negeri keagamaan
19. Penyumpahan terhadap pejabat pemerintahan
20. Tugas dan Tanggung lembaga kerukunan dalam pemeliharaan keserasian sosial umat beragama
21. Tugas dan Tanggung Jawab Pemerintahan Daerah dalam pemeliharan kehidupan beragama
22. Sanksi Administratif, sanksi Perdata dan Sanksi Pidana terhadap pelanggaran undang-undang.

Makasar, …………………..2010



Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,






DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan

Undang-Undang No. 2/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP 2009) dibentuk berdasarkan ketentuan UU Sisdiknas 2003 (UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) Pasal 53 Ayat (1), bahwa “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum”. UU BHP mengandung asas lex specialis yang bakal menjadi acuan bagi semua kegiatan pendidikan, mulai dari pengembangan infrastruktur, tata kelola, proses, kegiatan formal dan non-formal, kurikulum, hingga penyediaan semua komponen terkait.

Tetapi UU BHP 2009 menuai kontroversi, bahkan konstitusionalitasnya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi berdasarkan permohonan dari berbagai kalangan. Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas 2003 dan UU BHP 2009 dinilai bertentangan dengan “paradigma pendidikan” yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dan sejumlah pasalnya (Pasal 28C ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (1), Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 31).

B. Tanggapan Masyarakat Terhadap UU BHP 2009

1. Pro UU BHP

* Pro- UU BHP dimaksudkan sebagai koreksi terhadap konsep dan pelaksanaan BHMN yang telah berjalan, bukan replika dari BHMN;
* UU BHP 2009 menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun nonakademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi.
* UU BHP menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom. Rantai birokrasi diputus, diserahkan ke dalam organ badan hukum pendidikan (BHP) yang menjalankan fungsi badan hukum: penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan. Misalnya di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen Dikti, Inspektora Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Dengan BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ representasi pemangku kepentingan.
* Otonomi pendidikan, menurut UU BHP, harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP.
* Nirlaba: UU BHP menjamin bahwa peserta didik hanya membayar biaya pendidikan paling banyak 1/3 dari biaya operasional satu satuan pendidikan, bukan biaya investasi. Selama ini satuan pendidikan sangat tergantung dari pendanaan dari peserta didik bahkan sampai 90 persen. Saat ini, UU BHP membatasi menjadi maksimal 1/3 dari biaya operasional (jaminan UU BHP bahwa kenaikan SPP tidak terjadi).
* UU BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar.
* UU BHP menjamin secara khusus warga negara Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi tapi berpotensi secara akademik, terutama kelompok 20 persen termiskin, dimana sampai saat ini hanya 3 persen dari kategori ini yang menikmati pendidikan tinggi.
* Satuan Pendidikan BHP wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20 persen dari keseluruhan peserta didik yang baru.
* Satuan Pendidikan BHP harus menunjukkan kepada publik bahwa mereka menerima dan menyediakan paling sedikti 20 persen beasiswa atau bantuan biaya pendidikan untuk mereka yang kurang mampu dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademiki tinggi.
* UU BHP mengikat tanggungjawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Misalnya Pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD (daerah) dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, investasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik. Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
* UU BHP mengharuskan yayasan dan lembaga pendidikan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan. Laporan pembiayaan pendidikan harus diaudit secara profesional dan diumumkan secara terbuka melalui media massa (keuntungan bagi media massa nasional).
* AD/ART yayasan pendidikan harus disesuaikan dengan UU BHP. Yayasan diberi waktu enam tahun untuk menyesuaikan diri dengan tata kelola dan pendanaan menurut UU BHP. Pemilik yayasan masih bisa dominan, tetapi tetap harus bisa mewadahi berbagai representasi banyak pihak dan harus bersifat nirlaba.
* BHP berwenang melakukan tindakan hukum dan menanggung konsekuensi hukum atas tindakannya. Pasal 63 UU BHP menyebutkan: “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 39 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 4 ayat (1), Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 39 adalah pasal-pasal yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah nirlaba, seluruh sisa dari hasil usaha dari kegiatan BHP harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

2. Kontra UU BHP 2009


* UU BHP mereduksi kewajiban konstitusional dan tanggung jawab negara untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan. BHP tidak lebih dari sebuah bentuk lepas tangan negara atas pembiayaan pendidikan nasional;
* UU BHP telah mendorong komersialisasi dan liberalisasi pendidikan dengan membawa para pelaku penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar. Maka Pemerintah yang seharusnya menjadi faktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan hanya ditempatkan menjadi fasilitator.
* Kebijakan ini adalah proses privatisasi atau liberalisasi pendidikan yang sebelumnya telah diperkuat Peraturan Presiden No. 76 dan 77 Tahun 2007 tentang kriteria usaha di bidang penanaman modal yang membuka peluang besar kepada modal asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. UU ini membuka jalan bagi asing untuk memegang saham sampai 49 persen untuk tiap satuan pendidikan tingkat menengah dan universitas.
* UU BHP memperlakukan “modal dan pemilik modal” sebagai faktor utama penyelenggaraan pendidikan. Terbukti, UU BHP menekankan pada tata kelola keuangan sebagai dasar dalam mengembangkan pendidikan.
* Otonomi pendidikan dalam UU BHP, khususnya otonomi pendanaan pendidikan, hanya mitos;
* Lembaga pendidikan akan mengarah pada tujuan pragmatis komersial ketimbang pada tujuan kritis dan mencerdaskan bangsa untuk melahirkan putra-putri terbaik bangsa yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman;
* BHP dan UU BHP memberatkan peserta didik dan masyarakat serta mempersempit akses masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Biaya pendidikan yang mahal dan berorientasi pada modal akan menghalangi akses pendidikan untuk berbagai kalangan yang tidak mampu. Meskipun UU BHP memberikan kuota bagi masyarakat miskin, namun ternyata “jatah” tersebut adalah untuk orang-orang miskin yang berprestasi.
* Pengaturan mengenai BHP seharusnya merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindar dari kewajiban konstitusional negara di bidang pendidikan, sehingga tidak memberatkan masyarakat dan/atau peserta didik.
* Janji yang diberikan oleh BHP tentang asas keadilan dan pemerataan bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan, hanya diatas kertas. Dalam kenyataannya penerimaan mahasiswa baru sudah dikafling, 40% melalui jalur Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI), 60 % melalui jalur umum (SNMPTN). Yang 60% itu sudah termasuk 20% bagi calon mahasiswa yang msikin dan pintar. Jadi adil dan merata hanya berlaku pada dalam proporsi kurang dari 60%. Saat ini, yang dilakukan oleh PT BHMN malah sudah lebih memprihatinkan lagi. Yang melalui jalur umum (SNM PTN) kurang dari 40%.
* Dengan BHP maka SDM dengan kompetensi intelektual tinggi dalam Universitas yang semula menjadi khazanah intelektual milik bangsa, tidak lagi menjadi aset milik Bangsa sebab mereka sudah sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar. Brain drain yang selama ini sudah terjadi akan lebih parah lagi. Putra-putri terbaik bangsa akan lari ke negara lain yang lebih maju untuk mencari imbalan materi yang lebih tinggi, mengikuti arus kapitalis internasional. Negara tidak bisa ikut campur dalam hal ini.
* Dengan BHP maka khazanah IPTEK dan temuan-temuan strategis yang semula menjadi aset budaya dan milik bangsa menjadi terbuka untuk dijual kepada pihak manapun yang bisa membeli dengan harga lebih tinggi. Bangsa dan negara tidak akan punya aset intelektual dan tidak akan bisa melakukan pengembangan IPTEK strategis demi kepentingan bangsa (pertahanan keamanan, pertanian, industri, dsb).
* Pernyataan bahwa dengan UU BHP menjadikan pemerintah lebih banyak menanggung sumber dana pendidikan bagi Universitas, tidak bisa dibuktikan sebab:

a. Seberapa besarpun dana yang diberikan oleh pemerintah tidak akan lebih dari 20% APBN untuk semua tingkat pendidikan.
b. Jika sebuah PTN (PT BHP) telah mampu mendanai dirinya sendiri, maka pemerintah tidak lagi mendanai, proporsi dana dari pemerintah bisa nol. Itu artinya, PTN (PT BHP) tersebut sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar, dan idea kapitalis.

C. Sikap Muktamar NU

A. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang dapat mencerdaskan seluruh bangsa yang syarat utamanya adalah seluruh warga negara tanpa terkecuali memiliki akses pendidikan.

B. Pendidikan seharusnya dijauhkan dari aspek komersialisasi dan kapitalisasi dengan membawa para pelaku penyelenggara pendidikan sebagai pelaku pasar, maka pemerintah seharusnya menjadi faktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan, hanya ditempatkan menjadi fasilitator. Kebijakan ini adalah proses privatisasi atau liberalisasi pendidikan yang sebelumnya telah diperkuat Peraturan Presiden No. 76 dan 77 Tahun 2007 tentang kriteria usaha di bidang penanaman modal yang membuka peluang besar kepada modal asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. UU BHP ini membuka jalan bagi asing untuk memegang saham sampai 49 persen untuk tiap satuan pendidikan tingkat menengah dan universitas.

C. BHP membahayakan kelangsungan hidup bangsa terutama dalam menjaga khazanah budaya, khazanah intelektual, dan khazanah IPTEK yang memiliki nilai strategis demi masa depan dan kejayaan bangsa.

D. BHP akan memasukkan semua sektor strategis dalam bidang pendidikan kedalam pengaruh kapitalis internasional, yang lemah akan tergisa secara semena-mena oleh yang kuat.

E. Mengusulkan untuk merevisi UU Sisdiknas dan UU BHP agar semua mudlarat yang tersebutkan diatas dan mudlarat-mudlarat yang lain, tidak akan terjadi.

Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,







DRAFT

MATERI BAHTSUL MASAIL DINIYAH QONUNIYAH

TENTANG

UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004

TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (SJSN)

A. Latar Belakang

Menurut UUD Negara RI tahun 1945, Indonesia merupakan negara hukum dengan konsep negara kesejahteraan. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan untuk memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Hal ini merupakan konsekuensi dari amanat konstitusi yang menentukan bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Reformasi sistem jaminan sosial di Indonesia telah dimulai dengan pengesahan Undang undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada tanggal 19 Oktober 2004. Namun dalam kurun waktu kurang dari 4 bulan sejak disyahkan, tepatnya 21 Februari 2005, UU SJSN tersebut mendapatkan uji materi yang putusannya dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Agustus 2005. UU SJSN tersebut merupakan landasan hukum bagi penyelenggaraan sistem jaminan sosial di Indonesia, tidak secara tegas mengatur eksistensi peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan program- program jaminan sosial sebelum UU SJSN dan sampai saat ini masih terus berlaku.

Undang undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJNS menentukan adanya 5 (lima) jenis program jaminan sosial yaitu: Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian. Namun, jaminan kesehatan yang mendapat prioritas untuk memenuhi hak konstitusi rakyat Indonesia untuk “ memperoleh pelayanan kesehatan” dan “jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”, belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini terkait dengan belum dipenuhinya pendirian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang menurut UU SJSN harus dibentuk melalui Undang undang tersendiri.

Masyarakat perlu berpartisipasi dalam proses penyusunan RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ini, karena RUU tersebut akan mengatur badan yang dipercaya untuk mengumpulkan, menghimpun, mengelola dan mengembangkan dana jaminan sosial milik seluruh peserta untuk pembayaran manfaat kepada peserta. Tugas, hak dan kewajiban BPJS sudah ditentukan dalam UU no 40 tahun 2004 tentang SJSN. Menurut Pasal 5 UU SJSN Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 , BPJS harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri, artinya harus dengan persetujuan wakil rakyat. Sampai saat ini belum ada BPJS yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UU SJNS. Untuk mengisi kekosongan hukum, maka Persero Jamsoktek, Persero Taspen, Persero Taspen, Persero ASABRI dan Persero Askes diberikan hak untuk bertindak sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan syarat disesuaikan dengan UU SJSN, paling lambat pada tanggal 19 Oktober 2009.

B. Permasalahan :


1. Terdapat perbedaan dasar hukum dalam pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional oleh Badan Penyelenggara dengan dasar hukum masing- masing badan penyelenggara lainnya, seperti Persero Jamsoktek, Persero Taspen, Persero Taspen, Persero ASABRI dan Persero Askes.
2. Data masyarakat miskin versi BPS beda dengan versi Pemda.
3. Sistem pensiunan dan asuransi sosial dalam sistem jaminan sosial belum jelas.
4. Belum ada Lembaga Jaminan Sosial Dasar untuk golongan bawah dan sektor informal
5. Law enforcement peraturan perundangan masih lemah
6. Ada perbedaan dengan prinsip nirlaba dalam sistem
7. Adanya perbedaan substansi UU no.40 tahun 2004 dengan 15 undang undang yang terkait dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional dan 17 Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan undang undang yang bersangkutan.
8. Masih lemahnya koordinasi penanganan Sistem Jaminan Sosial Nasional

C. USULAN


1. Perlu menindak lanjuti 26 pasal dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang perlu dibuatkan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan perundang-undangan lainnya.
2. Perlunya kriteria miskin dan yang berhak mendapat Jaminan Sosial yang jelas.
3. Perlunya aturan kerja sama antar instansi terkait data penduduk dan tingkat sosialnya.
4. Perlu koordinasi penanganan Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pembentukan Badan Penyelenggara di tingkat daerah.
5. Perlu Pelaksanaan UU SJSN secara konsisten- harmonisasi seluruh peraturan dan perundangan terkait.
6. Mendorong dibuatnya Undang Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 5 yo pasal 52 ayat 2 UU SJSN dengan bentuk badan hukum wali amanat – sesuai amanat UU SJSN.
7. Perlunya pekerja di sector informal bisa mendapatkan jaminan social


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,





DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYAH QONUNIYAH

TENTANG

AMANDEMEN UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992

TENTANG KESEHATAN

A. Pendahuluan

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan bahwa kesehatan merupakan hak azasi manusia, yang mencakup hak atas informasi, hak atas privasi, hak untuk menikmati teknologi kesehatan, hak atas pendidikan tentang kesehatan, hak atas ketersediaan makanan dan gizi, hak untuk mencapai standar hidup optimal, dan hak atas jaminan sosial. Sejalan dengan itu, pembangunan bidang kesehatan di Indonesia, sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 34 ayat (3) mencakup segi kehidupan fisik maupun non-fisik yang diselenggarakan secara terpadu, mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabililatif yang menyeluruh dan berkesinambungan, seperti yang tertuang dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) tahun 1982. Pembangunan kesehatan ditujukan agar masyarakat mampu hidup sehat sehingga terwujud derajat kesehatan yang optimal. Hal ini berimplikasi pada perlunya mengikut sertakan masyarakat dalam upaya pembangunan kesehatan.

Indonesia mempunyai permasalahan kesehatan yang kompleks, selain beban jumlah penduduk yang besar, luasnya daerah geografis dan banyaknya jumlah pulau, beragamnya suku bangsa, serta beragamnya tradisi dan adat istiadat. Disamping itu, keterbatasan sumberdaya, kemiskinan dan masih rendahnya tingkat pendidikan perempuan, juga menambah kompleksitas masalah kesehatan. Hal ini berakibat pada masih tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu, serta rendahnya tingkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dapat menggambarkan tingkat kualitas SDM rakyat Indonesia.

Keberadaan Undang Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, diharapkan dapat menciptakan suatu tatanan hukum yang memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum baik bagi pemberi pelayanankesehatan maupun bagi masyarakat penerima pelayanan kesehatan. Namun dalam pelaksanaannya, fokus upaya kesehatan masih terkonsentrasi pada upaya pengobatan (kuratif) belum preventif. Padahal, Paradigma sehat tidak saja meliputi penyembuhan penyakit, menurunkan angka kematian, atau memperpanjang umur harapan hidup, melainkan lebih luas, yaitu bahwa kesehatan mendorong penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas sejak dini sejak sebelum terjadinya pembuahan. Pada kenyataannya, kebijakan publik di bidang kesehatan belum memandang pelayanan kesehatan sebagai kebutuhan utama dan investasi SDM, hal ini tampak dari kecilnya anggaran belanja bidang kesehatan yang kurang dari 5% APBN. Bandingkan dengan anggaran bidang pendidikan yang telah mencapai 20% APBN.

B. USULAN

Perkembangan keadaan saat ini menuntut dilakukannya perubahan/ amendemen UU nomor 23 tentang Kesehatan 1992 dalam hal:

1. Perlunya perhatian khusus pada pelayanan kelompok beresiko tinggi yaitu Kesehatan ibu, Anak, remaja, usia lanjut dan penyandang cacat.
2. Adanya kepastian dan jaminan hukum mengenai penghentian kehamilan yang bermutu, aman, bertanggung jawab yang dilakukan oleh tenaga kesehatan atas indikasi kegawatan medis.
3. Adanya kepastian peningkatan anggaran kesehatan hingga mencapai 15% APBN
4. Perlunya menciptakan desentralisasi pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau dan adil.
5. Adanya jaminan yang tegas terhadap hak reproduksi yang berorientasi pada pembentukan generasi penerus bangsa yang sehat, berkualitas dan bertakwa.
6. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan yang lebih merata dan mutu pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi publik.
7. Meningkatkan layanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat tidak mampu
8. Memberikan arah bagi politik pembangunan nasional yang mengarah pada pembangunan yang berwawasan kesehatan.
9. Perlunya dimuat kembali pasal tentang bedah mayat, transplantai, dan transfuse sebagaiman telah diatur dalam uu no. 23 tahun 1992


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,






DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

UU TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

A. Pendahuluan

Salah satu kewajiban umat Islam yang menjadi salah satu rukun Islam dan mencerminkan wujud pertanggungjawaban sosial individu umat Islam adalah membayar zakat. Karena posisi yang demikian itu, maka keberhasilan pengelolaan zakat menjadi faktor dominan dalam menentukan kesejahteraan hidup umat Islam, dan akan menentukan perkembangan sektor-sektor strategis lain yang bagi umat Islam, seperti pendidikan. Pengalaman pengelolaan zakat di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat belum dilakukan sebagai suatu sistem yang baik dan efektif, serta sesuai dengan maqashidus syar’iyyah. Upaya melembagakan pengelolaan zakat sebagai suatu sistem yang baik bukannya tidak pernah dilakukan, antara lain dengan dibentuknya lembaga Bazis secara struktural-nasional dan diterapkannya model-model pengelolaan zakat oleh kelompok masyarakat tertentu. Tetapi sampai saat ini hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Pengelaman tentang keberhasilan pengelolaan zakat lebih bersifat kasuistik dan baru berjalan secara parsial dan belum menjadi sistem nasional.

Pelaksanaan zakat bagi umat Islam bisa dikategorikan sebagai salah satu bagian dari hukum (syari’at) Islam yang bisa diserap secara formal dalam sistem hukum nasional berupa UU yang diperuntukkan bagi khusus umat Islam. Dalam konteks ini maka kehadiran UU tentang Pengelolaan Zakat yang baik bisa dipahami dan menjadi kebutuhan mendesak umat Islam. UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaannya yang selama ini menjadi landasan juridis dalam pengelolaan zakat di Indonesia belum mampu menciptakan sistem pengelolaan zakat yang pensyariatannya bertujuan untuk menciptakan keadilan dan pemerataan (kay la yakuna dhulatan bayn-al aghniya’i minkum) dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan ini maka program legislasi untuk melakukan perubahan terhadap UU tentang Pengelolaan Zakat yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah bersama DPR merupakan langkah strategis dan harus mendapat dukungan.

B. USULAN

Substansi yang perlu menjadi materi pengaturan dalam RUU tentang Pengelolaan Zakat antara lain sebagai berikut:

1. Paradigma dan asas pengelolaan zakat.

Sesuai dengan arah pembentukan peraturan perundang-undangan, maka paradigma dan asas pengelolaan zakat yang diserap secara formal dalam hokum nasional melalui UU ini, maka harus ada jaminan bahwa melalui UU ini harus tercipta proses penyadaran di kalangan umat Islam untuk menunaikan kewajiban membayar zakat. Membayar zakat selain dipahami sebagai kewajiban yang bersifat syar’iy disadari juga merupakan kewajiban sebagai warga Negara.

2. Kelembagaan pengelolaan zakat.

Yang harus diperhatikan dalam kelembagaan pengelolaan zakat ini, adalah adanya kejelasan tentang status lembaga ini dalam tata kelola pemerintahan Negara (apakah lembaga Negara, semi Negara, atau lembaga mandiri), tugas dan kewenangannya, integritas sumber daya manusia yang akan mengisi lembaga, penerapan manajemen yang bersifat transparan dan akuntabel.

3. Pengumpulan, Pendistribusian dan Pendayagunaan.

Selain faktor kelembagaan, kemampuan manajemen pengelolaan zakat dalam mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan hasil zakat masih merupakan titik lemah dalam pengelolaan zakat selama ini. Kegiatan pengumpulan zakat belum berhasil menjaring semua muzakki. Pendistribusian hasil zakat juga sering menimbulkan masalah, baik ketidakmerataan, ketidakteraturan dan ketidakterbukaan. Lebih-lebih dalam hal pendayagunaan zakat. Hampir sebagian besar zakat yang berhasil dihimpun habis didistribusikan untuk hal-hal yang bersifat konsumstif.

4. Pengawasan Melekat

Beberapa kasus, lembaga berbadan hukum melakukan distribusi harta zakat secara tidak benar, seperti digunakan untuk bantuan pendirian rumah ibadah non muslim dengan alasan toleransi. Untuk itu perlunya pengawasan melekat terhadap lembaga-lembaga yang diberi hak untuk mengumpulkan atau menyalurkan zakat, infaq, shadaqah oleh instansi yang diberi wewenang untuk itu.

5. Partisipasi masyarakat

Sesuai dengan prinsip dan asas pembuatan peraturan perundang-undangan, serta berpedoman dengan qawaidut taqnin Nahdlatul Ulama, maka setiap norma hukum yang ditetapkan dalam suatu UU, maka implementasinya harus memberikan ruang partisipasi yang besar bagi masyarakat. Partisipasi masyarakat yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan proses pembentukan kelembagaan, rekrutmen sumber daya manusia, pemberian akses informasi kepada masyarakat, pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengawasan dan lain-lain.

6. Ketentuan tentang sanksi

Sebagai salah satu instrumen untuk membentuk dan melakukan perubahan sosial di tengah masyarakat, maka UU tentang Pengelolaan Zakat harus bisa mendorong para pihak yang keberadaannya ditetapkan dalam UU ini untuk menaati segala ketentuan. Karena itu ancaman sanksi harus diberikan secara tegas bagi pihak yang melakukan pelanggaran, apalagi ini menyangkut pengelolaan harta umat Islam.

Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,






DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYAH QONUNIYAH

TENTANG UNDANG-UNDANG BIDANG POLITIK

A. LATAR BELAKANG

Untuk mengimplementasikan amanah UUD 1945 hasil amandemen, telah dilakukan perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi digulirkan, terutama reformasi bidang politik. Kekuasaan negara dibagi secara tuntas ke dalam tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan pemerintahan, kekuasaan legislatif dan kekuasaan kehakiman, dan hubungan antara ketiga cabang kekuasaan tersebut dibangun dengan prinsip check and balances. UUD 1945 diamandemen tetapi dengan tetap mempertahankan bentuk NKRI, dasar Negara Pancasila dan pemerintahan tetap menggunakan sistem presidensiil. Lembaga-lembaga negara, baik yang lama maupun yang baru dan dibentuk berdasarkan ketentuan Konstitusi, dirumuskan eksistensinya sedemikian rupa sehingga dapat mendorong terwujudnya tujuan Konstitusi. Proses dan kegiatan demokrasi diperbarui, pemilihan umum diselenggarakan secara demokratis dan dibentuk penyelenggara pemilu yang lebih mandiri. Pengisian jabatan-jabatan publik secara umum dilakukan melalui mekanisme pemilihan. Presiden, anggota DPD dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Sejak reformasi Indonesia telah menyelenggarakan tiga kali pemilu legislatif dan dua kali pemilu presiden serta ratusan kali pemilu kepala daerah. Nyaris sepanjang tahun rakyat terlibat dalam kegiatan pemilu, yang secara tidak langsung mengurangi konsentrasi masyarakat dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.

Sampai di sini seakan-akan Indonesia telah berubah wajah: dari negara otoriter menjadi negara tempat bersemayamnya dengan subur kehidupan demokrasi. Dunia internasional memberikan apresiasi yang besar terhadap perkembangan kehidupan demokrasi. Tetapi setelah reformasi berjalan lebih dari 10 tahun dewasa ini rakyat justru menghadapi kondisi yang dirasakan tidak wajar dan tidak semestinya. Hiruk pikuk kegiatan politik, baik yang berlangsung secara reguler seperti pilkada atau pileg/pilpres, maupun kegiatan politik insidentil yang lahir dari dinamika politik yang sangat tinggi, belum berbanding lurus dengan perbaikan kesejahteraan rakyat. Proses demokrasi yang berjalan amat cepat makin meninggalkan masyarakat yang kondisinya tertatih-tatih secara ekonomi. Akibatnya, proses demokrasi melahirkan sikap aji mumpung, pragmatisme, dan budaya politik uang sehingga biaya demokrasi menjadi semakin mahal. Hal lain yang merisaukan, adalah berubahnya kesantunan dan etika politik, terganggungnya keistiqamahan para tokoh nonpolitik karena ikut masuk ke dalam percaturan politik praktis, dan hilangnya ruh keteladanan dalam kehidupan sosial karena faktor kehidupan politik. Banyak orang menilai, demokrasi yang berkembang di Indonesia belum sepenuhnya efektif untuk menciptakan kesejahateraan rakyat dan tatanan kehidupan yang lebih adil.

Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara tujuan dan cita-cita demokrasi yang luhur dan realitas sosial politik yang dihasilkan? Banyak faktor yang bisa diidentifikasi sebagai penyebabnya. Salah satunya adalah berkaitan dengan produk perundang-undangan yang menjadi instrumen pembentukan sistem dan tatanan sosial masyarakat. Ada beberapa materi UU bidang politik yang ikut menciptakan carut marutnya kehidupan politik, atau menyebabkan arah reformasi berjalan semakin liar. Karena itu, salah satu ikhtiar strategis yang penting untuk dilakukan adalah melakukan kajian dan perbaikan beberapa UU bidang politik.

B. MATERI UU YANG MENGANDUNG PROBLEM

1. UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah juncto UU No.12 Tahun 2008. Salah satu point penting yang diatur dalam UU ini adalah mengenai pemilihan kepala daerah, yaitu gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota, secara langsung oleh rakyat. Di dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa gubernur dan bupati /walikota dipilih secara demokratis. Hal ini berbeda dengan pemilihan presiden, yang di dalam rumusan pasal 6-A ayat (1) UUD 1945 disebutkan “Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat”. Para wakil rakyat sesuai dengan kewenangannya, membuat UU 32 tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008 dan menentukan pilihan politik hukum mengenai pemilihan kepala daerah, yaitu dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini merupakan keputusan politik yang berani dana lompatan jauh dibanding periode sebelumnya.

Memang, setelah pilkada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, rakyat menikmati hasil proses demokrasi dalam pemilui lokal, yaitu hadirnya kepala daerah yang memiliki legitimasi politik yang kuat. Tetapi pada sisi lain, muncul dampak negatif sebagaimana diuraikan di atas. Memang tidak mungkin untuk mengembalikan sistem kehidupan demokrasi ke sistem lama, yaitu kepoala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyat. Tetapi yang perlu diperhatikan, sejak digelar pilkada secara langsug oleh rakyat tahun 2005 telah muncul budaya pragmatism dan politik uang yang mengakibatnya tersingkirnya orang-orang yang memiliki integritas kepemimpinan yang baik, tetapi tidak cukup memiliki kapital untuk maju menjadi kepala daerah.

Khusus mengenai pemilihan guberbur secara langsung oleh rakyat, telah memunculkan persoalan “perebutan legitimasi” antara gubernur dan bupati/walikota, dan mengaburkan posisi gubernur yang di dalam Konstitusi dinyatakan sebagai wakil pemerintah pusat. Dalam konteks ini patut dikaji ulang. Apakah level gubernur tetap dipilih langsung oleh rakyat atau sebagai wakil pemerintah pusat geburnur cukup diangkat oleh presiden, atau dipilih melalui mekanisme perwakilan.
2. UU No. 10 tahuh 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. UU ini disusun dalam tekanan politik yang tinggi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya pasal yang substansinya merupakjan kompromi dari berbagai kepentingan politik, dan banyaknya pasal yang diajukan ke MK untuk dijudical review dan sebagian besar dikabulkan oleh MK. Beberapa ketentuan dalam UU ini yang menimbulkan implikasi politik yang tidak sederhana, antrara lain mengenai persyaratan parpol yang relatif ringan untuk bisa ikut pemilu sehingga melahirkan banyak partai peserta pemilu, ketentuan teknis penghitungan dan penetapan kursi yang tidak sederhana. Adapun mengenai sistem pemilunya sendiri sebagaimana yang diatur dalam UU ini, yaitu proporsional terbuka dengan suara terbanyak, sudah cukup ideal untuk kondisi Indonesia.

Penyelengraaan pemilu yang diikuti oleh banyak partai ternyata membengkakkan anggaran pemilu, dan memunculkan kerumitan teknis administratif yang luar biasa. Pada kenyataannya, meskipun banyak partai yang ikut penyelenggraraaan pemilu, hanya ada sembilan yang bisa lolos memenuhi ketentuan Parlemen Threshold 2,5% dari suara sah ecara nasional. Penetapan peroleh kursi dengan menggunakan suara terbanyak di tengah sistem multi partai melahirkan berbagai problem, seperti rumitnya teknis penghitungan suara dn rekapitulasi hasil penghtiungan suara, persaingan super ketat di kalangan calon, baik antrpartrai mapupun di internal partai, dan merebaknya politik uang. Karena itu sudah waktunya ada kemauan politik yang tegas dengan melakukan perubahan peraturan UU, untuk membatasi jumlah partai sampai pada angka yang ideal.

C. USULAN KOMENDASI

1. Pelaksanaan pemillihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat perlu diperbaiki sistem dan aturan pelaksanaannya sehingga tidak makin mengembangkan perilaku negatif dalam proses demokrasi di tengah masyarakat. Perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah jo UU No.12 Tahun 2008, atau dibuat UU tersendiri tentang pemilu kepala daerah, yang memungkinkan lahirnya persaingan yang sehat dalam proses pilkada, dan mencegah terjadinya politik uang. Khusus untuk gubernur, mengingat posisinya yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah dan untuk menyederhanakan pilkada tidak perlu lagi dipilih langsung oleh rakyat, tetapi cukup dipilih oleh presiden dari nama-nama yang diajukan oleh daerah melalui mekanisme DPRD.
2. Penghentian Pemekaran wilayah, karena apa yang terjadi selama ini justru tidak sejalan dengan tujuan demokratisasi karena yang dipertaruhkan adalah terjadinya perebutan jabatan dan perselisihan antara daerah induk dengan daerah yang dimekarkan akibat perebutan batas wilayah, aset daerah dan lain sebagainya.
3. Sejak awal dimulai pemerintahan yang baru setiap partai politik telah mempersiapkan kadernya yang akan duduk dalam DPR maupun di lembaga eksekutif agar sejak awal telah memiliki idealisme untuk memperjuangkan kepentingan pembangunan baik yang bersikap nasional maupun daerah guna menghindari munculnya kader karbitan yang muncul secara tiba-tiba akibat dukungan kekuatan relasi dan finansial.
4. Untuk menyedederhanakan proses demokrasi dan menghindarkan berulangkalinya penyelenggaraan pemilu, perlu direncanakan penyelenggaraan pemilu dengan memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal. Dengan demikian hanya akan ada dua kali pemilu, yaitu pemilu nasional untuk memilih presiden, anggota DPR dan DPD, dan pemilu lokal untuk memilih bupati/walikota dan anggota DPRD.
5. Paket UU bidang politik juga perlu direvisi untuk mewujudkan sistem pemilu yang lebih demokratis, efektif dan lebih mudah. Pembatasan jumlah partai perlu dilakukan dengan memperketat persyaratan untuk bisa ikut pemilu yang bertujuan untuk menghindari kebingungan rakyat pemilih dan efisiensi anggaran.


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,






DARFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

PERLU SEGERANYA PERATURAN PEMERINTAH

TENTANG PORNOGRAFI

A. Pendahuluan

Rancangan Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi telah disahkan DPR menjadi Undang-undang Pornografi pada tanggal 30 Oktober 2008. Dengan demikian Indonesia telah memiliki aturan formal mengenai pornogarfi dan pornoaksi. Diharapkan Undang-undang ini akan dapat menyelamatkan bangsa dari kerusakan moral akibat pornografi dan pornoaksi yang sekarang ini semakin terbuka dan mudah diakses.

Namun demikian, keberadaan Undang-undang ini belum memberikan dampak positif terhadap maraknya pornografi dan pornoaksi di tengah-tengah masyarakat kita, sebab untuk efektifnya pelaksanaan sebuah undang-undang diperlukan peraturan pemerintah. Sementara sampai saat ini belum ada tanda-tanda pemerintah akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang pornografi dan pornoaksi.

B. URGENSI PP PORNOGRAFI

PP tentang pornografi sangat dibutuhkan di samping sebagai penjabaran yang lebih operasional terhadap isi UU Pornografi, juga untuk memperjelas definisi dan batasan pornografi sebagaimana yang terkandung dalam UU Pornografi. Sebagaimana diketahui keberatan beberapa pihak terhadap UU ini di antaranya adalah definisi pornografi yang melahirkan berbagai pemahaman. Di satu sisi UU ini menjamin kelestarian budaya bangsa, tetapi jika dilihat dari pasal-pasalnya memungkinkan tradisi atau budaya local masuk dalam kategori pornografi. Bahkan ada tuduhan dari beberapa pihak bahwa UU Pornografi bertentangan dengan UUD 1945 terkait karena adanya pembatasan terhadap kebebasan berekspresi. Atas dasar itu, maka PP tentang Pronografi diharapkan mengakhiri seluruh persengketaan yuridis formal dari undang undang tersebut.

Karena itu, diterbitkannya peraturan pemerintah diharapkan dapat menjembatani perlindungan terhadap moral bangsa dan tradisi budaya Indonesia yang berlandaskan bhineka tunggal ika.

C. USULAN

1. Segera diterbitkan PP-nya agar UU Pornografi bisa berjalan efektif dan manfaatnya dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia.

2. Perlunya penegasan kategori dan kriteria pornografi dan pornoaksi agar tidak menimbulkan salah tafsir dan salah paham di kalangan masyarakat.

3. Kriteria pornografi dan pornoaksi:

a. Terbuka untuk umum tanpa batas usia

b. Subyek Aktornya bukan anak-anak

c. Dominasi daya tarik pornografi dan pornoaksi untuk merangsang hasrat seksual. (ma tasytahihi anfusu wa taladzul a’yun)

d. Tidak terkait ritual keagamaan atau aksi spiritual keagamaan.

e. Tidak membawa misi utama pesan moral dan kepentingan pendidikan atau eksposisi dan konfigurasi seni berbobot tinggi. Dengan kejelasan instrument yang dapat dijadikan ukuran tentang merangsang syahwat dan nilai seni.

4. Perlunya ketegasan dalam PP, apakah kasus yang terkait dengan Pornografi termasuk delik aduan atau delik biasa/pidana.

5. Sanksi hukum yang jelas, tegas dan dijatuhkan pada subyek aktor atau fasilitatornya secara konsisten.

6. Sosialisasi tentang akibat yang ditimbulkan dan penegasan terhadap aparat yang berwenang untuk itu

7. Perlunya aturan kendali dalam pengembangan Teknologi Informatika terutama hal-hal yang terkait dengan akses internet porno.

8. Perlunya penambahan kuantitas unsur ulama dalam LSF

9. Perlunya instansi khusus yang menangani hal-hal yang terkait dengan pornografi dan pornoaksi

Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,





DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

PP NO. 55 TAHUN 2007

PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN

A. Pendahuluan

Pendidikan diniyah dan pesantren adalah model/system pembelajaran yang tumbuh dan berkembang berbasis nilai, karakter, dan budaya. Diantara keutamaannya adalah transformasi ilmu pengetahuan yang bersifat substansif dan egalitarian. Sistim pendidikan di pondok pesantren terbukti telah melahirkan format keilmuan yang multi dimensi yaitu ilmu pengetahuan agama, membangun kesadaran sosial dan karakter manusia sebagai hamba Allah. Atas dasar itu, maka dalam pengaturan PP No. 55 Tahun 2007 hendaknya memuat penegasan yang lebih kongkrit bukan saja terhadap masa depan pondok pesantren akan tetapi imbalan jasa yang patut di terima oleh pondok pesantren atas perannya dalam membina karakter bangsa yang merupakan sinergi antara mujahadah, ijtihad dan jihad.

Kehadiran PP 55/2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan diarahkan untuk memperkuat pelaksanaan pendidikan agama dan keagamaan. Regulasi ini menegaskan perlunya pendidikan yang memberikan pengetahuan dan pembentukan sikap, kepribadian, keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya dan pentingnya pendidikan keagamaan dalam mempersiapkan peserta didik memiliki pengetahuan agama dan menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan agamanya.

Oleh karena itu regulasi ini memerlukan berupa Peraturan Menteri Agama yang dapat memperjelas maksud PP ini. Regulasi yang akan dikeluarkan akan lebih baik apabila tetap memelihara karakter pesantren itu sendiri antara lain kemandirian pesantren sehingga regulasi yang akan dibuat tetap menjamin otonomi kelembagaan, pengelolaan akademik yang terkait dengan system pembelajarannya.

Isu pokok pada PP 55/2007 yang harus ada adalah penegasan tentang beberapa hal sebagai berikut:

1. Pengertian yang disebut pendidikan keagamaan formal, disebabkan kata “formal” menimbulkan masalah karena akan berhadapan dengan realitas pesantren yang secara historis memiliki otonomi kelembagaan, dan manajemen. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa pondok pesantren sama sekali terlepas dari perhatian manajemen pendidikan nasional.
2. Pondok pesantren telah memiliki pendidikan diniyah. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah masih perlu mendirikan pendidikan diniayah formal atau jalan keluarnya dengan adanya program pemerintah mendirikan pendidikan diniyah formal yang bersifat program percontohan akan tetapi tidak menyaingi lembaga pendidikan sejenis yang sudah ada.
3. Peraturan Pemerintah diperlukan tentang peserta didik, ujian, kurikulum dan penghargaan terhadap lulusan yang dihasilkan dari pondok pesantren.

B. Isi PP No. 55 Tahun 2005

1. Pasal 14 – 20: Pendidikan diniyah diselenggarakan pada jalur formal, non formal dan informal. Diperlukan penjelasan tentang ketiga jalur tersebut, apakah ketiga jalur tersebut harus ada atau hanya sekedar tawaran pilihan

2. Pasal 15, 16

Pendidikan Diniyah Formil

Perlu dipertegas posisi pemerintah

Seharusnya diniyah formal tidak diperlukan

3. Pasal 17,18,19

Apakah diperlukan pengaturan yang ketat tentang peserta didik, kurikulum dan ujian

Kalau terjadi pengaturan dikhawatirkan akan terganggu kemandirian dan keberlangsungan Pendidikan Diniyah Pasal 23 Majelis Taklim

Diperlukan penegasan bahwa majelis taklim adalah system pendidikan non formal sehingga dalam PP penyelenggaraan pendidikan majelis taklim termasuk di dalamnya.

4. Pasal 14 & 26 Tentang Pesantren:

Kurang jelas pengertian pondok pesantren

5. Pasal 14 ayat c menyebutkan

Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai system dan atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal

6. Pasal 26

Ayat 2:

Perlu penegasan dalam Peraturan Menteri Agama tentang hal berikut:.

Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah dan atau pendidikan tinggi.

C. Analisis

1. Dalam PP/2007 tentang Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan pendidikan diniyah dibagi menjadi pendidikan diniyah formal, informal, dan nonformal. Permbagian tersebut perlu penjelasan karena dipahami bahwa pendidikan diniyah adalah pendidikan nonformal.
2. Penggunaan kata”formal” seperti “pendidikan diniyah formal” dalam PP tersebut memungkinkan terjadinya formalisasi pendidikan keagamaan yang dikhawatirkan pendidikan keagamaan yang sudah mapan di lapangan mengalami reduksi atau intervensi.
Perlu adanya penegasan bahwa pencantuman “formal” itu hanyalah sebutan alternative atau opsi, dan dalam rangka proses memperoleh recognisi (pengakuan).
3. Pasal (14 dan 26) tentang pesantren perlu penegasan pesantren sebagai wadah atau sebagai suatu pendidikan.
4. Regulasi yang akan dibuat tetap mempertahankan kesinambungan dan kemandirian pesantren.
5. Majelis taklim hendaknya berfungsi sebagai satuan pendidikan non-formal.

D. USULAN

1. Untuk membentuk pemahaman dan penjelasan tentang PP 55 / 2007 diperlukan peraturan Menteri Agama. PMA tersebut dapat menjamin keaslian, kesinambungan dan kemandirian pendidikan diniyyah dan pesantren.
2. PMA dan kebijakan tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan diharapkan mempertahankan otonomi kelembagaan, otonomi pengelola, otonomi akademik yang terkait dengan sistem pemberdayaan.
3. Menghidari sekolah “formal” seperti pendidikan diniyyah formal sehingga tidak terkesan adanya formalisasi pendidikan keagamaan.
4. Perlunya penekanan bagi sekolah-sekolah formal untuk mewajibkan siswa-siswinya mengikuti pendidikan diniyah sebagai solusi keterbatasan jam belajar materi agama di sekolah.
5. Penekanan fungsi pemerintah sebagai institusi yang memberikan pengakuan dan fasilitas dengan memberikan porsi pesantren sebagai sub system pendidikan yang memiliki spesifikasi khusus, bukan untuk melakukan intervensi dalam pendidikan diniyah.
6. Beberapa pasal dalam PP 55/2007 memerlukan revisi seperti tentang pendidikan diniyyah formal, pesantren, dll.
7. Kemandirian kurikulum pesantren dan madrasah diniyah sedapat mungkin agar tidak diganggu.


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,





DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

A. PENDAHULUAN

Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Dalam Islam masalah halal-haram dalam hal makanan sangat diatur dengan ketat, sehingga orang muslim tidak boleh mengonsumsi makanan dengan tidak mengindahkan ketentuan halal atau haram. Pengonsumsian makanan haram bagi seorang muslim akan berakibat dosa dan dapat menyebabkannya tidak bahagia di dunia dan akhirat. Karena itu ketersediaan makanan halal menjadi yang primer bagi seorang muslim.

Sementara itu, produk-produk makanan yang ada di Indonesia bervariasi ada yang halal dan ada yang haram. Persoalannya, produk-produk tersebut sulit diidentifikasi halal-haramnya oleh masyarakat umum karena ketidakmengertian masyarakat tentang kandungan makanan dan/atau identifikasi zat-zat yang tergolong haram.

Karena itu, untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi konsumen muslim, keberadaan undang-undang tentang jaminan Produk Halal sangat penting dan akan memberikan ketentraman batin dalam mengonsumsi dan memakai produk yang sesuai dengan tuntutan Islam.

B. USULAN

1. Pengawasan kehalalan produk baik produk dalam negeri maupun produk impor harus diatur secara tegas, jelas, dan efektif.
2. Kewenangan untuk memberikan labelisasi halal ada pada pemerintah, sedang pelaksanaan tehnisnya pemerintah harus melibatkan Majelis Ulama Indonesia (catatan: usul Majelis Ulama Indonesia mempunyai otoritas dan kewenangan di bidang fatwa kehalalan suatu produk sebagai pelaksanaan otoritas syar’i pemerintah mempunyai kewenangan bidang administrasi termasuk pemberian labelisasi halal).
3. Kewajiban produsen untuk menjamin produk halal diatur, dilaksanakan, dan diawasi secara efektif dalam berbagai peraturan perusahan sebagai tindak lanjut dan norma mandatory dalam undang-undang
4. Pelanggaran atas ketentuan undang-undang atas jaminan produk halal diberi sanksi baik bersifat administrative, ganti rugi dan atau pidana.
5. Selain tersedianya auditor halal yang akan melakukan audit suatu kehalalan suatu produk undang-undang harus juga mengatur adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang bertugas melakukan penyidikan terhadap pelanggaran pidana dalam Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal.


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,



Ketua, Sekretaris,





Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis H. Ahmad Zubaidi, MA

Anggota:

1. Drs. H. Selamet Effendy Yusuf, M. Si
2. H. Muhammad Fajrul Falaakh, SH, MA
3. KH Safruddin
4. Dr. H. Wahiduddin Adams, SH. MA
5. Dr. dr. H. Syahrizal
6. Dr. H. Hilmi Muhammadiyah, MA
7. Drs. H. Syaifullah Maksum

DRAFT

BAHTSUL MASAIL DINIYYAH QANUNIYYAH

TENTANG

TINDAK LANJUT UNDANG-UNDANG NO.13 TAHUN 2008

TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI

A. PENDAHULUAN

Ibadah haji merupakah salah satu ibadah dalam Islam yang memerlukan pengaturan yang komprehensip, hal ini mengingat pelaksanaan ibadah haji berada di luar negeri dan sangat jauh dari Indonesia. Ditambah lagi adanya keterkaitan antar lembaga dan kementerian yang memerlukan sinkronisasi kebijakan. Untuk memindahkan ratusan ribu jamaah baik saat keberangkatan atau kepulangan, serta mengatur pemondokan dan segala hal yang berkaitan dengan akomodasi bukanlah hal yang mudah. Juga berkaitan dengan minat umat Islam yang sangat tinggi untuk menunaikan ibadah haji perlu pengaturan yang jelas. Di sinilah diperlukannya keterlibatan pemerintah/Negara untuk mengatur pelaksanaan ibadah haji.

Dengan adanya UU No. 13 Tahun 2008 sebagai revisi atas UU No. 19 Tahun 1999 merupakan sinyal positip dari pemerintah akan perlunya keterlibatan pemerintah dalam regulasi penyelenggaraan ibadah haji. Namun demikian, keberadaan UU tersebut perlu dilihat lebih jauh apakah sudah memenuhi harapan umat Islam untuk terselenggaranya ibadah haji yang baik, biaya rasional dan akuntabel.

Karena itu, dalam Muktamar NU ke-32, muktarimin memberikan sikap, catatan-catatan, dan usulan sebagai kontribusi pemikiran untuk dapat terselenggaranya pelaksanaan ibadah haji dengan baik, dalam artian jamaah haji merasa puas terlayani dan mereka dapat beribadah dengan khusyu’ serta keungannya transparan dan akuntabel.

B. SIKAP MUKTAMIRIN

1. Pengawasan kehalalan produk baik produk dalam negeri maupun produk impor harus diatur secara tegas, jelas, dan efektif.
2. Guna untuk lebih efektifnya pengawasan penyelenggaraan ibadah haji sesuai ketetapan undang-undang perlu segera dibentuk komite pengawas haji Indonesia. Pemerintah segera mengusulkan keanggotaannya untuk diangkat oleh Presiden.
3. Mengingat persoalan yang menyangkut pengorganisasian pelaksanaan ibadah haji selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun maka dalam pelaksanaan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji diperlukan adanya Tim Penelitian dan Pengembangan Perhajian Nasional yang secara terus memantau, mengkaji dan meneliti perkembangan segala sesuatu yang menyangkut manajemen perhajian terutama di Arab Saudi sehingga pemerintah tidak selalu mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian kebijakan dengan perubahan peraturan yang terjadi sewaktu-waktu akibat ketetapan Pemerintah Arab Saudi yang berdampak pada kesulitan yang dialami para calon jamaah haji.
4. Usulan dalam penetapan PP:

a. Kejelasan tentang kriteria perumahan dan katering jamaah haji yang layak.
b. Peningkatan Pelayanan Haji secara umum.
c. Ketentuan kesempatan berhaji.
d. Inti masalah haji karena tidak terpisahnya pelaksana dan pengawas.
e. Transparansi dana yang dikelola oleh Departemen Agama dan harus ada laporan yang jelas kepada masyarakat.
f. Dana abadi ummat diupayakan bisa digunakan untuk talangan setoran haji oleh jamaah.
g. Penertiban KBIH sampai pada batas pengawasan atas pembiayaan yang dikelola.
h. Perlunya pengawas independent (catatan: Butir ini dihapus karena fungsi ini telah ada pada Komite Pengawas Haji Indonesia yang merupakan badan independen menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008).
i. Dalam kaitan Pasal 11 ayat (2) dan (3) bila petugas Depag tidak ada yang memenuhi sayarat (kemampuan dibidang manasik haji) maka Menteri Agama dapat menunjuk Petugas Haji dari Ormas Islam.


Makasar, …………………..2010
Komisi Bahsul Masail Diniyah Qanuniyah,



Ketua, Sekretaris,





Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis H. Ahmad Zubaidi, MA

Anggota:

1. Drs. H. Selamet Effendy Yusuf, M. Si
2. H. Muhammad Fajrul Falaakh, SH, MA
3. KH Safruddin
4. Dr. H. Wahiduddin Adams, SH. MA
5. Dr. dr. H. Syahrizal
6. Dr. H. Hilmi Muhammadiyah, MA
7. Drs. H. Syaifullah Maksum
Kembali ke atas
Diposkan oleh MUQTAV AZKA IBADILLAH di 09:04 0 komentar
Label: Bahtsul Masail
BM Diniyah Maudluiyah- Muktamar NU Ke-32
BM Diniyah Maudluiyah


NASKAH RANCANGAN KEPUTUSAN

KOMISI BAHSUL MASAIL DINIYAH MAUDLU’IYYAH


MUKTAMAR KE-32 NAHDLATUL ULAMA

DI MAKASSAR

TANGGAL 22 - 27 MARET 2010

بسم الله الرحمن الرحيم



DRAFT

BAHSUL MASAIL AL-DINIYYAH AL-MAUDLU'IYYAH

MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA' KE-32

TH. 1431 H. / 2010 M.





1. FORMAT PENETAPAN HASIL BAHSUL MASAIL



Deskripsi Masalah

Isbatul ahkam dalam NU selama ini tidak dimaksudkan sebagai aktifitas menetapkan hukum yang secara langsung bersumber dari al-Qur’ân dan hadis, karena yang bisa melakukan hal ini adalah ulama yang masuk kategori mujtahid. Isbatul ahkam dalam konteks ini dimaksudkan sebagai penetapan hukum dengan cara men-tathbiq-kan (mencocokkan, menerapkan) secara tepat dan dinamis dari qaul dan ’ibarah terutama dalam kutub mu’tamadah di lingkungan mazhab Imam Syafi’i.

Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992, Ulama NU merumuskan perkembangan penting dari sistem isbatul ahkam. Ketika itu mulai diintrodusir ijtihad manhaji meskipun belum sepenuhnya mampu diaplikasikan dalam bahsul masail. Dalam Munas tersebut dirumuskan prosedur dan langkah-langkah penetapan hukum.

Dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo ada perkembangan baru, yaitu sejumlah ayat al-Quran dan al-Hadis dicantumkan dalam setiap jawaban persoalan hasil bahsul masail, tradisi demikian, nyaris tidak pernah dilakukan dalam bahsul masail NU sebelumnya.

Di samping itu, dalam Munas Alim Ulama di Surabaya tahun 2006, Ulama NU membuat pengelompokan kutub mu’tamadah di semua mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).



Pertanyaan :

1. Apakah perlu mencantumkan ayat-ayat al-Quran, al-Hadis, dan dalil-dalil syara’ lainnya dalam jawaban bahsul masail NU?

2. Jika memang diperlukan mencantumkan al-Quran dan al-Hadis, bagaimana formatnya? Apakah menggunakan urutan sesuai dengan tingkat kekuataannya (al-Quran, al-Hadis, al-adillatul ukhra kemudian aqwalul ulama), ataukah aqwalul ulama baru kemudian ayat al-Quran dan al-Hadis, dan al-adillatul ukhra?.

3. Sejauh mana muqaranatul madahib diperlukan dalam bahsul masail NU dengan menggunakan kutub mu’tamadah yang telah dirumuskan dalam Munas Alim Ulama di Surabaya?



Jawaban :

1. Musyawirun sepakat untuk mencantumkan ayat Al-Qur’an dan hadits, dengan ketentuan:

a. Wajhud dilalah-nya relevan dengan tema yang dibahas.

b. Ayat al-Qur’an / hadits yang dicantumkan adalah bagian pendapat ulama. Untuk itu ayat al-Qur’an atau al-hadits yang dicantumkan dilengkapi dengan tafsirnya atau syarhul hadits-nya.

2. Musyawwirun berbeda pendapat, antara mendahulukan ayat Al-Qur’an, al-hadits, dan al-adillatul ukhra atau mendahulukan aqwalul ulama. Sebagian mengatakan, aqwalul ulama didahulukan, sebagian lain berpendapat, ayat al-Qur’an, al-hadits, dan al-adillatul ukhra didahulukan.

3. Kesadaran akan pentingnya muqaranatul madzahib muncul dari prinsip wajibnya memilih qaul yang kuat atau lebih kuat dalilnya untuk diamalkan, karena untuk mengetahui bahwa suatu madzhab atau qaul memiliki dalil yang kuat atau lebih kuat diperlukan kegiatan muqâranah. Di pihak lain, kegiatan muqaranatul madzahib membuat seseorang menjadi kaya dengan aqwâl. Dan kekayaan aqwal bisa menjadi rahmah dengan adanya pilihan-pilihan dan jalan keluar dari himpitan situasi, dengan tetap berpegang pada prinsip عدم تتبع الرخص (tidak hanya mencari kemudahan semata)











2. DLAWABITHUL MASJID



Deskripsi Masalah

Secara etimologi, masjid berarti tempat sujud. Selain masjid, ada istilah lain; mushalla, langgar, surau, dan sebagainya, yang digunakan untuk arti yang sama: tempat untuk sholat yang identik dengan sujud.

Terminologi masjid inipun di daerah tertentu memiliki banyak sebutan, misalnya: Masjid biasa (la tuqamu fihil jumu’ah), Masjid Jami’ (tuqamu fihil jumu’ah), Masjid Raya, Masjid Agung, dll.

Meningkatnya ghirah umat Islam untuk menjalankan ibadah, melahirkan sebuah tempat yang asalnya aula, lapangan, atau tempat parkir menjadi tempat untuk sholat –bahkan juga untuk sholat jum’at–. Belum lagi banyaknya perkantoran, hotel, mall, stasiun, terminal yang mendirikan tempat ibadah yang difungsikan sebagai masjid, misalnya untuk jum’atan, i’tikaf, dsb.

Bahkan sekarang ini, dengan jumlah jama’ah yang makin banyak, jarak antara satu masjid dengan masjid yang lain terlalu dekat dan tidak memenuhi persyaratan jarak minimal di antara dua masjid sebagaimana dipersyaratkan imam sebagian mazhab.

Pertanyaan :



1. Apa kriteria suatu tempat layak disebut masjid, sehingga tempat itu memiliki keistimewaan, misalnya: untuk jum’atan, i’tikaf, tahiyattul masjid, larangan orang ber-hadas besar berdiam di dalamnya, dsb.?

2. Apakah tahiyyatil masjid berlaku bagi musholla, langgar, dan surau ?.

3. Bagaimana pandangan musyawirin terhadap persyaratan pendirian masjid dikaitkan dengan Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 9 dan 8, tahun 2006, di mana persyaratan minimal untuk mendirikan tempat ibadah (termasuk masjid) harus ada 90 orang jama’ah?

Jawaban :



1. Status suatu tempat dianggap sebagai masjid yang memiliki beberapa kekhususan, seperti menjadi tempat i’tikaf, shalat sunnah tahiyyatil masjid, haramnya orang ber-hadats besar diam di dalamnya dan sebagainya terwujud dengan beberapa cara:

a. Dengan pernyataan dari seseorang dalam kapasitasnya sebagai malik (pemilik) atau nadzir (pengelola/pengawas), misalnya dia mengatakan: “tanah ini saya wakafkan sebagai masjid, atau saya jadikan masjid, atau sebagai tempat i’tikâf.

b. Dengan qorinah yang menunjukkan sebagai masjid walaupun tanpa pernyataan, misalnya : pembangunan dilakukan di atas tanah mawat (tanah tak bertuan) dengan niat masjid, atau dengan adanya pemungutan sumbangan untuk dana pembangunan masjid. Maka, dengan terlaksananya pembangunan, tempat dimaksud dengan sendirinya menjadi masjid.

c. Status masjid terjadi bila seorang menentukan sebuah tempat dan mempersilahkan orang untuk i’ktikaf di dalamnya, maka tempat dimaksud menjadi masjid.

2. Setiap tempat yang dijadikan tempat shalat adalah disebut masjid. Karenanya, apapun nama atau istilahnya sepanjang digunakan untuk tempat shalat adalah masjid, sehingga dianjurkan (masyru’) untuk melakukan shalat tahiyyatil masjid di temapt tersebut. Sementara itu sebagian kecil musyawirin berpendapat bahwa, mushala, langgar, dan surau tidak dianggap masjid. Sehingga tidak dianjurkan (ghairu masyru’) shalat tahiyyatil masjid.

3. Peraturan tersebut dapat dibenarkan dan wajib ditaati apabila mengandung kemaslahatan, karena pemerintah memiliki kewenangan mengatur pembangunan masjid di wilayahnya sebagaimana juga pemerintah memiliki kewenangan mengatur pembangunan tempat ibadah agama lain.

السنة المطهرة:



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنْ اْلأَنْبِيَاءِ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا" (رواه البخاري عن جابر؛ رقم 328، بيروت، دار ابن كثير، سنة 1407 مـ. / 1987 هـ.، طبعة 3، ج 1، ص 128)



قال ابن حجر العسقلاني في شرح هذا الحديث:

"جعلت لي الأرض مسجدا" أي كل جزء منها يصلح أن يكون مكانا للسجود, أو يصلح أن يبنى فيه مكان للصلاة. (فتح الباري شرح صحيح البخاري، بيروت، دار المعرفة، سنة 1379، ج 1، ص 533)



أقوال العلماء :

قال شمس الدين الرملي: أنه لو سمر السجّادة صح وقفها مسجدا وهو ظاهر، ثم رأيت العناني في حاشيته على شرح التحرير لشيخ الإسلام قال: "وإذا سمر حصيرا أو فَروة في أرض أو مسطبة ووقفها مسجدا صح ذلك وجرى عليهما أحكام المساجد ويصح الاعتكاف فيهما ويحرم على الجنب المكث فيهما وغير ذلك"، اه. (نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج, كتاب الاعتكاف, ج 3، ص 465)



قال محمد نووي الجاوي: ومثل الاعتكاف صلاة التحية فلو قال: أذنت في صلاة التحية في هذا المحل صار مسجدا لأنها لا تكون إلاّ في المسجد، ولو بنى البقعة على هيئة المسجد لا يكون البناء كناية وإن أذن في الصلاة فيه إلا في موات فيصير مسجدا بمجرد البناء مع النية لأن اللفظ إنما احتيج إليه لإخراج ما كان في ملكه عنه، وهذا لا يدخل في ملك من أحياه مسجدا فلم يحتج للفظ وصار للبناء حكم المسجد تبعا ويجري ذلك في بناء مدرسة أو رباط وحفر بئر وإحياء مقبرة في الموات بقصد السبيل. (نهاية الزين شرح قرة العين، محمد بن عمر بن علي بن نووي الجاوي، بيروت، دار الفكر، طبعة 1، ص 269)

وقال: وخرج بالمسجد المدارس والربط ومصلى العيد والموقوف غير مسجد فلا يحرم فيه ذلك، نعم إن لوّثته الحائض حرم من حيث تنجس حق الغير. (نهاية الزين شرح قرة العين، محمد بن عمر بن علي بن نووي الجاوي، بيروت، دار الفكر، طبعة 1، ص 34)











3. DLABITH AL-THIFL





Deskripsi Masalah

Menurut Undang-undang RI No.23 tahun 2002 tentang “Perlindungan Anak”, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dalam undang-undang ini, definisi anak berpatokan pada kepastian usia (18 tahun) dan tidak melihat faktor lain, misalnya daya kemampuan fisik dan mental (psikis) untuk menetapkan akhir masa kanak-kanak berpindah menjadi dewasa (baligh), yaitu dengan keluarnya sperma bagi laki-laki dan telah menstruasi (bagi wanita).

Sementara itu dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, batas usia minimal nikah bagi wanita adalah 16 tahun dan bagi laki-laki 19 tahun.

Berbeda dengan UU Perlindungan Anak, Utsman Najati dalam kitabnya “al-Hadits al-Nabawi wa ‘ilm an-Nafs”, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1989, hal. 234), menyatakan, marhalah thufulah tercakup fase-fase perkembangan anak yang meliputi; 1) fase menyusui (marhalat radha’ah), usia 0-2 tahun, 2) fase awal usia anak (thufulah mubakkirah), usia sekitar 3-6 tahun, 3) fase tengah usia anak (thufulah mutawassithah), usia sekitar 6-9 tahun, dan 4) fase akhir usia anak (thufulah muta’akhirah), usia sekitar 9-12 tahun.

Dalam literatur lain disebutkan, fase kanak-kanak dimulai dari umur 3-6 tahun, atau di atas itu, yaitu hingga umur 9 tahun. Selain itu ada Fase Menjelang Remaja (Marhalat Qablal Hulm), Fase Remaja (Marhalatu Al-Hulm), dan kemudian memasuki Fase Dewasa (Marhalah Rusydah). Ringkasnya, seseorang disebut anak ketika usianya di bawah 9 tahun dan bukan 16 atau 18 tahun versi UU Perlindungan Anak.

Dari batasan usia anak – baik menurut syariat Islam maupun versi UU Perlindungan Anak – , maka semua tindakan dan perbuatan anak ketika anak melakukan tindak pidana atau kriminalitas konsekwensinya ditangung orang tuanya, belum boleh menikah, hak pilih, dll.





Pertanyaan :



1. Bagaimana definisi dan kriteria “anak” dalam perspektif Islam? Dan apa konsekuensi hukum ketika anak yang belum mencapai batasan baligh melakukan perbuatan hukum, misalnya: nikah, mu’amalah, jinayat, dan lain-lain?. Di samping itu apa pula konsekuensi hukum ketika batasan usia baligh dalam Islam berbenturan dengan batasan usia dalam hukum positif (UU Perlindungan Anak)



Jawaban :

1. Anak (ath-thifl) ialah manusia yang belum memasuki kondisi baligh (dewasa). Ada empat tanda, bahwa seseorang telah dianggap baligh.

Pertama: usia, dan itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Bagi laki-laki berumur 15 tahun –menurut Syafi’iyyah dengan perbedaan dalam menentukan 15 tahun, sebagian berpendapat sempurna 15 tahun, sebagian yang lain berpendapat 14 tahun 6 bulan. Menurut Hanafiyah, untuk laki-laki ada dua riwayat, 19 tahun dan 18 tahun. Untuk perempuan juga terdapat dua riwayat, 18 tahun dan 17 tahun. Sedangkan Malikiyyah tidak mengakui usia sebagai batasan baligh.

Kedua: Hulm (keluar mani karena mimpi, senggama, atau lainnya) setelah sempurna usia 9 tahun bagi laki-laki dan perempuan.

Ketiga: Haidl (menstruasi) dan hamil. Haidl sebagai batasan baligh setelah sempurna usia 9 tahun. Sedangkan hamil apabila umur kandungan 6 bulan lebih dalam usia 9 tahun.

Keempat: Inbat (tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan). Dalam perspektif Islam inbat tidak dianggap sebagai batasan baligh meskipun dalam budaya kalangan kafir hal itu dianggap sebagai batasan baligh. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa inbat dianggap juga sebagai batasan baligh.

القرآن الكريم :

﴿وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ﴾ (النور: 59)

قال القرطبي :

والمعنى : أن الأطفال أمروا بالإستئذان فى الأوقات االثلاثة المذكورة وأبيح لهم الأمر في غير ذلك كما ذكرنا, ثم أمر تعالى في هذه الآية أن يكونوا إذا بلغوا الحلم على حكم الرجال فى الإستئذان في كل وقت. (الجامع لأحكام القرآن / تفسير القرطبي، محمد بن أحمد بن أبي بكر بن فرح القرطبي، القاهرة, دار الشعب، سنة 1372 هـ.، طبعة 2، ج 12، ص 308)

وقال:

وقال مالك وأبو حنيفة وغيرهما: لا يحكم لمن لم يحتلم حتى يبلغ ما لم يبلغه أحد إلا احتلم, وذلك سبع عشرة سنة فيكون عليه حينئذ الحد إذا أتى ما يجب عليه الحد, وقال مالك مرة: بلوغه بأن يغلظ صوته وتنشق أرنبته . وعن أبي حنيفة رواية أخرى: تسع عشرة سنة, وهي الأشهر، وقال فى الجارية: بلوغها لسبع عشرة سنة وعليها النظر، وروى الؤلئي عنه : ثمان عشرة سنة. ((الجامع لأحكام القرآن / تفسير القرطبي، القاهرة, دار الشعب، سنة 1372 هـ.، طبعة 2، ج 5، ص 35)



﴿وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ﴾ (النساء: 6)



وقال البيضاوي:

{حتى إِذَا بَلَغُواْ النّكَاحَ} حتى إذا بلغوا حد البلوغ بأن يحتلم ، أو يستكمل خمس عشرة سنة عندنا لقوله عليه الصلاة والسلام: " إذا استكمل الولد خمس عشرة سنة، كتب ماله وما عليه وأقيمت عليه الحدود " وثماني عشرة عند أبي حنيفة رحمه الله تعالى. وبلوغ النكاح كناية عن البلوغ، لأنه يصلح للنكاح عنده. (أنوار التنـزيل وأسرار التأويل / تفسير البيضاوي، ناصر الدين بن عمر بن محمد البيضاوي، بيروت، دار الفكر، سنة 1416 هـ. / 1996 مـ.، ج 2، ص 149)



وقال الخازن :

وأما الذي يختص بالنساء فهو الحيض والحبل فإذا حاضت الجارية بعد استكمال تسع سنين حكم ببلوعها وكذلك إذا ولدت حكم ببلوغها قبل الوضع بستة أشهر لأنها أقل مدة الحمل (لباب التأويل في معاني التنزيل / تفسير الخازن، علاء الدين علي البغدادي الشهير بالخازن، بيروت، دار الفكر، سنة 1399 هـ. / 1979 مـ.، ج 1، ص 480)



وقال البغوي :

فالبلوغ يكون بأحد {أشياء أربعة} (2) ، اثنان يشترك فيهما الرجال والنساء، واثنان تختصان بالنساء:

فما يشترك فيه الرجال والنساء أحدهما السن، والثاني الاحتلام، أما السن فإذا استكمل المولود خمس عشرة سنة حكم ببلوغه غلامًا كان أو جارية، لما أخبرنا عبد الوهاب بن محمد الخطيب، أنا عبد العزيز بن أحمد الخلال، أنا أبو العباس الأصم، أنا الربيع، أنا الشافعي، أخبرنا سفيان بن عيينة عن عبد الله بن عمر عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: عُرضْتُ على رسول الله صلى الله عليه وسلم عام أحد وأنا ابن أربع عشرة سنة، فردَّني، ثم عُرضتَ عليه عام الخندق وأنا ابن خمس عشرة سنة فأجازني (3) ، قال نافع: فحدثتُ بهذا الحديث عمر بن عبد العزيز، فقال: هذا فرق بين المقاتلة والذريّة، وكتب أن يفرض لابن خمس عشرة سنة في المقاتلة، ومن لم يبلغها في الذرية. وهذا قول أكثر أهل العلم.

وقال أبو حنيفة رحمه الله تعالى: بلوغ الجارية باستكمال سبع عشرة، وبلوغ الغلام باستكمال ثماني عشرة سنة.

وأما الاحتلام فنعني به نزول المني سواء كان بالاحتلام أو بالجماع، أو غيرهما، فإذا وجدت ذلك بعد استكمال تسع سنين من أيهما كان حُكم ببلوغه، لقوله تعالى: {وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا} وقال النبي صلى الله عليه وسلم لمعاذ في الجزية حين بعثه إلى اليمن: "خُذْ من كل حالم دينارا" (1) .

وإما الإنبات، وهو نبات الشعر الخشن حول الفرج: فهو بلوغ في أولاد المشركين، لما روي عن عطية القرظي قال: كنت من سبي قريظة، فكانوا ينظرون فمن أنبت الشعر قتل، ومن لم ينبت لم يقتل، فكنت ممن لم ينبت (2) .

وهل يكون ذلك بلوغًا في أولاد المسلمين؟ فيه قولان، أحدهما: يكون بلوغًا كما في أولاد الكفار، والثاني: لا يكون بلوغا لأنه يمكن الوقوف على مواليد المسلمين بالرجوع إلى آبائهم، وفي الكفار لا يوقف على مواليدهم، ولا يقبل قول آبائهم فيه لكفرهم، فجعل الإنبات الذي هو أمارة البلوغ بلوغًا في حقهم.

وأما ما يختص بالنساء: فالحيض والحَبَل، فإذا حاضت المرأة بعد استكمال تسع سنين يُحكم ببلوغها، وكذلك إذا ولدت يُحكم ببلوغها قبل الوضع بستة أشهر لأنها أقل مدة الحمل. (معالم التنزيل / تفسير البغوي، الحسين بن مسعود البغوي، بيروت، دار المعرفة، سنة 1407 هـ. / 1987 هـ.، طبعة 2، ج 1، ص 394-395)



2. Perbedaan pendapat di antara fuqahâ`, tentang batasan usia bâligh akan menjadi rahmat, bila masing-masing pendapat diletakkan dan diterapkan pada konteks yang sesuai, misalnya dalam konteks taklîf (beban-beban kewajiban Agama), digunakan pendapat yang mengatakan 15 tahun, dan dalam konteks pernikahan dan perlindungan anak digunakan pendapat yang mengatakan 18 atau 19 tahun









4. KONSEPSI EKONOMI KERAKYATAN



Deskripsi Masalah

“Ekonomi kerakyatan” sebagai sebuah slogan yang diusung oleh sebagian Capres-Cawapres 2009 maksudnya adalah merupakan tatanan ekonomi yang berpihak kepada rakyat secara menyeluruh –terutama rakyat miskin–.

Sementera itu, sejarah mencatat, para Ulama sejak masa-masa awal sudah mempunyai gerakan perekonomian yang disebut dengan Nahdlatut Tujjar yang kemudian menjadi ruh perjuangan Nahdlatul Ulama dalam bidang ekonomi. Lembaga ini berfungsi untuk membangkitkan serta mengembangkan ekonomi kerakyatan dalam sektor perdagangan –di samping pertanian – .

Di tengah kelesuan ekonomi yang berkepanjangan, dan di tengah persaingan dalam perdagangan bebas, muncullah harapan rakyat untuk segera diterapkan tatatan ekonomi kerakyatan. Sehingga, konsep ekonomi kerakyatan sering dibicarakan dalam berbagai kesempatan, bahkan para capres-cawapres dan cagub-cawagub dalam kampanyenya sering pula menjanjikan akan menerapkan ekonomi kerakyatan tersebut.



Pertanyaan :



1. Bagaimanakah rumusan ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan konsep Islam ?

2. Bagaimanakah bentuk-bentuk ekonomi liberal yang tidak selaras dengan konsep Islam ?



Jawaban :



Dalam Islam tidak dikenal istilah ekonomi keumatan, tetapi konsep Islam mengenai ekonomi mengacu kepada kepentingan umum (al-mashlahah al-‘ammah). Bukti konkritnya adalah ajaran-ajaran filantropi dalam Islam seperti zakat, shadaqah, dan infak. Dengan demikian:

Ekonomi keumatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada maqashid al-syari’ah (tujuan syari’at) dan ahkam al-syari’ah (aturan-aturan syariat).

Secara umum, tujuan syari’at adalah terwujudnya kemaslahatan manusia, zhahir-batin, dunia-akhirat. Dengan demikian, ekonomi keumatan adalah sistem ekonomi yang menjamin terwujudnya kesejahteraan ekonomi secara “seimbang dan bebas dari ketimpangan” (tafAawut). Keseimbangan ekonomi (tawazun iqtishady) akan tercipta apabila distribusi kekayaan berjalan dengan benar.

القرآن :

﴿مَا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾ (الحشر: 7)



قال الحسين بن مسعود البغوي :

والدولة اسم للشيء الذي يتداوله القوم بينهم بين الأغنياء منكم يعني بين الرؤساء والأقوياء معناه كيلا يكون الفي دولة بين الأغنياء والأقوياء فيغلبوا عليه الفقراء والضعفاء وذلك أن أهل الجاهلية كانوا إذا اغتنموا غنيمة أخذ الرئيس ربعها لنفسه وهو المرباع ثم يصطفي منها بعد المرباع ما شاء فجعله الله لرسوله صلى الله عليه وسلم يقسمه فيما أمر به ثم قال: (وَمَا آتَاكُمْ) أعطاكم الرسول من الفيء والغنيمة (فَخُذُوْهُ), (وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ) من الغلول وغيره (فَانْتَهُوا). وهذا نازل في أموال الفيء وهو عام في كل ما أمر به النبي صلى الله عليه وسلم ونهى عنه. (معالم التنـزيل / تفسير البغوي؛ الحسين بن مسعود البغوي، بيروت, دار المعرفة, ج 4، ص 318)



قال إسماعيل بن عمر بن كثير القرشي الدمشقي:

وقوله تعالى: ﴿كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ﴾ أي جعلنا هذه المصارف لمال الفيء لئلا يبقى مأكلة يتغلب عليها الأغنياء ويتصرفون فيها، بمحض الشهوات والآراء، ولا يصرفون منه شيئًا إلى الفقراء. وقوله: ﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾ أي مهما أمركم به فافعلوه، ومهما نهاكم عنه فاجتنبوه، فإنه إنما يأمر بخير وإنما ينهى عن شر. (تفسير القرآن العظيم / تفسير ابن كثير؛ بيروت, دار الفكر, ج 4, ص 337)



Misi menciptakan keseimbangan ekonomi dan perang melawan ketimpangan tidak bermakna bahwa kepemilikan kekayaan harus sama dan rata di antara umat, karena tidak seperti sistem ekonomi sosialis yang membatasi kepemilikan, Islam memberi kebebasan kepada setiap individu untuk memiliki harta kekayaan dengan syarat, kekayaan itu diperoleh dengan jalan yang benar, di-tasharruf-kan dengan cara yang benar, dan ada jatah untuk fuqara`, masakin dan mereka yang berhak memperolehnya.

Prinsip dan ajaran Islam yang menjamin terciptanya keseimbangan ekonomi sebagai wujud dari sistem ekonomi keumatan adalah sebagai berikut:

1- تقديم المصلحة العامة على المصلحة الخاصة

2- تقديم الأحوج على الأحوج

3- التعادل فى التبادل

4- الغنم بالغرم

5- تحريم الربا فى القروض والبيوع

6- منع الإحتكار

7- منع الغبن الفاحش فى العقود

8- تحريم القمار

9- منع كنز الذهب والفضة

10- النهي عن الإرتشاء (الرشوة)

11- الترهيب من الطمع والجشع

12- الترهيب من البخل

13- الترغيب فى القرض الحسن

14- الترغيب فى التبرع (الصد قة, الهبة, الهد ية, الوقف)

15- الترغيب فى التراحم بين المسلمين (الناس)

16- وجوب التزام الدولة بإعداد العمل وإعطاء العاجزين من أموالها

17- تحميل الموسرين بعبء تموين المعسرين والمحتاجين



















5. DLAWABITH ITTIHAD AL-MAJLIS



Deskripsi masalah

Secara umum, istilah Ittihad al-Majlis berarti kesatuan tempat, dan itu besar sekali pengaruhnya bagi sebuah transaksi / akad jual beli ( dalam sisi ijab-kabul, maupun hak khiyar).

Seiring dengan mobiltas massa dan perkembangan teknologi saat ini, konsep ittihad al-majlis dalam jual beli mengalami pergeseran, banyak terjadi transksi / akad jual beli tidak dalam satu tempat, seperti jual beli eksport-impor dengan menggunakan media telekomunikasi modern, misalnya, via teleconference, telepon, surat elektronik (e-mail), layanan pesan singkat (SMS) maupun faksimili?.

Pada prinsipnya, setiap akad harus jelas ijab dan kabulnya, dan media komunikasi modern ternyata mempu memberikan jaminan kejelasan antara ijab dan kabul



Pertanyaan :

1. Bagaimana pandangan Islam menyikapi akad jual-beli dengan menggunakan media seperti tersebut di atas?

2. Apa batasan (dhabith) itthadul majlis, apakah satu tempat, satu waktu, atau satu session?

3. Kapan muta’aqidain (kedua pihak yang bertransaksi) dikatakan berpisah, sehingga gugur hak khiyar al-majlis ?



Jawaban :

1. Dengan kemajuan teknologi, khususnya di bidang informasi dan komunikasi, proses akad jual beli dan akad-akad lainnya bisa dilakukan dari jarak jauh melalui telepon, teleconferens, e-mail, SMS, dan lain-lain. Akad jual beli dengan cara demikian dianggap fi hukmi ittihadil majlis sehingga akad jual belinya sah selama tidak unsur gharar dan dlarar. Ketentuan itu terpenuhi dalam transaksi / akad jarak jauh dengan menggunakan sarana komunikasi modern, karena masing-masing mutabayiain mengenali dan memahami lawannya serta mengetahui obyeknya (al-mabi’) sehingga tidak terjadi gharar, dengan begitu akan terealisasi ijab dan qobul yang taradlin.

2. Ittihadul Majlis bisa bermakna ittihad al-zaman (satu waktu), ittihad al-makan (satu lokasi), dan ittihad al-haiah (satu posisi). Apabila ittihâd al-majlis menjadi syarat sahnya jual beli, maka artinya ijab dan qabul harus berlangsung dalam waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan, tempat yang satu, dan posisi yang satu, dan masing-masing muta’aqidain memahami ijab/qabul lawannya. Perbedaan tempat yang disatukan dengan media komunikasi modern, membuat seolah-olah dua tempat yang berjauhan itu bisa dianggap menyatu (ta’addud al-makan fi manzilat ittihad al-makan).

3. Ittihadul majlis dianggap berakhir apabila:

a. Alat komunikasi yang menghubungkan muta’aqidain berakhir.

b. Salah satu muta’aqidain atau keduanya berpaling (i’radl) dari ijab.

c. Salah satu muta’aqidain atau keduanya berubah posisi, seperti asalnya duduk kemudian berdiri.

d. Sukutun thawilun (terdiam lama)

e. ‘Urf (dalam adat kebiasaan) dianggap berakhir

f. Apabila salah satu di antara muta’aqidain melakukan kegiatan lain, seperti makan kecuali kalau hanya sekedar satu suapan.



Dasar Penetapan :

أقوال العلماء :



قال يحيى بن شرف النووي :

فرع المراد بالمجلس الذي يشترط فيه الاعطاء مجلس التواجب وهو ما يحصل به الارتباط بين الايجاب والقبول، ولا نظر إلى مكان العقد. (روضة الطالبين وعمدة المفتين، يحيى بن شرف النووي, بيروت، المكتب الإسلامي، سنة 1405 هـ.، طبعة 2، ج 7، ص 381)

وقال :

الركن الخامس الصيغة ولا بد منها ويشترط أن لا يتخلل بين الإيجاب والقبول كلام أجنبي فإن تخلل كلام كثير بطل الارتباط بينهما وإن تخلل كلام يسير لم يضر على الصحيح. (روضة الطالبين وعمدة المفتين، يحيى بن شرف النووي, بيروت، المكتب الإسلامي، سنة 1405 هـ.، طبعة 2، ج 7، ص 395)

قال علاء الدين الكاساني :

فصل: وأما الذي يرجع إلى مكان العقد فواحد وهو اتحاد المجلس بأن كان الإيجاب والقبول في مجلس واحد فإن اختلف المجلس لا ينعقد حتى لو أوجب أحدهما البيع فقام الآخر عن المجلس قبل القبول أو اشتغل بعمل آخر يوجب اختلاف المجلس ثم قبل لا ينعقد لأن القياس أن لا يتأخر أحد الشطرين عن الآخر في المجلس لأنه كما وجد أحدهما انعدم في الثاني من زمان وجوده فوجد الثاني والأول منعدم فلا ينتظم الركن إلا أن اعتبار ذلك يؤدي إلى انسداٍٍٍد باب البيع فتوقف أحد الشطرين على الآخر حكما وجعل المجلس جامعا للشطرين مع تفرقهما للضرورة وحق الضرورة يصير مقتضيا ثم اتحاد المجلس فإذا اختلف لا يتوقف وهذا عندنا وعند الشافعي رحمه الله الفور مع ذلك شرط لا ينعقد الركن بدونه. (بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع، علاء الدين الكاساني، بيروت، دار الكتاب العربي، السنة 1982 مـ.، الطبعة الثانية، ج 5، ص 137)

قال عبد الرحمن الجزيري :

رابعها: أن تكون الصيغة مسموعة للعاقدين فلا بد أن يسمع كل من العاقدين لفظ الآخر إما حقيقة كما إذا كانا حاضرين أو حكما كالكتاب من الغائب لأن قراءته قامت مقام الخطاب هنا. (الفقه على المذاهب الأربعة, بيروت, دار الفكر، سنة ......, ط ...، دار الفكر, مبحث شروط النكاح, ج ..., ص ...)



قال الأستاذ الدكتور وهبة الزحيلي :

اتحاد المجلس إذا كان العاقدان حاضرين: وهو أن يكون الإيجاب والقبول في مجلس واحد، بأن يتحد مجلس الإيجاب والقبول، لا مجلس المتعاقدين؛ لأن شرط الارتباط اتحاد الزمان، فجعل المجلس جامعا لأطرافه تيسيراً على العاقدين. (الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت، دار الفكر, سنة ......، ط 3، شروط صيغة العقد, ج ...., ص ....)

وقال:

اتصال القبول بالإيجاب: بأن يكون الإيجاب والقبول في مجلس واحد إن كان الطرفان حاضرين معا، أو في مجلس علم الطرف الغائب بالإيجاب. ويتحقق الاتصال بأن يعلم كل من الطرفين بما صدر عن الآخر بأن يسمع الإيجاب ويفهمه، وبألا يصدر منه ما يدل على إعراضه عن العقد، سواء من الموجب أو من القابل. ومجلس العقد: هو الحال التي يكون فيها المتعاقدان مشتغلين فيه بالتعاقد. وبعبارة أخرى: اتحاد الكلام في موضوع التعاقد. (الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت، دار الفكر, سنة ......، ط 3، شروط الإيجاب والقبول, ج ...., ص ....)



6. DLAWABITH AL-KUFR DAN BID’AH



Deskripsi Masalah

Dalam sebuah hadis “man qôla li akhîhi anta kâfirun, fahuwa kâfir”, hadis tersebut seharusnya membuat kita lebih berhati-hati untuk menghukumi kafir pada sesama muslim hanya karena faham dan penafsiran terhadapa ajaran Islam, apalagi ajaran yang multi interpretasi. Kenyataannya aksi pengkafiran tehadap kelompok atau golongan yang dipandang sebagai lawan dan berbeda faham menjadi makin merebak.

Sikap pengkafiran ini lahir sebagai upaya untuk mendiskreditkan pihak yang dianggap sebagai lawan. Padahal sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa menuduh orang lain kafir berarti menghalalkan harta benda dan darahnya.

Sementara itu dalam hadits yang lain “kullu bid’atin dlolâlah wa kullu dlolâlah fi an-nâr”, Hadis ini juga dipakai sebagai dasar untuk melegitimasi tindakan orang-orang yang meng-kafir-kan atau mem-“bid’ah” kan siapa saja yang sejalan sejalan dengan pemahamannya, bahkan untuk masalah sederhana, seperti “tidak memelihara jenggot”, “tidak memotong celana diatas mata kaki” dll.



Pertanyaan :

1. Apa saja parameter sebagai batasan kafir dalam pandangan Islam?

2. Perbuatan apa saja yang menyebabkan sesorang itu masuk dalam kategori kafir?

3. Apa saja kriteria bid’ah, apakah bid’ah juga identik dengan kafir ?.



Jawaban :

Seseorang dianggap kafir apabila memenuhi salah satu kriteria dibawah ini :

a- Orang-orang yang mengingkari salah satu rukun iman yang enam ( iman kepada Alloh, kepada Malaikat-Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada Rosul-Rosul-Nya, kepada hari Qiyamat, kepada qadla’ dan qadar) salah satu rukun Islam yang lima (mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadlan, menunaikan ibadah haji).

b- Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan syari’ah (al-Qur’an dan al-Sunnah).

c- Meyakini dan mempercayai turunnya wahyu setelah al-Qur’an.

d- Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an.

e- Melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.

f- Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.

g- Menghina , melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.

h- Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rosul terakhir.

i- Merubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syari’ah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardlu tidak lima waktu.

j- Mengkafirkan sesama muslim hanya karena bukan kelompoknya.

k- Orang-orang yang mengingkari ajaran yang ma’lȗmun min al-dȋn bi al-dlarȗrah.







7. RELEVANSI QONUN WADL'I & HUKUM SYAR'I



Diskripsi Masalah

Sebagai orang yang beragama, maka tentunya kita mengakui aturan-aturan yang ditetapkan oleh Shohibusy Syari’ah. Tetapi juga sebagai manusia yang berinteraksi dengan sesama, disamping juga sebagai warga-negara tentunya ada aturan-aturan yang juga mengikat kita. Aturan-aturan dibuat oleh sesama makhluk itulah yang kemudian dikenal dengan istilah “hukum positif”(al-qonun al-wadl’i).

Seperti yang terjadi dinegara kita. Pemerintah telah memberlakukan bagi ummat Islam hukum positif (al-qonun al-wadl'i)) dengan diberlakukannya – diantaranya – Undang-Undang No.1 Th.1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9 Th.1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Th.1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Hukum Perkawinan, Kewarisan, Wakaf dan Hibah, Undang-Undang No.41 Th.2004 Tentang Wakaf, dan Undang-Undang No.23 Th.2002 Tentang Perlindungan Anak, dan undang-undang lainnya.

Dalam beberapa undang-undang tersebut di atas terdapat berbagai ketentuan yang berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan hukum syar'i. Misalnya, dalam Undang-Undang Perkawinan, terdapat ketentuan mengenai batasan umur bagi calon mempelai putera 19 tahun dan mempelai puteri 16 tahun, talak hanya bisa didinyatakan jatuh bila diikrarkan di depan sidang pengadilan. Demikian pula di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Hukum Kewarisan, terdapat ketentuan mengenai anak angkat memperoleh hibah sebesar seperempat dari jumlah harta warisan.

Menghadapi kenyataan ini, masyarakat Islam berada dalam keraguan untuk menerima dan menerapkan berbagai ketentuan dalam qonun wadl'i yang berbeda atau bertentangan dengan hukum syar'i. Bahkan mereka tetap menginginkan dan berupaya untuk dapat menerapkan hukum syar'i. Namun keinginan dan upaya tersebut terbentur dengan diberlakukannya hukum positif sebagaimana di atas.

Pertanyaan :

1. Bagaimanakah hubungan antara hukum syar'i dan qonun wadl'i ?

2. Ketentuan manakah yang harus diambil ketika terdapat perbedaan antara hukum syar'i dan qonun wadl'i ?.

Jawaban :

Posisi hukum positif dihadapan hukum syar’i ada beberapa kemungkinan :

1. Hukum positif menetapkan sesuatu yang tidak diperoleh petunjuk nash al-Qur’an secara sharih (eksplisit), bahkan kadang-kadang sengaja didiamkan oleh Syari’, dan itu mengimplisitkan kreasi mengatur “al-maskut 'anhu” oleh ummat Muhammad SAW, maka hukum positif seperti ini bisa diterima dan diikuti, sesuai dengan penegasan Usman ibn Affan ra. :



الأثر :

قال عبد المحسن العباد :

وقد بين أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضي الله عنه عظم منـزلة السلطان وما يترتب على وجوده من الخير الكثير، ومن حصول المصالح ودرء المفاسد، وذلك في قوله رضي الله عنه: "إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن"، لأن من الناس من يقرأ القرآن ويرى القوارع والزواجر ومع ذلك لا تحرك ساكنا في قلبه، ولا تؤثر عليه، ولكنه يخاف من سلطة السلطان، ومن بطش وقوة السلطان. (شرح سنن أبي داود، عبد المحسن العباد، ج 1، ص 2)



القاعدة :



"تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَة"، هذه القاعدة نص عليها الشافعي وقال: "مَنْزِلَةُ اْلإِمَامِ مِنْ الرَّعِيَّةِ مَنْزِلَةَ الْوَلِيِّ مِنْ الْيَتِيمِ". قلت: وأصل ذلك ما أخرجه سعيد بن منصور في سننه، قال: حدثنا أبو الأحوص عن أبي إسحاق عن البراء بن عازب قال: قال عمر رضي الله عنه: "إنِّي أَنْزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللهِ بِمَنْزِلَةِ وَالِي الْيَتِيمِ، إنْ احْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَإِذَا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ فَإِنْ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ". (الأشباه والنظائر، عبد الرحمن بن أبي بكر السيوطي، بيروت، دار الكتب العلمية، سنة 1403 هـ.، طبعة 1،ج 1، ص 121)



2. Hukum positif menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum syar’i, maka dalam posisi ini harus ditolak.

السنة المطهرة :



عن عبد الله رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ" (متفق عليه - واللفظ للبخاري، رقم 6725، بيروت، دار ابن كثير, سنة 1407 هـ. / 1987 مـ.، طبعة 3، ج 6، ص 2612، )



قال ابن حجر العسقلاني :

قوله (فيما أحب وكره) في رواية أبي ذر "فيما أحب أو كره". قوله (ما لم يؤمر بمعصية) هذا يقيد ما أطلق في الحديثين الماضيين من الأمر بالسمع والطاعة ولو لحبشي, ومن الصبر على ما يقع من الأمير مما يكره, والوعيد على مفارقة الجماعة. قوله (فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة) أي لا يجب ذلك بل يحرم على من كان قادرا على الامتناع, وفي حديث معاذ عند أحمد "لا طاعة لمن لم يطع الله". وعنده وعند البزار في حديث عمران بن حطين والحكم ابن عمرو الغفاري "لا طاعة في معصية الله" وسنده قوي, وفي حدث عبادة بن الصامت عند أحمد والطبراني "لا طاعة لمن عصى الله تعالى" وقد تقدم البحث في هذا الكلام على حديث عبادة في الأمر بالسمع والطاعة "إلا أن تروا كفرا بواحا" بما يغني عن إعادته وهو في "كتاب الفتن" وملخصه أنه ينعزل بالكفر إجماعا" فيجب على كل مسلم القيام في ذلك, فمن قوي على ذلك فله الثواب, ومن داهن فعليه الإثم, ومن عجز وجبت عليه الهجرة من تلك الأرض. (فتح الباري شرح صحيح البخاري، أحمد بن علي بن حجر العسقلاني، بيروت، دار المعرفة، ج 13, ص 123)



عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ". (رواه البخاري)



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ" (رواه الطبراني عن عمران بن حصين رضي الله عنه، المعجم الكبير, رقم 381, بيروت, دار الفكر، ج 18، ص 170)

3. Apabila hukum positif menetapkan dan menganjurkan sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum syar’i, atau hukum positif menetapkankan sesuatu yang ditetapkan hukum syar’i baik dalam perkara wajib atau mandub, maka wajib ditaati, sedang jika menetapkan sesuatu yang mubah, apabila bermanfaat bagi kepentingan umum maka juga wajib ditaati, tetapi kalau tidak bermanfaat untuk umum maka tidak wajib ditaati.

قال محمد نووي الجاوي :

إذا أمر بواجب تأكد وجوبه، وإن أمر بمندوب وجب، وإن أمر بمباح فإن كان فيه مصلحة عامة وجب، بخلاف ما إذا أمر بمحرم أو مكروه أو مباح لا مصلحة فيه عامة. (نهاية الزين، محمد بن عمر بن علي بن نووي الجاوي، بيروت، دار الفكر، ج 1، ص 112)



قال الدسوقي :

واعلم أن محل كون الإمام إذا أمر بمباح أو مندوب تجب طاعته إذا كان ما أمر به من المصالح العامة. (حاشية الدسوقي على الشرح الكبير، محمد عرفه الدسوقي، بيروت، دار الفكر، ج 1، ص 407)



Makasar, ……..…………………..2010



Komisi Bahsul Masail Diniyah Maudlu’iyyah,



Ketua,

KH. Drs. HM. Masyhuri Naim, MA

Sekretaris,

H. Drs.Arwani Faisal, MA



Anggota:

1. KH. Ma’ruf Amin
2. KH. DR.Maghfur Usman
3. KH. DR. Malik Madany, MA
4. KH. Afifuddin Muhajir
5. Prof. DR.H. Fathurrahman Rauf


sumber: muktamar.nu.or.id
Diposkan oleh MUQTAV AZKA IBADILLAH di 08:37 0 komentar
Label: Bahtsul Masail
Posting Lama Beranda
Langgan: Entri (Atom)
Pengikut
Arsip Blog

* ▼ 2010 (10)
o ▼ Mei (10)
+ SMS wilujeng boboran siam basa sunda
+ BM Diniyah Qonuniyah - Muktamar NU ke-32
+ BM Diniyah Maudluiyah- Muktamar NU Ke-32
+ HUKUM TRANSAKSI ELEKRONIK
+ Pendapat Ulama Mazhab 4 tentang hukum merokok
+ Firqah Islam
+ PUPUJIAN SAJARAH NABI SAW
+ Masalah MLM
+ MARS RAHIMA - CECEP JK
+ Kepemimpinan Situasional

Mengenai Saya

MUQTAV AZKA IBADILLAH

Lihat profil lengkapku