Pada Februari 1924, pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-19 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia muslim. Pada akhir abad ke-19, klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.
Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam praktiknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah menyebabkan banyak masyarakat muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen—sekalipun hanya bersifat simbolik—semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah.
Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Syarif Husein (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada 1916). Dia membentuk semacam dewan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah, dan mengadakan sebuah kongres haji (mu’tamar al-hajj) di Mekkah pada Juli 1924, dengan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang pertama dari serangkaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an. Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husein. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, menyerbu Makkah dan membuyarkan keinginan-keinginannya. Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa’ud, sementara Husein—yang sudah melarikan diri ke luar negeri—tak punya kekuasaan sama sekali.
Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama Al-Azhar, yang didorong oleh Raja Mesir, Fu’ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridha, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada Sarekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia saat itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926.
Dalam pandangan Ibnu Sa’ud, persiapan Kongres Kairo, dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta.
Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu di mana di Indonesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam. Di tahun-tahun 1922-1926, para aktifis muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut Kongres Al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis terlalu banyak.
Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke Kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agustus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Makkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rezim Sa’udi yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan.
Tidak satupun dari kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridha, adalah salah seorang penyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir. Bagaimanaun juga, Ibnu Sa’ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi banyak menghancurkan banyak makam di dalam dan di sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktik-praktik keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang sangat mencemaskan.
Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridha di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan Wahabi. Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu’ad dalam kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Inggris untuk menguasai dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik, hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibnu Sa’ud. Kaum tradisionalis juga memilih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: kedudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting dari pada semua permasalahan khilafah.
Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibnu Sa’ud bahwa dia akan menghormati madzhab-madzhab fikih ortodoks dan membolehkan berbagai praktik keagamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah—di mana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar—sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi Kiai biasanya menghabiskan beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika fikih Syafi’i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting.
Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.
Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan nama Nahdlatoel ‘Oelama
source: jagad nu . blogspot . com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar