Nashbul Imam dan Kepemimpinan
31/03/2008
Menurut pandangan Islam, pada hakikatnya kekuasaan adalah amanat Allah SWT yang diberikan kepada seluruh manusia. Kemudian kekuasaan itu diwakilkan kepada pihak-pihak yang ahli dalam mengemban dan memikulnya.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit dan bumi. (QS Al-Ahzab: 72)
Dalam wacana faham Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) bahwa membangun negara (imamah) adalah wajib syar'i. Hal tersebut didasarkan pada dalil-dalil berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisa`: 59)
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَْيتَةً جَاهِلِيَّةٌ
Barangsiapa yang meninggal tanpa pernah melakukan baiat (janji loyal kepada pemimpin), ia mati secara jahiliyah. (HR Muslim)
Bahwa keahlian memegang amanat kekuasaan mensyaratkan kemampuan, kejujuran, keadilan dan kejuangan yang senantiasa memihak kepada pemberi amanat.
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَاً
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS An-Nisa`: 58)
إذَا ضُيِّعَتْ الأمَانَةُ فَانْتَظِرُ السَّاعَةَ. قِيْلَ وَكَيْفَ إضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إذَا وُسِدَ الْأمْرُ إلَى غَيْرِ أهْلِهِ
Apabila amanat disia-siakan maka tunggulah masa kehancurannya. Rasulullah ditanya seseorang: "Bagaimana menyia-nyiakan amanat itu?" Beliau menjawab: "Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya." (HR Bukhari)
Proses pengangkatan kepemimpinan negara (nashbul imam) sebagai pengemban dan pemikul amanat kekuasaan, menurut Islam, dapat dilakukan dengan beberapa alternatif/cara yang disepakati oleh rakyat sepanjang tidak bertentangan dengan syari'ah.
Sebuah negara harus dibangun nilai-nilai luhur keislaman yang antara lain meliputi: al-'adalah (keadilan), al-amanah (kejujuran), dan as-syura (kebersamaan).
وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً
Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS An-Nisa`: 58)
Untuk merealisasikan nilai-nilai luhur tersebut diperlukan wujudnya pemerintahan yang demokratik, bersih dan berwibawa.
Untuk melahirkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan adanya kesadaran dan keinginan yang kuat dari rakyat untuk bersama-sama melahirkannya.
Negara yang demokatik yang merupakan perwujudan syura dalam Islam menuntut para pemimpinnya bukan saja bersedia untuk dikontrol, tetapi menyadari sepenuhnya bahwa kontrol sosial merupakan kebutuhan kepemimpinan yang memberi kekuatan moral untuk meringankan beban dalam mewujudkan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.
(Bahtsul masa'il diniyyah maudluiyyah pada Munas Alim Ulama di Pondok Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok tengah, Nusa Tenggara Barat, 16-20 Rajab 1418 H / 17 November 1997 M)
source: nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar