Nafkah Keluarga, Tanggung Jawab Siapa?
Bagi laki-laki dianugerahkan hak dari apa yang diusahakannya, dan bagi perempuan dianugerahkan hak dari apa yang diusahakannya.” (QS. An-Nisa’: 32).
Keluarga merupakan unit komunitas yang paling kecil di masyarakat. Karenanya, lembaga keluarga ini menjadi tempat tumpuan pertama dan utama bagi kelangsungan hidup seseorang. Keluarga yang lazimnya terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang tinggal serumah, dan terkadang ditambah dengan anggota kerabat dekat lainnya, seperti kakek-nenek, atau adik ipar, dan sebagainya (extended family), merupakan cikal bakal dan inti bagi terbentuknya suatu masyarakat.
Dalam kehidupan keluarga tersebut, Islam telah menetapkan kewajiban laki-laki dan perempuan berdasarkan kadar kemampuan dan intelektualnya masing-masing. Salah satu dari peran utama laki-laki yang umumnya dianggap sebagai kewajiban utama seorang suami adalah bertanggung jawab mencari nafkah bagi keluarga. Sedang perempuan sebagai seorang istri bertugas mengatur dan mengembangkan nafkah itu.
Tetapi pada kondisi tertentu tanggung jawab tersebut bisa berganti. Bisa saja dalam sebuah keluarga yang bertugas mencari nafkah adalah istri. Tentunya hal ini karena ada beberapa alasan, di antaranya adalah kesempatan kerja yang dimiliki istri lebih besar; Atau seorang suami tidak mampu bekerja karena sakit; Atau mungkin penghasilan suami belum mencukupi kebutuhan keluarga atau alasan ekonomi lainya.
Tentang batasan bahwa yang bertanggung jawab mencari nafkah keluarga adalah bapak (suami), dalam Alquran tidak diatur secara tegas. Sebab dalam beberapa ayat yang dianggap sebagai dasar kewajiban suami sebagai pencari nafkah utama, sifatnya masih dalam bentuk umum. Dalam beberapa riwayat, istri juga memiliki kewajiban yang sama dengan suami dalam mencari nafkah, sehingga suami-istri dapat bekerja sama memenuhi kebutuhan keluarga.
Abu Sa’ad Al-Khuduri berkata, Nabi Muhammad saw., bersabda kepada Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud ra., “Suamimu dan anakmu adalah lebih berhak untuk kamu berikan sedekahmu kepada mereka.” (HR. Bukhari). Hadis ini menunjukkan dengan jelas, seorang istri atau ibu yang mencari nafkah bagi keluarganya, maka tiada lain baginya kecuali pahala dan kebaikan yang besar di sisi Allah swt.
***
Terkadang sebagian kita salah kaprah dalam menerjemahkan QS. An-Nisa’: 34, “Para laki-laki adalah para qawwam bagi perempuan karena anugerah yang diberikan Allah bagi sebagian atas sebagian yang lain dan karena mereka telah memberikan nafkah....” Sebab, pada ayat ini seseorang yang dikatakan sebagai qawwam, bukanlah karena jenis kelaminnya laki-laki. Melainkan pada konteks fungsi sosialnya (gender). Pada ayat ini juga dijelaskan, yang ditinggikan derajatnya adalah yang menafkahkan sebagian hartanya (yang mencari nafkah), tidak terkecuali lelaki ataupun perempuan. Berdasarkan ayat ini maka kewajiban mencari nafkah tidak hanya dinisbatkan pada laki-laki saja, tapi bagi siapa saja yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk melakukannya.
Pada kondisi tertentu Islam tidak melarang jika yang bertugas mencari nafkah keluarga adalah perempuan. Tetapi selama suami masih dalam keadaan sehat dan mampu, tanggung jawab sebagai pencari nafkah, adalah tanggung jawabnya. Jangan sampai seorang suami mengabaikan tanggung jawab itu, sehingga menelantarkan seluruh anggota keluarga. Dengan kata lain, suami-istri sesungguhnya sama-sama memiliki hak dan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di sinilah kerja sama dan upaya keduanya (suami-istri) sangat dipuji oleh Allah swt, sebagaimana QS. An-Nisa’: 32.
Dalam kasus lain, jika suami dan istri tidak mampu lagi mencari nafkah maka tugas mencari nafkah keluarga menjadi tanggung jawab anak laki-laki tertua. Inilah mungkin yang menjadi salah satu acuan hukum waris bagi laki-laki mendapat bagian yang lebih besar. Tapi inipun tidak mutlak, sebab dalam keadaan di mana tidak ada anak laki-laki atau ada anak laki-laki tapi belum dapat bekerja, maka tugas mencari nafkah keluarga menjadi tanggung jawab anak-anak yang mampu mencari nafkah, baik laki-laki maupun perempuan. Sebab, Islam tidak pernah membeda-bedakan laki-laki atau perempuan. Keduanya akan mendapat hak yang sama sesuai dengan apa yang mereka usahakan.
Janganlah kamu iri hati, karena Allah melebihkan setengah kamu dari yang lain. Untuk laki-laki ada bagian dari usaha yang dikerjakannya, dan untuk perempuan ada bagian dari usaha yang dikerjakannya. Kamu mintalah kepada Allah karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu. (QS. An-Nisa’: 32).
Bukankah di masyarakat kita, khususnya di pedesaan, kaum perempuan pada semua lapisan sosial ekonomi telah memberikan sumbangan nyata dalam memberikan penghasilan, memenuhi nafkah keluarga? Bahkan mereka juga tak jarang menanggung hampir semua beban pekerjaan rumah tangga yang tidak langsung memberikan imbalan, yaitu mengurus dan merawat anggota keluarga lainnya.
Namun demikian, sebagian umat memang masih memandang keluarga yang ideal adalah suami bekerja di luar rumah dan istri di rumah saja dengan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Anggapan negatif (stereotype) yang kuat di masyarakat ini, mestinya tidak menutup peluang baik bagi lelaki maupun perempuan untuk saling bekerja sama, sama-sama berkiprah, berbagi peran yang sama mencari nafkah, memenuhi kebutuhan keluarga, mengurus dan merawat seluruh anggota keluarga, dan sekaligus memimpin keluarga dengan penuh kasih sayang, dan ketundukan kepada Allah swt. Wallahu a’lam. Khumaidah, Lamongan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar